Tiga hari kemudian.
“Jadi sekarang udah tahu kan penyebabnya teh apa?”
Seperti biasa, kami mengadakan pertemuan darurat di bawah pohon mangga begitu sesuatu yang tidak beres terendus hidung kami. Hari ini, setelah melewati hari yang berat itu, akhirnya kami berkumpul yang Lagi-lagi hanya sisa ber empat. Tidak. Jangan tanyakan kalau Teh Kinar pasti sedang bermalam pertama. Jangankan untuk melakukan malam pertama. Malam malam biasanya saja, Teh Kinar habiskan dengan botol botol infus di lepas hari itu. Hari yang mengejutkan bukan hanya untuknya, tapi juga untuk semua orang.
“Gila sih, gak nyangka aja sebucin bucinnya orang, kok bisa bisanya!”
Aku yang sudah beberapa bulan di sini akhirnya berani mulai memprotes orang orang yang kami bicarakan. Biasanya aku hanya menganggukkan kepala sebentar. Begitu yang lain mengompori, barulah dari situ aku turut mengikuti jejak mereka. Sekarang aku merasa lebih lepas dan lebih ekspresif walaupun sedang berkumpul kumpul keluarga.
“Dan sudah jelas pelakunya dia. Orang sejak awal teh sudah curiga, wah ada apa nih?”
Dita masih saja nerocos. Sementara Rendi, yang baru saja menuangkan air teh hangat ke dalam gelas mulai meminumnya seteguk demi seteguk.
“Gak mungkin atuh kalau orang lain mah. Buktinya kemarin terdengar sirine mobil melintas. Rupanya benar, polisi sedang mencoba untuk melihat seseorang yang telah kita curigai.”
Nia menceritakan dengan panjang lebar.
“Jadi itu teh gimana sih kejadiaannya?”
Hari ini, pembawa acara kelompok berkumpul kami ini adalah Nia dan Rendi. Rendi, berpekal dari informasi yang ia dapatkan dari bapaknya yang kebetulan seorang RT tadi. Ditambah ia juga sedikit banyak telah bertanya tentang progress kasus tersebut sampai akhirnya menjadi seorang tersangka.
“Kemaren tuh gimana sih rincian acaranya?"
Aku yang benar benar penasaran memikirkan bagaimana kronologi kejadian tersebut bertanya.
“Jadi sore itu mereka sedang pergi ke kompleks pemakaman-“
Belum selesai dengan kalimatnya yang menceritakan kronologi kejadian, Dita lagi lagi menyanggahnya.
“Rek naon sih sore sore ka kompleks pemakaman?”
“Nya nyekar atuh maneh teh, Dian. Masa weh mau bikin konser di makam. Sok aya aya wae kamu mah. “
Dengan cengiran kuda nya akhirnya Dita kalah telak.
“Jadi mau saya lanjut tidak ceritanya?”
Sementara itu Rendi kembali bertanya mengenai cerita yang akan ia bawakan. Ah, benar juga, ini pertama kalinya bagi Rendi untuk menjadi pimpinan acara kami hari ini.
“Nah, mereka bertiga akhirnya pergi ke kompleks pemakaman. Tapi, Kang Acep, tau kan kalian Kang Acep?”
Aku melempar pandanganku ke arah Dita dan Nia. Untuk memastikan mereka memang tau sesuatu. Aku sendirilaj yang tidak tahu menau tentang orang orang di sini. Siapa lagi Acep. Rasanya belum beres bertemu satu orang, sudah ada lagi orang yang baru.
“Eta, si buaya rawa tukang gombal padahal muka pas pasan. Heu euh kan?”
Dita menjawab, yang akhirnya malah berakhir sebagai pertanyaan juga. Buaya rawa katanya? Aku terkekeh geli. Bisa bisanya Dita berkata demikian.
“jadi gimana, Rend?”
Rendi mengambil jeda. Ia duduk di depan kami, membenarkan posisi duduknya setelah gelas di tangannya itu kosong.
“Tadi udah sampe mana sih? Dita sih motong motong wae caritana!” Protes Nia pada Dita yang memang sejak tadi karena ia lah cerita dari Rendi tidak selesai jua.
Rendi yang melihat mereka saling lempar itu hanya tersenyum. Kocak memang. Mereka saat sedang tidak dalam pikiran yang sama, selalu saja bertengkar seperti anjing dan kucing.
“Jadi gini. Saya dengar cerita ini dari Bapak saya sih. Cukup aneh gak kalau Teh Kinar minta dinikahin Bang Bruno? Kecurigaan kita selama ini ternyata benar adamua,” kata Rendi lagi.
Kami mengangguk anggukan kepala. Memang sejak mendengar kabar kalau Teh Kinar yang mati matian membenci Bang Bruno mau menikahi dan menerima lapangan kerja darinya, rasa tidak percaya menggelayuti kepala kami. Rasanya baru kemarin Teh Kinar memaki maki lelaki bertubuh tambun itu dan bagaimana mungkin dalam jeda satu bulan saja ia jadi benar-benar berbalik mencintainya. Bahkan, ia berkata kalau lelaki itu benar-benar tampan. Sepertinya, mata Teh Kinar sudah benar benar buta!
Tapi jawaban atas pertanyaan kami akhirnya terungkap. Sudah jelas kalau ternyata Bang Bruno ada main curang. Untungnya belum sampai ke Teh Kinar yang benar benar digilainya itu sah menjadi seorang istri.
“Awalnya Kang Acep yang tidak betah diam itu malah melempar pandangannya ke sana ke mari. Bukannya khusyu berdoa. Lantas, ada sebuah tumpukan, atau gundukan tanah yang menurutnya sangat aneh karena di kubur di tempat tersebut. Agak jauh jaraknya dengan kuburan kuburan yang lain.”
Kami masih menyimak penjelasan dari Rendi. Sesekali, aku meneguk air dalam gelas yang entah sudah beberapa kali aku tuangkan isinya. Tapi, tetap saja pada akhirnya kalau gelas itu kembali menjadi kosong.
Kami masih menunggunya bicara. Rupanya, kami memiliki dendam yang sama satu sama lain. Di mana kami ketika bercerita akan bertele tele agar orNg yang mendengar cerita kami menjadi geregetan dan harus banyak bersabar.
“Nah. Setelahnya, Kang Acep berkata pada Kang Haris juga Kang Tanah, alias Winarto. Mereka yang melihat gundukan tanah itu seperti tanah baru, makannya mereka mendekat. Dengan harapan ya mereka tahu siapa yang dikubur di sana.”
“Mereka juga sebelumnya saling lempar pertanyaan. Siapa yang sebenarnya meninggal sampai sampai keluarganya tidak sebegitunya untuk ya setidaknya datang membaca doa begitu.”
Aku menganggukkan kepala. Lagi. Terus saja mendengarkan lelaki itu bercerita tanpa harus memotong atau menyanggah ceritanya.
“Tapi, memang tidak ada yang meninggal atuh da akhir-akhir ini. Iya gak sih?”
Lagi lagi anak perempuan yang paling kecil dan paling cerewet itu menyanggah. Ia bertanya tentang siapa yang meninggal di kampung ini lagi. Seketika kami saling melempar tatap.
“Ada enggak yang denger kabar orang meninggal beberapa bulan terakhir?”
Setelah menatap wajah mereka satu persatu, seakan mentransfer jawaban dari dalam kepala, kami secara serentak menggelengkan kepala. Tidak terdengar kabar duga. Tidak ada juga warga yang mengadakan tahlilan. Seingatku, terakhir kali kami mendengar kabar duka itu saat Kang Maman ditemukan di Kebon Tembang. Sisanya, ya paling paling hanya laporan tentang hewan ternak yang hilang.
“Di gundukan tanah yang tadinya di kira sebagai kuburan baru itu, rupanya tak berpisah. Mereka bertiga berniat untuk menemukan nisan gundukan tanah tersebut. Mereka pikir, nisan nya jatuh atau terseret ke mana. Karena kan beberapa waktu lalu juga sempat hujan besar. Takutnya papan nisannya benar benar terbawa arus.”
“Mereka sudah mengecek sekeliling tapi tidak menemukan apapun. Kang Acep hanya menemukan sebuah cangkul yang terletak di dekat pohon yang agak kecil. Akhirnya Kang Acep itu memutuskan untuk menggali gundukan itu saja. Tapi, pas Kang Acep mulai menggali gundukkannya, bau bangke mulai tercium. Sangat menyengat. Katanya kalau kita ada di sana mungkin sudah muntah muntah dibuatnya.”
Masih menyimak tiap kalimat yang keluar dari mulut Rendi, Dita yang tadinya tak bisa diam itu akhirnya anteng mendengarkan cerita Rendi yang sudah masuk ke babak yang memang mengharuskan kami fokus karena mulai seru.
“Tidak lama setelah Kang Acep teh menggali itu gundukan, terlihat kain kafan. Jadi sepertinya memang dikuburnya tidak dalam. Awalnya mereka kira benar-benar ada mayat yang sengaja ditumpuk saja begitu. Jadi tidak dibuatkan lubang seperti makam makam pada umumnya.”
“Kebetulan saat itu, Bapak sedang babad di kebun. Tidak jauh dari kompleks pemakaman. Tiga sekawan itu katanya lari-lari menemui Bapak saya. Mereka meminta Bapak untuk ikut bersama mereka ke kompleks pemakaman.”
Sepertinya Rendi mulai haus. Terlihat bagaimana ia menjeda ceritanya lalu menuangkan lagi Teh ke dalam gelasnya yang sudah kembali kosong. Setelah meneguk beberapa kali Teh dalam gelas tersebut, kemudian ia melanjutkan lagi ceritanya.
“Akhirnya bapak yang menggali gundukan tanah tersebut. Di temui lah tujuh bungkusan dengan kain kafan yang Bapak kira adalah jasad jasad bayi korban aborsi. Demi memenuhi rasa ingin tahu dan barangkali memang pikiran Bapak saya itu benar, maka Bapak membuka kain kafan tersebut. Katanya takut kalau benar benar ada sindikat elegan praktik aborsi di kampung ini.”
“Tahu tidak apa yang Bapak saya temukan?”
Kami ber tiga dengan cepat menggelengkan kepala. Memang tidak terdengar jelas bagaimana alur cerita kejadian tersebut. Kami hanya tahu bahwa Teh Kinar gagal menikah karena memang Bang Bruno yang ketahuan bermain curang.
“Ayam cemani. Bangkai ayam cemani. Ketujuh tujuhnya. Berisikan hal yang sama.”
“Ayam cemani yang hitam itu?” aku bertanya.
Memang sudah cukup sering aku mendengar tentang ayam hitam yang katanya sepesial ini. Dimulai dari ciri badannya yang memang khas di mana semua anggota tubuhnya berwarna hitam. Dari paruhnya sampai ke kakinya. Semua berwarna hitam. Bulu, kulitnya pun sama berwarna hitam. Sampai bahkan ke dalam darah nya pun berwarna hitam. Ayam cemani itu sendiri seringkali dikaitkan dengan hal hal mistis. Pembebasan dari ‘simpanan' juga sering kali pakai itu. Tahu kan? Misal kita memiliki ‘simpanan' dalam tubuh, maka ayam cemani sering kali masuk dalam persyaratannya.
“Iya. Tujuh bungkusan itu ternyata berisi bangkai ayam cemani. Tapi, tahu apa yang lebih membuat merinding?”
Serempak kami menggelengkan kepala. Lalu, memajukan wajah kami agar lebih jelas mendengar ceritanya.
“Di sana, di bungkusan yang terakhir di buka, ada foto Teh Kinar beserta rambut entah beberapa helai. Ditambah alamat lengkap. Ada juga selembar kertas dengan tulisan bahasa Sunda. Seperti sebuah mantra yang kalau di artikan terdengar seperti buatlah ia menjadi takluk kepadaku. Begitu!”
Dengan cepat Dita merespon cerita Rendi.
“Kan bener yang kita duga selama ini! Pasti Bang Bruno udah melet Teh Kinar. Pantas saja teh Kinar mau sama dia. Ih geuleuh pisan kapanggih lalaki modelan kitu!”
Dita bilang kalau ia sangat jijik dengan Bang Bruno dan merasa menyesal karena kami pernah bertemu dengan manusia yang modelnya seperti itu.
“Syukurlah Teh Kinar belum sempet jadi istrinya, ya. Gak kebayang kalau mereka beneran nikah dengan cara bersekutu dengan setan begini,” ujarku yang kemudian disusul dengan anggukan kepala dari mereka bertiga.
“Ngeri juga ya, di sini masih ada yang seperti itu. Saya sampai merinding mendengar cerita Bapak saya.”
Rendi menggosok-gosok tangannya yang mulai terasa meremang. Hari itu aku tahu, bahwa cinta yang salah tidak akan pernah berakhir baik. Itu bukanlah cinta. Rasa yang dimiliki oleh Bang Bruno terhadap Teh Kinar adalah sebuah obsesi, bukan ketulusan. Ia bahkan menjadi buta dan tutup mata akan resiko yang kelak ia dapatkan. Sampai akhirnya berani bersekutu dengan setan hanya untuk mendapatkan hati seorang wanita. Cukup miris. Setidak dekat dekatnya aku dengan Tuhan, aku masih paham kalau perbuatan yang dilakukan Bang Bruno pasti sangat dimurkai oleh Tuhan. Obsesi membuat kita lupa, kalau cinta tak selalu bisa dipaksa.