Kandang Ternak

1311 Kata
“Terus kamu udah nanya sama Nyai perihal semalem?” Aku mengangguk. Begitu menceritakan kejadian semalam pada Nia, itulah yang pertama kali keluar dari mulutnya. Ia bertanya tentang apakah aku bertanya pada Nyai. Sebenarnya, kalau pun aku bertanya, aku agak ragu. Nyai tidak banyak bicara. Kalau iya pertanyaanku di jawab. Kalau tidak? “Kirain Agis, Nyai atau engga Abah yang jatoh. Abis kenceng banget suaranya. Itu tuh suaranya jelas banget, Nia. Bikin kaget!” Nia mendengarkan perkataanku dengan serius. Meskipun mungkin cara penyampaian ceritaku sedikit lebay dan overreactive, Nia bisa menahan tawanya. Sepertinya, jika aku yang berada di posisi Nia, aku sudah tertawa terpingkal-pingkal. Sepertinya Nia cocok menjadi guru PAUD. Ia mendengarkan aku yang terus mengoceh dengan tenang. “Terus?” kemudian, Nia bertanya padaku tentang kejadian yang terjadi selanjutnya. “Gak lama, ada suara anak ayam, ciak-ciak gitu, Nia.” Aku memang tidak salah ingat. Saat itu, setelah suara sesuatu jatuh begitu keras, terdengar suara ciak-ciak anak ayam yang terdengar dekat. Seperti di belakang jendela. “Ayam Nyai kali belum dimasukin kandang, kamu udah ngampihin semuanya, kan?” Aku menggelengkan kepala. Lagipula, anak ayam itu kan jauh sekali di belakang rumah seberang. Mana mungkin sampai ke belakang jendela. Aku ingat sesuatu. Kemudian, kutempelkan telunjuk di bibir. Setelahnya, aku memajukan wajah mendekati Nia. Teringat akan apa yang dikatakan temanku saat di kota dulu. “Kata temanku, itu suara kuntilanak!” ujarku sedikit berbisik. “Hush!” Spontan, Nia menjawabnya demikian. “Suka aneh-aneh kamu mah,” ujarnya lagi. “Aku udah nungguin, kalau memang Abah yang melintas menuju luar, bukankah akan terdengar bunyi derit pintu? Kan suara selotnya keras.” Nia menganggukkan kepala. Ia sepertinya menyetujui kalau perkataanku itu benar adanya. “Tapi, enggak ada bunyi sama sekali, lho. Yaudah kan, Agis tunggu barangkali memang Abah gak jadi keluar, tapi sama aja. Udah beberapa lama Agis tungguin, enggak ada yang lewat.” Rasanya baru sekarang aku secerewet ini. Biasanya, aku tidak terus terusan mengoceh, kecuali pada Dila dan Jani, temanku di kota dulu. Apalagi, meskipun Nia memang sepupuku, kami jarang sekali bertemu. Yang artinya, kami hanya bicara sesekali saat kami bertemu saja. Tapi, rasanya sekarang Nia sudah seperti Dila dan Jani yang bisa kuocehi apapun itu. “Terus?” “Terus terus mulu kaya tukang parkir! Abis ini pasti minta duit dua ribu!” Aku terkekeh. Gantian, biarin saja Nia yang aku kerjai. Biasanya, ketika aku yang bertanya tentang ini dan itu pada Nia, atau aku yang penasaran dengan kelanjutan ceritanya, Nia akan menggantung rasa penasaranku. “Gak lama....” Aku mulai bersuara lagi. Sementara itu, Nia memajukan wajahnya. Ia benar-benar menjadi penyimak ceritaku dengan penuh rasa penasaran. Sambil mengedip-kedipkan matanya, seolah menunggu aku untuk mengeluarkan kata-kata selanjutnya. Aku tersenyum licik, mulai muncul ide jahil di kepala. “Nungguin, ya?” Sekejap, ia memasang wajah sebal. Bibirnya maju dua mili, condong ke depan. Tertekuk, seperti origami. Rasain. “Hih, Nia tinggal nih, ya!” Aku menggelengkan kepala. Aku masih terlalu takut untuk ditinggal sendirian lagi. Sudah cukup kemarin saja aku merasa ketakutan karena tidak ada Nia yang tidur di sebelahku. Semoga malam ini, tidak ada suara ciak ciak, seperti kemarin malam lagi. Ku tahan tangan Nia agar perempuan itu tidak beranjak pergi. “Iya, aku lanjutin ceritanya, deh. Jadi, setelah ditungguin tapi enggak ada siapa pun yang lewat, tiba-tiba kecium bau kemenyan. Kaya dibakar gitu, Nia. Tau kan, mana menyengat banget. Seakan-akan itu kemenyan dibakar di kolong ranjang. Ih, merinding pokoknya. Kamu sih, pake segala nginep. Kan, aku jadi tidur sendirian. Serem tahu!” Aku memprotes Nia karena kemarin anak itu tidak pulang dan malah bermalam di tempat temannya. “Itu mah, karena kamu belum terbiasa aja, Gis. Nanti juga kalau sudah biasa mah, enggak takut lagi,” ujarnya. Setelah malam itu, tidak ada orang lain lagi yang tahu ceritaku. Hanya Nia, orang yang aku ceritakan secara lengkap kejadiannya. Nyai yang sebelumnya kutanyai tentang suara benda jatuh dengan keras pun tak banyak bertanya mengenai hal itu, seolah Nyai benar-benar tidak tertarik. Jadi, kuputuskan untuk mengubur cerita malam itu, melupakannya seolah hanya angin lalu. Beberapa hari setelahnya, tepatnya malam ini, kami sudah tidak lagi membahas tentang suara ciak ciak ayam yang kudengar lewat tengah malam. Aku juga sudah mulai terbiasa, tidur di bawah kelambu dan lampu remang-remang, tidak lagi merasa takut. Tapi malam ini, entah kenapa aku malah terjaga di sela-sela tidurku yang nyenyak. Waktu menunjukkan pukul sebelas malam. Bukan lagi sore, tapi memang sudah benar-benar larut. Aku melihat Nia yang sudah benar benar tertidur pulas. Sebenarnya aku tidak tega untuk membangunkan Nia yang sepertinya sedang lelap-lelapnya tertidur. Tapi, mau bagaimana lagi? Rasa ingin buang air kecilku tiba-tiba meroket. Rasanya sudah di ujung tanduk. Aku tidak memiliki pilihan lain selain meminta Nia untuk mengantarkanku ke kamar mandi. Kalau masih saja dilarang Nyai, ah masa iya. Ini juga kan demi kesehatan! Lagi pula, kurasa tidak akan apa-apa, selama aku masih awas. Aku tidak akan tersandung ke sumur tua itu. Terserah lah. Aku tidak tahan lagi. Kugoyangkan tubuh Nia yang terbaring tepat di sebelahku. Kugoncang tubuhnya hingga mata Nia sedikit terbuka. Benar, hanya sedikit. “Duh, kenapa sih, Gis?” Setelah berkali-kali kuserukan namanya, akhirnya Nia pun terbangun. Meskipun matanya tidak sepenuhnya terbuka. Nia masih menguap sesekali. Aku tahu kalau dia pasti sangat mengantuk. Tapi, aku juga benar-benar harus keluar. Pokoknya aku pantang menyerah. Daripada kasur kami basah dan bau pesing karena ulahku, bukankah lebih baik kita pergi ke kamar mandi yang letaknya di luar rumah itu? “Aku pengen pipis, Nia!” seruku padanya. “Duh, ada-ada aja sih, Gis. Tahan aja dulu, nanti juga ilang,” katanya lagi, lalu hendak kembali membaringkan tubuhnya di ranjang. Namun, secepat kilat kutahan. Jangan sampai Nia tertidur kembali. Bisa lama lagi urusannya. “Enggak bisa, Nia.” Nia masih terdiam. Ia terduduk, tapi matanya masih menutup. “Nia, ayolah. Aku pipis di kasur, nih. Biarin?” Akhirnya Nia membuka mata. Menatap sebal. “Kalau Nyai marah, kamu tanggung jawab, ya!” Dengan cepat, kuacungkan ibu jariku untuk Nia. Terserah kalau nanti dimarahi Nyai, yang penting aku sudah keluar dari sini. Kami perlahan membuka pintu samping dan mulai berjalan di lorong pendek sebelah rumah yang mengantarkan kami ke dapur dengan sumur tua milik Nyai. Di sini memang begitu gelap. Pantas Nyai tidak membiarkan kami keluar di malam-malam begini. Aku berjalan terus, sementara Nia di belakangku, membuntut dengan mata yang sepertinya masih tertutup. Ia menyender di dinding. “Cepetan ya, Gis!” katanya, masih dengan mata yang tertutup. Nampak seperti orang mengigau. Aku mengangguk cepat, meskipun sepertinya, ya Nia tidak tahu juga karena matanya masih terpejam. Aku segera berjalan ke bilik kamar mandi di dekat sumur. Kebetulan, baliknya itu hanya dihalangi oleh pintu dari terpal. Sementara, di sebelahnya adalah kandang ternak. Lega rasanya, akhirnya aku bisa buang air kecil, tidak lagi harus menahan-nahannya. Tuh, kan. Apa yang harus aku khawatirkan? Keluar malam tidak selalu membawa keburukan di waktu yang mendesak seperti ini. Namun, ketika aku hendak berdiri, terdengar suara gaduh dari belakang. Tepatnya dari kandang ternak yang memang berendengan dengan bilik kamar mandi, tempat di mana aku mendengar suara tersebut. Karena terdengar begitu gaduh, kuputuskan untuk mengintip ke kandang ternak. Kebetulan, ada celah kecil untuk melihat ke dalam sana. Terlihat para domba yang panik. Suaranya saling sahut menyahut. Awalnya, aku tidak bisa melihat dengan jelas karena gelap sekali. Kupicingkan mata demi menangkap apa yang terjadi. Seketika aku terbujur kaku. Ingin rasanya aku berteriak dan kencing di celana meskipun aku baru saja buang air kecil. Di depan sana, di antara ternak-ternak yang bergaduh itu, ada satu ternak yang berdarah-darah. Suara dari tenggorokannya, terdengar seperti saat hewan itu disembeliu pada hari raya kurban. Benar, lehernya hampir putus. Hewan ternak itu sedang digerogoti oleh makhluk hitam besar yang aku pun tak tahu apa itu. Hanya terlihat seperti bayangan hitam pekat yang besarnya dua kali lipat dibanding manusia pada umumnya. Sontak, dadaku berdegup kencang. Namun, ketika aku hendak berteriak, seseorang membekap mulutku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN