Hutan Kematian

1655 Kata
Lagi. Katanya, lagi. Berati ini bukan kali pertama, seolah memang sering terjadi, Nyai hanya seperti mendengar sebuah kabar yang biasa, tidak seperti mendengar kabar kematian. Mungkin karena ia sudah terlalu sering mendapati kabar serupa, karena hidupnya di kampung ini pun sudah terhitung lama, sejak menikahi Abah. Jadi, sudah terlampau sering Nyai mendengar kabar demikian. Aku masih sedikit kaget mendengar lelaki yang tadi disapa ‘Kang' itu menjelaskan bahwa baru saja ada jenazah yang ditemukan, lagi-lagi tergantung di cabang pohon besar di sebuah hutan penelitian, jalan menuju luar perkampungan. Jalan yang aku temui saat pertama kali datang ke kampung ini. Di mana aku melihat seorang perempuan dengan gaun merah yang tergantung di cabang pohon besar dengan rambut yang menutupi wajahnya. Sampai sekarang pun aku masih ingat bagaimana perempuan itu tergantung di sana, meskipun Nia bilang mungkin aku salah lihat. Jika begini ceritanya, au jadi berpikir, nama yang cocok untuk hutan itu bukanlah hutan penelitian, tapi hutan kematian, mengingat banyaknya korban yang tewas di sana. Hutan yang akhirnya menjadi tempat favorite untuk meregang nyawa. Kali ini seorang laki-laki. Sejak pak RT terlihat sibuk mengurus ini dan itu, sirine mobil polisi yang juga terdengar hilir mudik, ada mobil ambulance yang berlalu di depan rumah Nyai. Kami yang saat mendengar kabar itu sedang berkumpul dan melakukan rujakan, dengan segera bubar. Masuk ke dalam rumah masing-masing, mengabari para lelaki yang ada di rumah, siapa tahu mereka bisa membantu. Hanya Nyai yang begitu masuk, menaruh coet yang dari batu itu ke dapur, membereskan pisau bekas memotong mangga, baru berjalan ke dalam rumah. Abah yang sedang duduk di ruang tengah, dengan koran di tangannya dan cerutu yang dibiarkan menyala di asbak, terlihat tidak begitu tertarik. Sementara Nia, yang baru saja cuci tangan dari dapur turut duduk di sampingku, yang memperhatikan Abah dari dalam kamar. Entah, aku baru merasakan berada di situasi yang seperti ini. “Aya naon, Nyi?” Lelaki tua itu bertanya begitu Nyai menaruh segelas kopi di atas meja. Padahal, Nyai tetap memasang wajah yang biasa saja. Kemudian, setelah Nyai menaruh secangkie kopi hitam itu untuk Abah, Nyai duduk di sebelahnya dan mulai menjawab pertanyaan Abah setelah beberapa waktu. “Aya mayat. Di Kebon Tembang.” Sama seperti Nyai yang sebelumnya kukatakan hanya datar-datar saja air mukanya, Abah pun sama. Tak terlihat kaget atau pun panik sama sekali. Saat ini aku faham mengapa Nyai bisa menikah dengan lelaki yang usianya terpaut jauh, karena mereka terlihat sama. Banyak kesamaan. Selain sama-sama memiliki wajah yang jarang berekspresi, mereka berdua juga sama-sama penuh misteri. Aura yang mereka pancarkan pun demikian. Terlihat berwibawa sekaligus menakutkan. Beralih dari mereka yang sepertinya tidak begitu peduli tentang jenazah yang ditemukan itu, aku kembali bertanya pada Nia karena merasa janggal dengan air muka mereka. “Emang udah sering banget ya, Nia, ada jenazah kaya begitu?” tanyaku, saking herannya melihat ekspresi kedua orang tua yang duduk di meja tengah itu. “Kenapa gitu, Gis?” Nia malah balik bertanya. Ia merebahkan dirinya di atas ranjang dengan kaki yang menjuntai ke bawah. Aku yang tadinya terduduk diam, kini mengikuti Nia yang membaringkan tubuh. Kami menatap atap kamar yang tidak berlangit-langit. Hanya terhalang oleh kelambu tipis. Di atas sana, lampu bulat yang bila dinyalakan berwarna oranye terlihat sedikit berayun. “Kok Nyai sama Abah kaya gak kaget gitu, sih?” Nia terkekeh mendengar pertanyaan yang keluar dari mulutku. Seolah itu adalah sebuah lelucon. Padahal aku serius menanyakan hal itu padanya karena aku benar-benar penasaran. “Udah gak aneh soalnya nemu jenazah teh, Gis. Enggak cuma sekali dua kali atuh. Selama satu tahun ini ge, udah berapa ya?” Nia mengacungkan jemarinya, seolah-olah sedang menghitung berapa jenazah yang sudah menjadi korban Kebon Tembang. Seperti menghitung anak kambing di kandang hewan ternak milik tetangga. Rupanya kejadian seperti ini sudah seperti makanan sehari-hari bagi mereka yang tinggal di perkampungan ini. “Dan mereka semua mati karena dibunuh, Nia?” Siapa tahu, kan, karena tempat itu sepi, para pembunuh menjadikannya lahan untuk membuang mayat dan menghapus jejak kejahatan. Amit-amit! Semoga aku dijauhkan dengan hal-hal mengerikan seperti itu. Nia menggelengkan kepala, “Enggak juga, Gis.” Aku membalikkan badan, jadi bertelungkup sambil menunggu Nia bercerita. “Kalau perempuan gaun merah itu, sih, iya.” Aku ingat. Perempuan gaun merah yang pertama kali kulihat menggantung di cabang pohon tanpa busana. Gaunnya itu tersangkut di kakinya, dan menjuntai seperti selendang. Rambutnya terurai menutupi wajahnya. Kulitnya pucat. Sayangnya, aku melihat perempuan itu hanya sepintas. Seolah ia sedang menunjukkan padaku bahwa ia ada di sana. Ia pernah tergantung di pohon itu. “Waktu itu, masih pagi. Di hari libur,” ujar Nia lagi menerangkan. Aku mendengarkannya dengan saksama. Nia memang pernah sedikit bercerita tentang kasus ini, tapi tidak begitu mendetail. Sehingga aku tidak begitu paham sebenarnya apa yang terjadi. Kukira, itu hanya sebuah delusi karena aku baru saja melintasi hutan seperti itu. Ditambah sebelumnya, aku pun melihat sesuatu yang janggal di stasiun. Kukira itu efek obat tidur yang sebelumnya ku minum sejak kepergian Ibu dan Bapak yang secara mendadak itu. “Nia lagi masak sama Nyai di dapur. Abah lagi babad di kebon. Sekitar empat tahun lalu. Nia masih pakai seragam biru waktu itu.” Aku mengangguk-anggukkan kepala. Terus mengikuti ke mana arah Nia bercerita. Berati, aku juga masih duduk di bangku SMP. “Tiba-tiba teh jadi rame. Banyak orang yang ngobrol gitu setelah dengar suara sirine mobil polisi. Kaya tadi weh, gitu. Taunya, ada mayat ngegantung di cabang pohon. Enggak pakai baju. Talanjang!” Sama. Dari apa yang diceritakan Nia padaku, persis seperti apa yang kulihat waktu itu. Perempuan, tidak berbusana, menggantung di atas pohon. Bedanya, gaun merah yang kulihat, tidak Nia sebutkan. Apakah maksud kemunculan perempuan itu adalah memintaku untuk mencarikan gaun merahnya? “Enggak ditemuin identitasnya sama polisi. Waktu itu polisilen udah dipasang di tempat kejadian perkara. Takut para warga teh kararumpul, nanti tempatnya jadi rusak, susah diinvestigasi. Tahu sendiri kan tadi ge riweuhnya seperti apa. Waktu itu bahkan lebih rame dari ini, Gis.” Dari kalimat panjang yang keluar dari mulut Nia itu, ada satu kata yang membuatku malah salah fokus. Polisilen? Rasanya seperti... “Polisilen? Obat sakit Magh, Nia?” Aku mengangkat sebelah alis. Untuk apa memasang obat magh di tempat kejadian perkara? “Yang kuning itu, Gis. Tau kan? Yang kaya lakban tea ning!” Demi mendengar Nia berkata demikian, aku terkekeh geli. Ya Tuhan ternyata itu maksudnya. “Itu police line, Nia! Bukan polisilen.” Ada-ada saja Nia ini. Orang sedang serius-seriusnya, jadi tertawa gara-gara ia salah menyebut kata. Seketika bibirnya manyun. Salah sendiri, ia yang salah sebut. Wajar dong jika kutertawakan? “Haha, udah. Lanjutannya gimana?” Setelah puas tertawa, aku kembali menodong Nia dengan kelanjutan ceritanya. Masih ada rasa penasaran tentang sosok perempuan itu. “Iya. Kan itu jenazah teh harusnya dipulangin ke keluarganya. Tapi, polisi teh kan udah nyisir ke segala tempat di Kebon Tembang, tuh. Gak nemu apa-apa. Cuma nemu baju merah, eh gaun merah yang sobek di beberapa tempat gitu. Kaya ketarik paksa. Entah itu teh emang sengaja disobekin pelakunya, entah itu teh sobek karena nyangkut ke pohon-pohon pas dia lari. Pokoknya kalau dibayangin ya serem, sih.” Rasanya aku seperti sedang melihat sebuah film horor. Dari cerita yang Nia ungkapkan, kepalaku jadi mensimulasikan kejadian yang mungkin terjadi pada perempuan itu. Di kepalaku, terlihat perempuan yang masih memakai gaun merah itu berlari sambil sesekali menengok ke belakang. Sementara, seseorang masih mengejarnya tanpa ampun. Hingga akhirnya gaun panjangnya yang berwarna merah itu tersangkut di ranting pohon dan membuat gaun itu sobek. Kemudian ia tertangkap oleh pelaku, dan pelaku malah menambah sobekan pada gaunnya itu. Kemudian... Aku menggeleng-gelengkan kepala. Sepertinya, aku sudah terlalu banyak menghayal. “Terus, polisi gak nemu apa-apa lagi selain itu?” Nia tiba-tiba saja bangkit dari tempatnya berbaring, yang membuatku seketika terkejut. Hampir saja kepala kami saling berbenturan karena Nia tidak memberi aba-aba terlebih dahulu. “Ada. Tapi bukan kaya KTP atau SIM atau ya identitas-identitas begituan lah.” Aku mengangguk, “Terus apa?” Nia mengintip ke luar, ke ruang tengah. Di sana, Abah dan Nyai masih duduk berdua, entah mengobrol apa. Keduanya tidak saling menatap, tapi terlihat dari pergerakan mulutnya kalau mereka memang sedang berbincang. Mungkin, masih membicarakan tentang kematian seorang lelaki di kebon tembang yang membuat warga geger se pagi itu. “Ada celana dalam!” ujarnya sedikit berbisik setelah melirik ke tempat Nyai dan Abah duduk. “Celana dalam siapa?” Aku dengan spontan bertanya balik, dengan nada yang tidak kukecilkan sama sekali. Seolah hanya ada aku dan Nia saja di sini. Tidak ingat kalau Nyai dan Abah sedang duduk di ruangan sebelah. “Hush! Atuh jangan kenceng-kenceng, Agis. Nanti teh dikira lagi ngomongin apa ih!” Aku terkekeh. Padahal, tadi Nia sudah memberikan kode dengan mengintip kedua orang tuanya di ruang tengah. Sayangnya aku tak peka. Dulu, aku pernah peka, tapi pekaku sia-sia. Cielah. Jadi curhat. “Punya lelaki. Diduga sih milik si pelaku. Tapi anehnya engga ada sidik jari di sana. Kaya bersih aja gitu. Sudah dicoba untuk diidentifikasi, barangkali ada sesuatu yang bisa dites gitu!” Aku mengangguk-anggukkan kepala lagi. Meskipun tidak terdengar baik, setidaknya ini bisa dijadikan sebagai bahan pelajaran. “Polisi juga nyebar selembaran, kan. Barangkali ada keluarga yang hilang, atau mungkin ada yang kenal sama itu jenazah. Tapi, warga sini ga ada yang tahu. Gak ada yang kenal sama itu perempuan. Sepertinya memang bukan orang dari kampung sini. ” “Terus?” “Dari tadi teras terus teras terus, gak ada kata lain apa, Gis?” Tidak habis akal, aku mengganti kata terus dengan sinonim kata yang lain. Bukan Agis namanya kalau tidak ada ide meskipun sedang buntu. “Baiklah, lalu?” Nia menggelengkan kepala. Salah jika ingin berdebat dengan seorang Agis karena aku tidak pernah kehabisan ide untuk memenuhi rasa penasaranku. “Pokoknya dia bukan dari sini. Katanya teh itu perempuan meuni cantik pisan.” “Kayanya emang sengaja deh, Nia, dibuang ke hutan itu. Biar gak kecium pembunuhnya gitu.” Nia mengangguk. “Bisa jadi, sih.” “Kalau yang barusan, Nia?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN