Hari demi Hari

1419 Kata
Setelah melewati malam itu, aku menjadi begitu penasaran. Makhluk apa yang kulihat memakan hewan ternak dengan begitu buas? Bagaimana makhluk itu bisa masuk ke dalam kandang sementara pintunya tertutup dan dikunci rapat? Bagaimana mungkin di malam yang selarut itu, dengan gaduh yang sebegitu riuh, tidak ada satu warga pun yang terjaga dan mengecek keadaan? Ditambah, pada keesokan harinya, kampung ini tetap tenang. Semua beraktivitas seperti biasa seolah tidak pernah ada yang terjadi. Bukankah itu tidak wajar? Aku berlari ke dapur begitu pagi menyingsing untuk memastikan bahwa apa yang terjadi semalam bukan hanya sebuah ilusi dan kesalahan penglihatanku. Setelah aku sampai ke tempat kejadian perkara, rupanya yang semalam itu benar-benar terjadi. Tercium bau darah yang sudah mengering, juga beberapa noda di sana. Aku melihat bercak darah di kayu yang membatasi kandang ternak itu dengan dapur Nyai. Hanya saja, ternak itu benar-benar menghilang. Tidak ada jejak yang tersisa dari hewan ternak yang sudah tercabik-cabik semalam. Entah memang sudah ada yang membuang, mengubur, atau mungkin makhluk yang tak kuketahui itu apa, sudah menelannya sampai ke tulang-tulang. Nia yang juga tahu kejadian ini hanya bungkam. Ia tidak mengatakan apapun padahal jelas-jelas tadi malam, ia yang menghentikanku untuk berteriak. Nia yang menarik tubuhku yang hampir ambruk melemas. Ia juga yang membekap mulutku dan dengan cepat menarikku ke kamar sebelum kudengar Nyai turun dari ranjang dan berjalan ke sumur. Entah untuk apa. Mungkin, Nyai mendengar kegaduhan yang juga kami rasakan. Aku tahu, pasti Nia kaget, sama seperti aku. Siapa juga yang tidak akan kaget jika disuguhkan dengan tayangan sedemikian rupa? Hanya saja, perempuan ini sulit ditebak. Ada waktu di mana ia menjadi seperti orang lain, orang yang dingin dan asing. Bukan Nia yang selalu ceria dan senang berbagi cerita denganku. Tidak ada kabar dari warga bahwa hewan ternak mereka mati satu atau pun hilang satu. Tidak ada. Padahal, jelas kandang di dekat dapur itu milik tetangga Nyai yang rumahnya bersebelahan. Yang kulihat pagi ini hanyalah seseorang yang berdiri di depan rumahnya, sedang menanti sesuatu. Wanita dengan rambut beruban yang selalu memandangi aku dan Nia ketika kami menangkap anak ayam di belakang rumahnya. Setelah beberapa waktu ia berdiri di sana, sebuah mobil pick up yang membawa sesuatu dalam dus besar datang. Turunlah seorang supir dan seorang lelaki lain yang duduk di bangku sebelah supir. Mereka memindahkan barang tersebut ke rumah depan itu. Benar, Nia pernah bilang padaku, namanya Wak Jaman. Perempuan itu adalah istrinya. Wak Jaman sendiri, akhirnya kuketahui adalah lelaki yang menatapku di bawah pohon mangga kala itu. Saat pertama kali aku tiba di rumah Nyai. Sore harinya, ketika membantu Nyai memotong-motong sayuran di dipan bambu yang menutupi sebuah pintu di dapur, aku diam-diam menghitung hewan ternak di kandang begitu Nyai melenggang pergi ke dalam rumah. Sementara, Nia sedang asyik membersihkan tumpukan piring kotor di dekat sumur, ia tidak begitu menghiraukan apa yang aku lakukan. Saat itu, hewan ternak masih lumayan banyak. Mungkin itu lah sebabnya, pemilik hewan ternak yang rumahnya bersebelahan dengan Nyai tidak menyadari kalau hewan ternaknya hilang satu. Aku kembali berlari ke dipan bambu dan duduk, memotong-motong wortel saat Nyai kembali dari dalam rumah untuk mengambil teko kosong yang hendak diisi air panas. Asap mengepul dari dapur Nyai, mengingat Nyai masih memakai tungku kayu yang tradisional dan menghasilkan asap karenanya. Cukup merepotkan. Tapi kata Nia, masakan yang dibuat dengan tungku tradisional ini lebih nikmat. Aku menggeser tempat duduk. Nyai menaruh mentimun juga sayuran lainnya di atas dipan. Tak sengaja, wortel itu terjatuh ke tanah. Segera kuambil wortel yang menggelinding ke bawah dipan bambu itu. Tapi, aku lagi-lagi dibuat terkejut. Kulihat nampan besar dengan bunga-bunga kering di atasnya. Ada kelapa yang sepertinya sudah mengering juga. Ini terlihat seperti sebuah sajen. Persis seperti yang kulihat di internet. Berhubung ada Nyai juga Nia di dapur ini, aku hanya diam saja. Bereaksi seakan aku tidak melihat apapun di sana. Takut-takut kalau mereka tersinggung karena sikapku nantinya. Usai mengolah sayuran menjadi sayur matang, aku mengambil beberapa piring dan menyusunnya untuk kubawa ke meja makan di dalam rumah. Tapi, aku mendengar suara lonceng terdengar dari balik pintu. Ah, benar. Aku belum bercerita tentang pintu yang sepertinya sengaja dibuat mati. Di lihat dari bagaimana pintu tersebut terhalang oleh dipan separuh, yang kududuki saat ini. Pintu yang terbuat dari seng, hanya dikunci dengan kawat tipis. Aku sempat bertanya kepada Nia tentang pintu ini, ke mana pintu yang terhalang dipan ini akan membawa ku pergi, kata Nia, hanya ke sebuah kebun di belakang rumah. Maka, aku hanya mengangguk dan tidak banyak bertanya lagi. Mungkin, memang karena Nyai atau siapa pun di rumah itu tidak memiliki kepentingan untuk pergi ke kebun belakang. Siapa tahu, kebun belakang itu milik orang lain. Hari demi hari, pikiranku yang tidak-tidak tentang kampung ini semakin merajalela. Bagaimana tidak, setiap harinya ada saja hal-hal yang membuatku penasaran juga bergidik ngeri, sering kali bulu kuduk merinding dibuatnya. Dari mulai acara nyuguh di setiap malam jumat yang katanya adalah hal yang biasa dilakukan di kampung ini, aku yang menemukan sesajen kering di kolong dipan beberapa hari yang lalu, bayangan hitam besar yang memakan ternak di tengah malam, suara ciak ciak anak ayam di belakang jendela saat Nia menginap di kota, anak tetangga yang terkena walilat menjelang magrib, lelaki tua yang entah kenapa memandangiku seperti itu dari bawah pohon mangga dan masih banyak lagi. Seperti hari ini. Seseorang berlari dari ujung jalan saat kami sedang berkumpul di bawah pohon mangga, di depan rumah Nyai. Pohon mangga yang juga memayungi lelaki tua yang memandangiku saat pertama tiba. Dengan napas yang terengah-engah, ia berlari menghampiri aku, Nyai, Nia, dan beberapa orang tetangga yang memang sedang berkumpul dan memakan rujak. Mama Lita, tetangga yang rumahnya terhalang beberapa rumah dari rumah Nyai yang membuat sambal. Sementara Ibu di sebelah kanan rumah Nyai membawa jambu air dari kebunnya, dan Nyai baru saja memetik mangga muda. “Punten, Nyai, Eceu-euceu sekantenan!” Lelaki itu berbicara dengan bahasa Sunda. Meskipun aku memang tidak begitu pandai bahasa Sunda, aku setidaknya mengerti apa yang ia ucapkan. Katanya, permisi, Nyai, Kakak-kakak sekalian. Kurang lebih seperti itu. Aku memang faham, hanya saja untuk mengucapkannya kadang lidahku sering kali keseleo. Sama halnya saat belajar bahasa Inggris. Pintar menyimak, tapi tak pintar speak up. Hayooo, siapa yang sama? “Aya naon atuh, Kang? Meuni ada rareuwas ih!” Tanpa basa-basi, Mama Lita bertanya. Perempuan itu berkata kalau ia merasa terkejut dengan kedatangannya yang tiba-tiba. Lelaki itu, dengan napas yang terengah-engah, kemudian menanyakan seseorang. “Ningal pak RT teunya?” Rupanya ia menanyakan pak RT yang memang baru saja terlihat melintas di depan kami dengan sepeda ontel. Pak RT juga sempat menyapa kami. Beliau adalah orang yang cukup ramah menurutku. Diketahui, Pak RT memiliki seorang anak lelaki. Katanya, anak lelakinya itu cukup tampan dan mewariskan sifat baik Pak RT padanya. Alias tidak sombong dan ramah. Pak RT yang berlalu dengan sepeda ontel itu rupanya baru pulang dari sawah, membawa cangkul dan memakai caping agar matanya tidak kesalahan saat matahari sedang terik teriknya. “Barusan pisan lewat, pulang ke rumah abis dari sawah sepertinya, mah, Kang. Kenapa atuh? Sepertinya, teh, mendesak pisan, Kang?” Gantian, kali ini ibu yang membawa jambu air yang bertanya. Ia yang memakai dandanan menor. Bibir yang merah seperti habis menelan itik ayam, dengan alis yang cukup tebal. Gelang yang terlihat rembel seperti toko emas berjalan. Entah itu benar emas atau bukan. Ia lah pemilik hewan ternak yang hilang satu itu. Pantas saja ia tidak panik, melihat dari penampilannya yang sedemikian rupa, pastilah ia banyak uang. Meskipun rumahnya terlihat tidak semegah rumah-rumah di kota. Selagi mereka sibuk saling menjawab pertanyaan satu sama lagi, aku hanya menyimak saja percakapan mereka. “Itu, aya mayit, Nyai!” Seketika ekspresi ibu-ibu berubah. Termasuk aku. Aku tahu kalau lelaki itu berkata kalau katanya ada mayat. Situasi menjadi riuh dan para ibu-ibu terlihat kaget mendengar perkataan lelaki tersebut yang mengatakan bahwa ada mayat yang ditemukan. “Di mana atuh, Kang? Mayit saha?” Mama Lita terdengar begitu panik dengan logat Sunda halusnya yang khas. Kalau kutebak, Mama Lita ini sepertinya berasal dari daerah Bandung di mana di sana memang kebanyakan menggunakan bahasa Sunda yang halus. Saat yang lain terlihat panik dan riuh, Nyai terlihat paling tenang di antara kami. Ia bahkan masih bisa mencolek mangga muda dengan sambal dan memasukkannya ke dalam mulut. Seperti mendengar kabar anak kucing mati. Kupikir akan selalu ada hari tenang di antara hari-hari yang aku lalui. Seperti selalu ada hari yang buruk di antara hari-hari menyenangkan dalam hidup. Tapi, sejak tinggal di kampung ini, hari demi hariku hanyalah hari-hari dengan penuh teka-teki. Akankah aku bisa membongkar semua misteri yang kutemui di sini?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN