Ucing Sumput

1094 Kata
Kampung Sukapoek kembali hening setelah tiga minggu berlalu. Aku sudah mulai bisa tidur dengan tenang meskipun kadang, lampu yang menggantung di atas kelambu itu menganggu. Seringkali aku terbayang yang tidak-tidak di atas sana. Di bagian rangka rumah yang terlihat samar-samar karena gelap. Entah itu sesosok perempuan dengan rambut yang menjuntai, atau sepasang mata berwarna merah yang terus melotot, yang aku yakini sampai sekarang hanya ilusi ku saja. Buktinya, Nia tidak melihatnya. Selama ia tinggal di rumah ini, tidak ada yang ganjil bagi Nia. Entah, mungkin karena memang ia sudah biasa, atau memang Nia yang terlalu cuek dengan hal-hal seperti itu. Yang pasti, menurutku yang masih mencoba untuk beradaptasi, hal-hal di dalam kampung ini banyak yang membuatku menggelengkan kepala berkali-kali. Terakhir kali, berita tentang pelet yang dilakukan Bang Bruno mencuat ke permukaan. Tapi, tidak sehangat beberapa minggu lalu, semua warga mulai kembali ke kehidupannya masing-masing. Begitu juga dengan Teh Kinar yang sekarang sudah terlihat lebih segar, bahkan sudah bisa mengobrol dengan kami di bawah pohon mangga. Aku, Nia, Dita, dan Rendi tidak pernah membicarakan hal yang menimpa Teh Kinar. Kami berjanji, bahwa kami tidak akan membuatnya teringat pada kejadian mengerikan yang hampir membuat Teh Kinar merasakan hidup di neraka untuk seterusnya. “Belum tidur, Gis?” Nia yang baru saja masuk ke dalam kamar bertanya padaku yang masih melempar pandang ke rangka atap rumah. Aku menggeleng. Disusul dengan Nia yang baru saja masuk ke dalam kamar, menaruh sebuah lilin padam yang tegak berdiri beralaskan sebuah piring kecil. Aku tidak tahu mengapa Nia membawanya ke kamar kami, padahal malam itu, lampu masih menyala, meskipun memang kenyataannya tidak seterang lampu-lampu di rumahku semasa di kota dahulu. “Lagi mikirin naon atuh, Gis?” tanya perempuan itu padaku, setelah dirinya merebahkan badan di kasur tempat kami beristirahat. “Enggak ada, Nia.” Aku hanya melakukan perjalanan kilas balik. Merasa tidak percaya bahwa pada akhirnya aku berakhir di tempat asing ini dan melihat kejadian demi kejadian yang bahkan tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Cukup dengan kematian kedua orang tuaku yang membuatku terkejut. Bahkan air mataku enggan keluar saking terkejutnya. Aku hanya diam. Mulutku bungkam, tapi isi kepalaku berteriak, sahut-sahutan. “Mau denger cerita?” perempuan yang kini sudah merebahkan tubuhnya di sampingku, tiba-tiba saja menawarkan diri untuk bercerita. Mungkin, ia berpikir jikalau itu adalah salah satu cara untuk membuatku dapat tertidur lelap. Aku mengangguk. “Tahu Ucing Sumput?” Ucing Sumput. Aku pernah dengar. Dua kata yang sepertinya memang tidak asing di telingaku. Nia memutar mata, berpikir untuk menemukan kata lain setelah melihat ekspresiku yang tidak langsung tanggap pada perkataannya. “Aduh, naon sih nya. Oh, iya tahu. Eta, petak umpet!” Aku mengangguk. Benar, itu yang tadi ada di pikiranku. Hanya saja belum sempat terkoneksi dengan baik. Maklum, kapasitas isi kepalaku sejak berada di kampung ini ikut melemah, bersamaan dengan koneksi internet ponsel pintar yang juga melemah bahkan menghilang. “Tahu, kenapa anak-anak kecil jarang main Ucing Sumput sosorean?” tanyanya lagi. Memang jika diperhatikan, tidak pernah terlihat ada anak-anak yang bermain petak umpet di sekitaran sini. Bahkan, anak-anak kecilnya saja aku jarang lihat. Aku menggelengkan kepala. Memang tidak tahu. Lagipula, Nia memang senang sekali bercerita, tapi bertanya. Jadi seperti benar-benar berkomunikasi dua arah. Sebenarnya, dengan cara bercerita seperti ini kurang cocok denganku yang lebih senang to the point. Aku tidak senang bertele-tele, tapi Nia bilang ‘Biar Gereget'. “Malah kayanya aku jarang lihat ada anak kecil deh, Nia,” cetusku kemudian. “Hari itu teh, langit masih cerah, sama seperti hari-hari biasanya. Kejadiannya ada sekitar sepuluh tahun yang lalu. Nia masih kecil waktu itu.” Aku mengangguk, mulai menyimak cerita Nia setelah kami sama-sama bangkit dari tempat tidur dan mendudukkan diri menempel dengan tembok yang terhalang kelambu. “Seperti biasanya, kami teh bermain di halaman rumah. Dulu, di sebelah rumah teh masih kosong. Masih banyak popohonan, Gis.” Nia masih bermukadimah, belum sampai di inti cerita. Aku masih mencoba untuk bersabar demi mendengar ceritanya dengan utuh. “Sore itu, Nia teh main ucing Sumput. Kalau tidak salah mah, ada empat orang. Termasuk Teh Kinar. Dita waktu itu teh masih belum ada di kampung ini, sementara Rendi rasanya juga masih tinggal sama Mamangnya di luar kota.” Aku lagi-lagi mengangguk mendengar penjelasan Nia. “Terus?” “Kebetulan, yang jaga teh Nia. Nia nu jadi ucing.” Dalam permainan ini, seseorang yang bertugas untuk jaga tempat disebut ‘Ucing'. Ucing ini harus menemukan teman-temannya yang bersembunyi dan menempelkan tangan ke tembok begitu ia menemukan teman-temannya yang bersembunyi tadi sambil menyuarakan nama orang yang berhasil diketemukan di tambah kata ‘Bela' di akhir. Aku sedikit banyak faham dengan cara bermain permainan ini. Meskipun memang aku tinggal di kota dan sudah jarang sekali menemukan hal semacam ini, tapi setidaknya, beberapa kali dalam setahun aku ikut bermain bila Bapak dan Ibu mengajakku liburan ke rumah Nenek dan berkumpul dengan sepupu-sepupu termasuk Nia. “Nia inget pisan, karena sampai magrib itu teh, sa desa jadi rame.” “Rame kenapa, Nia?” Aku mulai penasaran. “Basa eta teh, Nia kan jaga. Main teh ber empat. Nia, Jajang, Teh Kinar, sama si Yuyun.” “Jajang, Yuyun? Kok aku baru dengar?” “Iya, orangnya udah gak ada.” Aku tersentak, lantas spontan mengucap, “Innalillahi wa innailaihi rojiun!” “Hush!” Nia dengan cepat menepuk lenganku. “Ish, Nia. Kenapa sih?” “Bukan meninggal, Agis!” “Lah, mana Agis tahu. Kan tadi bilangnya udah gak ada.” “Gak ada di kampung ini maksudnya. Jajang sekarang teh udah jadi juragan sawit di Kalimantan. Kalau Yuyun sudah menikah dan ikut sama suaminya di luar kota.” Aku mengangguk lagi. “Jadi, ceritanya gimana?” “Sore itu, kita teh emang keasyikan main sampai mau magrib. Teh Kinar sudah ketemu, Yuyun juga sudah ketemu. Tinggal Jajang.” “Jajang ilang?” “Awalnya Nia pikir, Jajang mau bercandain Nia sama yang lain.” “Terus?” “Sampai lewat magrib, ketika kami mau pulang, si Jajang enggak muncul-muncul juga.” “Maksudnya menghilang gitu?” Nia mengangguk. “Sampai bedug isya.” “Sampai Isya?” “Nia sama yang lain sudah pulang ke rumah. Kami pikir, Jajang sudah lebih dulu pulang.” “Tapi ternyata, Jajang gak ada?” Nia menggelengkan kepala. “Ibunya lari-lari ke rumah, gedor-gedor pintu sambil teriak, ‘Nyai... Nyai'.” “Terus terus?” “Ai Agis teh mau jadi tukang parkir? Naha terus-terus wae atuh?” Nia. Di keadaan seperti ini bisa-bisanya malah mengajak bercanda. Padahal rasanya aku sudah sangat penasaran dengan apa yang terjadi selanjutnya. “Ternyata si Jajang teh....”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN