Makam

2132 Kata
“Kunaon sih kalah ngajak ka dieu maneh teh?” Acep sang buaya rawa itu mengoceh. Protes kepada Winarto yang mengajaknya ke sebuah tempat. Sementara Haris yang saat itu juga turut berjalan di belakang mereka hanya diam saja, tidak bersuara dan tidak protes. “Urang sinah nyekar ka makam. Atuh maneh jadi baturan teh kudu satia kawan naha. Sakedeung we. Moal lila lila iyeuh!” ujar Winarto yang membawa bungkusan plastik hitam di tangannya yang berisikan kembang tujuh rupa dan air sebotol. Katanya, Winarto disuruh untuk menyekar ke makam ayahnya selepas shalat jum'at tadi. Hanya saja, ia lupa dan baru ingat saat ashar kelar. Ia memprotes pada Acep yang terus terusan mengomel. Mereka bertiga memang sedang memasukki kompleks pemakaman yang berada di sebelah barat kampung. Tidak jauh dari rumah Kinar. Mungkin hanya butuh waktu lima menitan saja dengan jalan memutar. Karena akses jalan dari rumah Kinar telah lama ditutup. Hari itu, setelah mereka bertiga bercerita tentang gadis yang sempat menolak pinangan Haris, akhirnya mereka pergi ke makam untuk mengantar Winarto yang tiba-tiba saja menarik mereka berdua, yakni Haris dan Acep ke sana. “Batur mah ngajak teh ka warkop. Naon gawe maneh mah kalah ngajakan ka tempat kos kieu! Rek nongkrong jeung jurig maneh teh?” Lagi-lagi, si Acep itu menggerutu. Katanya, orang-orang akan mengajak temannya ke warkop untuk menongkrong dan menyeruput segelas kopi. Di bayangannya kopi hitam mengepul ditambah goreng pisang yang juga baru diangkat dari penggorengan terlihat begitu nikmat. Namun, pada kenyataan nya, yang ada di depan Acep hanyalah beberapa gundukan tanah merah yang ditancapi nisan di setiap ujungnya. Ada yang sudah terlihat usang, ada pula yang tanahnya agak baru. Itu tempat di mana Maman, korban yang melakukan bunuh diri beberapa bulan lalu. Ia memang di kuburkan di sana. “Sakeudeung doang, Cep! Ngomel wae ih, alabatan awewe maneh mah. Sing kalem geura, tingali tuh si Haris!” Winarto balik mengomel. Katanya, sebentar saja. Winarto hanya minta antar untuk menyekar, tidak lama paling-paling banter ya sepuluh menitan lah. Lelaki itu juga mencibir sahabatnya, katanya Acep lebih-lebih dari seorang wanita. Coba contoh Haris, dia hanya diam dan menurut tidak bawel dan protes terus terusan. Akhirnya mereka sampai di depan makam Almarhum Bapak Winarto. Sudah usang dan sudah di keramik warna putih yang kini jadi kecoklatan. Winarto berdoa dengan khusyu sementara Acep yang memang basicnya agak beragajulan itu malah lirik sana lirik sini. Sementara Haris yang paling kalem di antara ke tiganya, turut mengaminkan doa doa yang diucapkan oleh Winarto, sahabatnya itu. Cukup lama Acep memandang ke pojok sebelah kanan, di mana di sana dibatasi oleh pohon besar yang berjajar. Namun, ada sesuatu yang menarik perhatiannya. “Robana atina fiidunia hassanah...” “Aamiin.” “Waafil akhiroti hassanah...” “Aamiin.” “Wakinna ajabannar.” Bahkan sampai Winarto menutup doanya, Acep masih saja melihat ke arah pohon besar di pojok kanan. Tidak peduli kalau kedua temannya sedang khusyu berdoa. Sampai akhirnya, ia menyenggol lengan Haris yang kebetulan memang berada di tengah-tengah. Acep yang agak beragajulan itu duduk di pinggiran Nissan yang ada di sebelah makam Almarhum bapaknya Winarto. Sementara Haris berada di sebelah kirinya. Lantas, air dalam botol yang tadi sudah dibacakan doa oleh Winarto pun di tuang ke atas makam. Dari arah kepala lalu ke arah kaki secara berulang-ulang. Katanya biar Bapaknya itu tidak ke hausan di alam sana. Wallahu alam. “Ris.” Sedikit berbisik, Acep masih menyenggol nyenggol lengan Haris. Sebelum akhirnya lelaki itu menengok ke arahnya sambil mendongakkan kepala, ia menatap Acep seolah bertanya ‘Kenapa?’ “Geus can sih?” Acep bertanya, hanya dengan mulutnya saja yang bergerak tanpa suara. Katanya, sudah apa belum. Tak lama, Haris dan Winarto bangkit. Hari sudah hampir magrib. Senja juga sudah terlihat memayungi langit. Tapi, masih ada yang mengganjal pikiran Acep. Sebelum mereka melangkahkan kaki untuk pulang, Acep kemudian bertanya, “Win, Ris, emang aya nu maot nyah kamari kamari?” Ia bertanya dengan heran. Karena menurutnya dan seingatnya, ia tidak mendengar kabar duka. Terakhir kali yang tiga bulan lalu itu, si Kang Maman yang meninggal bunuh diri. Setelahnya tidak ada lagi kabar duka selain kabar hilangnya hewan hewan ternak dari kandang warga. Mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut Acep, Haris dan Winarto yang memang berjalan di depan Acep itu menoleh. Mereka memandang Acep dengan tatapan heran. Kenapa juga Acep bertanya tentang warga yang meninggal? “Kunaon emang, Cep?” Winarto akhirnya bertanya. Ia penasaran, apa yang membuat temannya itu bisa bertanya hal demikian. “Itu disitu ning aya makam anyar sih. Tingali geura!” Acep menjawab pertanyaan dari Winarto. Katanya, itu disitu ada makam baru. Dan ia menyuruh Winarto juga Haris untuk melihat ke arah yang ia tunjuk. Akhirnya keduanya mengikuti jari Acep yang mengacung. Ia menunjuk ke pojok kanan tepat di bawah pohon besar yang sejak tadi sudah ia perhatikan. Di sana tidak terlihat patok nisan. Apa mungkin patoknya copot? Acep menerka-nerka. Haris dan Winarto yang juga melihat gundukan tanah baru itu saling tatap. Acep benar. Di bawah pohon sana terlihat gundukan tanah yang memang seperti baru saja digali. Ketiganya akhirnya saling lempar pandang. Dengan rasa penasaran yang menggelayuti ketiganya, akhirnya Acep yang paling dulu menemukan gundukan itu berjalan lebih dulu. Gundukkannya cukup panjang, tapi seperti yang sudah dikatakan sebelumnya kalau tidak ada patok nisan di ujung gundukan tersebut. “Kuburan saha nya iyeu? Apal teu maneh?” Acep bertanya pada kedua temannya. Sementara kedua temannya itu menggelengkan kepala. Keduanya juga tak tahu. Haris tidak mendengar ada kabar kematian. Begitu juga dengan Winarto. Ia tak mendengar kabar duka lagi selain kematian Maman itu terakhir kali. Juga, tidak ada pindahan makam. Ditambah, di pojok kanan sana terlihat terpisah sendiri. Tidak berkumpul dengan makam-makam lainnya. “Makam naon iyeu nya euy?” Mereka tiba di gundukan tanah tersebut. Tidak ada bunga yang ditabur di atasnya yang mana biasanya menjadi tanda sebagai kuburan. Tidak terlihat juga bunga-bunga yang sudah kering. Kalau memang benar itu sebuah kuburan, seharusnya ada tapak-tapak bekas menyekar. Acep juga bercelingukan. Mencari ke sana ke mari barangkali ia melihat papan nisan yang copot dari ujung kepala gundukan tanah tersebut. Tapi rupanya tidak ada. “Jigana mah lain kuburan iyeu teh, Cep!” celetuk Winarto kemudian. Tapi semakin lama mereka berdiri di sana, mereka mencium bau yang aneh. Seperti bau bangkai. Semakin menusuk ke hidung semakin mereka mendekati gundukan tanah baru tersebut. “Nyium teu maraneh?” Acep lagi-lagi bertanya untuk memastikan kalau hidungnya memang tidak salah. Ia melirik ke arah Haris yang kemudian memberikan anggukan sebagai tanda setuju. Begitu juga dengan Winarto yang kemudian berkata, “heueuh euy! Bau bangke lain sih? Asa ku kieu kieu teuing bau teh ning. Ti mana nya?” Ia menyetujui perkataan Acep. Katanya, bau itu sangat buruk. Ia bertanya untuk memastikan pada kedua temannya kalau yang mereka cium itu adalah bau bangkai. Kemudian ia bertanya lagi, dari mana sumber bau tak sedap tersebut. Acep yang penasaran itu akhirnya mencoba mengorek gundukan tanah dengan sepatunya. Bau bangkai semakin menyeruak dari sana. Seketika ketiganya menutup hidung. “Bener iyeu mah bangke alah siah! Bangke naon iyeu nya?” Bukannya pergi, Acep malah semakin penasaran. Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Dilihatnya sebuah pacul alias cangkul di dekat pohon yang sedikit lebih kecil. Akhirnya, ia mengambil cangkul tersebut dan mulai menyingkirkan sedikit demi sedikit tanah yang menggunduk itu. Betapa terkejutnya mereka bertiga begitu menemukan sesuatu yang memang dikubur tapi tidak dalam. Hanya seperti ditutupi oleh gundukan tanah itu saja. Ketiganya dengan segera mundur saking kagetnya. “Dih, naon eta, Cep!” Hampir berteriak, Winarto nampak sedikit ketakutan. Di sana, terlihat sesuatu berwarna putih. Seperti kain kafan. “Saha nu ngubur deet kieu, Gusti!” Acep menggerutu. Ia bertanya-tanya, siapa manusia yang tega mengubur mayat dengan begitu dangkalnya. Awalnya ia mengira kalau itu adalah mayat orang dewasa. Tapi, sepertinya tidak demikian karena bentuknya pendek-pendek seperti bayi. Tapi lebih dari satu. Mereka semakin terkejut dan kebingungan. “To... Naon eta to!” Sambil menepuk tepuk pundak winarto yang juga sama terkejutnya, Acep tak bisa lagi berkata-kata. Karena takut sesuatu tak beres terjadi, akhirnya Acep, Winarto, juga Haris memilih untuk melapor terlebih dahulu kepada Pak RT. Segera mereka bertiga lari dari sana dan menarik Bapak RT yang kebetulan sedang berada tak jauh dari tempat pemakaman karena ia sedang melakukan babad di kebunnya. “Pak RT! Pak!” ujar Acep terbata-bata. “Duh, aya naon atuh, Cep?” Pak RT yang sedang membabar rumput liar yang mulai merambat di kebunnya itu seketika menghentikan pekerjaannya. Melihat Acep yang begitu terbata-bata, ia mencoba mengerti dengan maksud perkataan Acep. “Eta, Pak RT! Etaaa...” “Atuh, Cep. Ai kitu wae mah bapak teh moal ngarti. Aya naon sih?” Kesal mendengar kawannya yang tidak selesai-selesai berbicara, akhirnya Haris menarik tangan Acep dan maju ke depan. Ia yang paling tenang di antara ke tiganya memang. Bahkan dari saat mereka masih berkumpul di gardu sore itu, terlihat Haris lah yang tidak banyak bicara. “Kami menemukan sesuatu yang janggal, Pak RT. Mending Pak RT teh ngiring wae jeung kami.” Akhirnya Haris menarik lengan Pak RT yang masih kebingungan itu. “Kedap heulan. Emang aya naon, kitu?” Langkah Pak RT terhenti. Tetap saja, lelaki itu butuh penjelasan. Ia berkata, sebentar dulu, memangnya ada apa? Sebelum ketiga lelaki itu berkata untuk apa Pak RT harus mengikutinya, ia tidak mau asal ikut saja. Akhir-akhir ini juga banyak yang membuat laporan palsu ataupun laporan sepele. Sampai Pak RT dibuat kewalahan mengurusinya. Tak tahan lagi, akhirnya Winarto yang angkat bicara. “Ada mayat di kuburan, Pak RT.” Wajah Winarto terlihat serius. Tapi, memang ketiganya itu terkenal senang membuat lelucon. Tak lama, Pak RT tertawa mendengar perkataan Winarto. Ia pun menjawab ke lelaki itu, “Namanya juga makam, ya pasti di penuhi mayat, atuh.” Tidak ada yang salah dengan ucapannya. Memang benar kan, kuburan itu tempat dikuburnya para mayat yang sudah tak bernyawa lagi. Pak RT berpikir kalau mereka bertiga itu sedang bermain-main dengannya sekarang. “Serius, Pak. Aya mayat orok jigana. Aralit. Parendek. Cik tingal heula, Pak!” Untuk meyakinkan Pak RT, Winarto sampai memasang wajah yang benar-benar serius. Ia berkata kalau mayat yang ia temukan itu kemungkinan adalah mayat bayi-bayi, dilihat dari ukurannya. Tapi, bagaimana mungkin mayat bayi sebanyak itu dalam satu kuburan? Demi mendengar kabar menggemparkan dari mereka bertiga, pak RT pun turut terkejut. Dengan arit yang masih di tangannya, ia ikut berlari ke pemakaman untuk memastikan kalau mayat itu benar-benar mayat bayi yang mungkin saja sengaja dikubur di sana atas praktek aborsi atau sejenisnya. Siapa tahu, mereka dapat membuka kartu dari gerbong jasa aborsi ilegal di sekitaran kampung tersebut. Dengan sekuat tenaga, mereka menahan bau yang menyengat, yang begitu menyeruak ketika semakin digali kuburan tersebut. Ada sekitar tujuh bungkus kain kafan dengan ukuran yang kecil-kecil. “To, buka, To!” ujar Acep begitu mereka kelar menggali gundukan tersebut. Terdapat tujuh bagian yang diselimuti oleh kain kafan. Sementara, Winarto yang disoraki namanya itu menggelengkan kepala. “Maneh weh, Cep. Pan maneh nu manggihan!” Aksi lempar-lemparan tak tertahankan lagi. Winarto yang enggan membuka bungkusan itu malah melempar balik pada Acep yang banyak bicara. Sementara Haris dan Pak RT rupanya sudah lebih dulu bergerak. Mereka mencoba menyingkap salah satu dari tujuh bungkusan tersebut. “Bismillahirrahmanirrahim!” Sebelum ia membuka bungkusan itu, ia lebih dulu mengucap basmalah. Terlihat bulu hitam di sana. “Sepertinya, mah bukan bayi ini teh, Pak RT!” Haris yang paling pendiam itu tiba-tiba berbicara. Ia telah menyingkap satu kain yang membungkus entah apa itu. Tidak mungkin seorang bayi memiliki bulu yang hitam seperti itu. Jadi, untuk memastikan kebenarannya, ia membuka bungkuaan tersebut lebih lebar. “Astagfirullah hal adzim!” Acep menutup matanya sejak tadi dengan telapak tangan. Meskipun ia buaya rawa yang tidak takut kena karma karena telah banyak mempermainkan wanita, ia tetap saja seorang penakut. Bagaimana tidak, begitu ia melihat bungkusan yang ia temukan dalam gundukan tanah baru itu, ia terus-terusan menutup matanya sambil komat kamit. “Naon eta, Pak RT!” Lelaki itu hampir berteriak. Rasa penasaran lebih mendominasi tapi rasa takutnya pun tak kunjung hilang. Akhirnya ia mengintip dari sela-sela jarinya dan menemukan Pak RT yang beristigfar setelah membongkar dan membuka bungkusan tersebut. Haris yang memang saat itu berdiri paling dekat dengan Pak RT pun turut beristigfar. Di dalam bungkusan kain Kafan itu, rupanya adalah bangkai dari ayam ayam cemani. Ayam cemani adalah sejenis unggas yang sedikit berbeda dan berbau mistis. Ayam cemani sendiri berwarna hitam legam. Semuanya dari ujung kepala hingga ujung kaki ayam cemani itu berwarna hitam. Bahkan, darah dari ayam tersebut pun sama saja, berwarna hitam. Biasanya, ayam cemani itu dipakai untuk ritual atau untuk sesuatu yang menghubungkan manusia dengan iblis. Seperti pesugihan, pelet, santet dan sejenisnya. Mereka yang semakin penasaran, akhirnya membuka semua bungkusan bungkusan tersebut. Diketahui semua isi dari bungkusan itu adalah ayam cemani. Selain bangkai ayam cemani itu pun, ditemukan hal lain. Hal yang akhirnya membuat semuanya menjadi berbanding terbalik.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN