Menguping

1104 Kata
“Tos ka bumina Jaman, Bah?” Aku mendengar suara Nyai yang artinya ‘Sudah ke tempatnya Jaman, Bah?’ Sepertinya Nyai sedang bertanya pada Abah yang baru saja kembali. Tadi siang, sepulang dari kebun rambutan, Abah memang mengunjungi rumah Wak Jaman. “Atos. Aya si Boim, sama si Mamat di ditu.” Aku belum berani keluar kamar. Takutnya saat keluar, mereka malah berhenti berbincang. Entah kenapa kalau di depan aku, mereka jarang berbicara. Mungkin karena Abah canggung, secara aku memang tidak begitu dekat dengannya, bahkan dari sebelum orang tuaku meninggal dunia. “Nyai rek ka ditu?” tambah Abah setelah ada jeda beberapa waktu di antara pembicaraan mereka. “Ngkin, sekalian mau bawain kunyit asem.” “Jang saha?” Lagi-lagi lelaki tua itu terdengar bertanya, aku hanya menguping. Memang tidak sopan, tapi suara mereka memang terdengar jelas di telingaku. “Lela.” Aku baru tahu tadi siang kalau wanita tua beruban yang sering melirikku saat menangkap ayam di belakang rumahnya itu bernama Lela. Karena Nia biasanya juga memanggilnya dengan sebutan Jaman. Katanya, Jaman itu nama anaknya yang sudah meninggal seperti yang Nia ceritakan padaku tempo hari. Maka dari itu, keduanya, entah sang suami maupun istri, selalu dipanggil Wak Jaman agar mereka merasa kalau orang-orang tidak melupakan bahwa mereka adalah orang tua dari Jaman. Biasanya yang lelaki dipanggil Wak Jaman. Sementara Mak Lela tadi, dipanggil Mak Jaman. Aku baru paham ini. “Ah, iya. Abah tadi teh Mbok Mar ke sini milarian Abah.” Seketika aku bangkit. Menggeserkan badan, duduk lebih dekat dengan pintu begitu mendengar Mbok Mar disebut-sebut oleh Nyai. Aku tahu Mbok Mar. Juga pernah bertemu dengannya beberapa waktu lalu, saat mengantarkan kue bersama Nia. Mbok Mar sendiri adalah ibu dari Teh Kinar, teman baruku di sini yang sering berkumpul menjelang Ashar di bawah pohon mangga depan rumah Nyai. Ada apa ya, Mbok Mar mencari Abah? “Naha, ceunah? Ada perlu apa?” Abah sepemikiran denganku rupanya. Beliau pun belum tahu maksud kedatangan Mbok Mar ke rumah mencarinya. “Duka. Ngkin balik deui kadieu mun tas salse.” Nyai selalu menggunakan bahasa Sunda ketika berbicara di rumahnya. Berbeda dengan saat berbicara denganku, di kota sana. Karena memang di kampung ini yang notabene suku Sunda, dan Abah juga Nia pun berinteraksi dengan bahasa yang sama. Meskipun sejak kecil aku tidak dibiasakan menggunakan bahasa ini, tapi bukan berati aku tidak mengerti ucapan mereka sama sekali. Aku paham apa yang mereka bicarakan. Hanya saja, jika aku disuruh untuk berbicara juga, lidahku akan berkelit karena aku tidak terbiasa. Seperti yang baru saja Nyai bilang, aku paham. Kata Nyai, Nyai pun tidak tahu maksud kedatangan Mbok Mar. Nanti, Mbok Mar akan balik lagi ke sini jika pekerjaannya sudah selesai. “Sakit naon ceunah, Bah? Tadi pagi teh ada liat Pak Dokter ke rumah Jaman.” Balik lagi ke percakapan awal. Terdengar suara air yang dituang ke dalam gelas. Sepertinya Nyai sedang menuangkan teh hangat untuk Abah. Kurasa mereka sedang duduk berdua di kursi tamu. Aku lagi-lagi enggan mengintip, cukup memasang telinga saja. Kudekatkan lagi kepalaku ke dekat tembok dengan harapan bisa mendengar lebih jelas. Bukan hanya Nyai yang ingin tahu tentang sakit Wak Jaman, tapi aku juga. Aku sudah penasaran. Kemarin Rendi tidak sempat melanjutkan ceritanya karena Pak RT sudah mengajaknya pulang. Lagipula memang saat itu adzan magrib berkumandang sesaat kemudian. Jadilah kami bubar jalan dengan rasa penasaran. Kali ini, aku harus tahu apa yang terjadi. Begitu kudekatkan kepalaku di tembok, tiba-tiba jantungku rasanya mau copot. Bagaimana tidak? Gorden yang menutupi pintu kamar yang tak berpintu itu seketika tersingkap. Nia datang dengan sebuah selimut yang sudah dilipat rapi. Aku kaget bukan kepalang. Begitu pun dengan Nia yang keheranan melihatku yang duduk dengan kepala yang menyender ke tembok, sementara pantarku masih menempel di ranjang. “Ari kamu teh lagi ngapain, Agis?” Jelas saja, aku juga tahu kalau kalimat itulah yang akan Nia lontarkan padaku pertama kali. Dengan cepat, kutempelkan telunjuk di bibir. Memberi tanda pada Nia agar ia diam. Kan tidak lucu kalau Nyai dan Abah tahu aku sedang menguping pembicaraan mereka. Kulambaikan tangan ke arahnya. Nia segera menutup gorden yang tersingkap tadi dan menaruh selimut di atas kasur. Kemudian, ia duduk di sebelahku. “Jangan berisik!” kataku setengah berbisik. Sementara Nia menaikkan sebelah alisnya. Mungkin ia tak tahu kenapa aku harus berbuat seperti ini. “Atuh lagian kamu teh ngapain? Hayang nyusruk?” Memang ada jarak antara ranjang dan tembok. Jika saja aku kepeleset, sudah pasti tubuhku ambruk dan terjatuh ke celah antara ranjang dan tembok. “Lagi nguping apa kamu teh? Ih, tidak sopan atuh!” celetuknya lagi. “Ih, bukan lagi nguping. Aku gak sengaja denger! Tapi, jadinya penasaran. Padahal dikit lagi aku tahu. Kamu sih, segala ngagetin!” Aku memprotes Nia yang tiba-tiba saja menyingkap gorden dan membuat aku terkejut. Andai saja Nia tidak datang di waktu emas itu, mungkin sekarang aku sudah tahu penyakit apa yang di derita Wak Jaman. Sementara, kalaupun aku datang ke rumahnya kan aneh juga. Secara, aku tidak begitu kenal. Aku juga bukan penduduk sini. Masa tiba-tiba aku main ke rumahnya? Nyai juga tidak pernah mengajakku ke sana. “Nya atuh Agis teh nanaonan coba. Penasaran kana naon, sih?” “Tadi tuh Nyai lagi ngomongin Wak Jaman tau, Nia! Kamu emangnya enggak penasaran?” “Nya tinggal tingal weh ka bumina. Penasaran-penasaran teuing. Kan deket, tinggal nyebrang ge sampe.” Nia memang tidak mengerti aku. Kalau dia sih enak saja karena kenal. Punya alasan untuk menengok. Kalau aku? Sementara, mendengar kami yang gaduh dari dalam kamar, tidak terdengar lagi percakapan antara Nyai dengan Abah di ruang tamu. Entah Nyai yang sudah pergi ke rumah Wak Jaman, atau Abah yang pergi entah ke mana. Lelaki tua itu memang terlihat tidak betah diam lama-lama di dalam rumah. Selalu ada saja hal yang ia lakukan. Entah itu membabat rumput, mengosrek cor-coran dapur, membenarkan dipan bambu, apapun itu. Apapun yang bisa ia betulkan, pasti ia sentuh. Kecuali hati yang rusak. Itu pengecualian. “Tadi katanya pas pagi Pak Dokter ke rumah Wak Jaman, Nia.” “Terus?” “Kan! Gara-gara kamu aku jadi gak tau terusannya! Kamu sih!” “Hih, atuh lain terus yang itu. Maksud Nia teh terus kunaon? Ya namanya orang sakit kalau didatangi dokter ya enggak aneh atuh, Gis. Ah, kamu mah aya-aya wae!” Nia hendak bangkit dari ranjang. Tapi, langsung kutahan. “Eh, ada lagi!” “Naon deui atuh, Agis?” Nia sepertinya memang tidak begitu tertarik tentang sakitnya Wak Jaman, tapi, kurasa Nia akan tertarik dengan yang satu ini. “Tadi Mbok Mar ke rumah, nyariin Abah!” Seketika, Nia kembali duduk. Benar kan dugaanku? “Nyariin Abah? Rek naon?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN