Bab 10: Flash back

1027 Kata
Pagi ini Adi dikejutkan dengan kedatangan sang kakek yang mendadak ke rumah nya. Ia yang baru saja selesai mengenakan seragamnya langsung mendatangi pria paru Bayah yang memimpin keluarga pamungkas itu dengan cepat. Sebelum semua terlambat dan terbongkar. Sesuai dengan apa yang direncana kan tadi malam, dirinya dengan Kevin membuat sebuah rencana yang nantinya akan mereka gunakan di saat terdesak, tapi bukan sekarang. "Memar lagi? Sebenarnya apa kegiatan kamu sampai memar terus tiap hari begini?" Adi menggeleng, lalu mengingat kejadian tadi malam yang membuat Kevin tercengang bahkan sampai tidak bisa tidur karena bingung dan rasa kaget yang menjadi satu. Sebab tadi malam Adi kembali merasakan mimpi yang aneh itu dan menyebabkan dirinya mengalami memar di area wajah seperti ini. Mengingat Kevin yang tidak mempercayai ceritanya, Adi pada akhirnya tertidur setelah Kevin memaksanya untuk memejamkan mata. Hingga dalam hitungan menit dirinya sudah berada di sebuah area pemakaman yang tampak bersih dan sering ia kunjungi, Adi sadar dirinya tengah berada di pemakaman milik kedua orang tuanya. "Yah, bund. Adi janji bakal balas apa yang para k*****t itu perbuat. Adi Janji itu." Setelah mengucapkan itu, Adi kemudian bangkit dari duduknya menuju parkiran motor, tapi sebelum sampai di sana ia sudah di hadang oleh sang kakek pamungkas yang terlihat menatapnya dengan senyuman sinis. "Ngapain ke sini? Bicara sama orang mati lagi? Gak guna! Bagus kamu kembali ke mansion, kamu bisa bercerita dengan kakek, paman, Tante dan sepupumu yang lain. " Adi berdecih pelan, apa katanya? Kembali ke mansion dan bisa mendapatkan teman ngobrol? Yang ada bukannya ia merasa tenang malah merasa frustasi dan mati di usia muda. "Sorry, tapi tawaran lu... Gak menarik!" Bidiknya tepat di telinga sang kakek, setelah mengatakan hal itu ia melanjutkan langkahnya menuju parkiran dan langsung meninggalkan area pemakaman. Meninggalkan pamungkas yang tampak terdiam dengan gemuruh amarah di dalam hatinya. Bisa-bisa nya bocah tengik itu menghinanya seperti ini, sudah syukur ia mau merendahkan diri untuk mengajak Adi tinggal bersamanya, emang gak tahu diri. Tanpa mengatakan apa pun, pamungkas akhirnya berjalan menuju pusaran makam milik anak dan menantunya. Ia melihat sebuah nama yang terpasang di batu nisan dan terkekeh pelan. "Bisa-bisa nya kamu punya anak seperti iblis begitu, padahal kamu dan istrimu adalah malaikat." Pamungkas mengusap nisan sang putra dengan binar mata meredup. "Andai kemarin kamu gak se keras kepala anak kamu itu, mungkin sekarang kamu tetap hidup bersama keluarga kecil yang kamu idam-idamkan dulu. Sayang, demi nama baik kamu korbankan diri dan juga istri, yang berakhir menelantarkan anaknya sendiri. Pilihan kamu membuktikan bahwa orang baik sekalipun bisa salah memilih jalan." "... Coba saja malam itu kamu gak ngotot ingin memindahkan semua perusahaan peninggalan ibu kamu menjadi atas nama kamu sendiri, kamu gak akan berakhir tragis seperti ini Widi. Kamu pasti masih hidup." Tanpa pamungkas sadari di balik pohon seberang makam itu, Adi mendengar semua ucapannya secara jelas bahkan pemuda itu sudah merekamnya untuk menjadi bukti-bukti kuat nanti saat menuntut si tua Bangka gak berguna itu. Adi mengepalkan tangannya terasa ingin menyerang sang kakek secara membabi buta tanpa memperdulikan usia maupun siapa yang ia hajar itu. Akan tetapi ia tidak akan seceroboh itu hanya untuk memuaskan amarah saja. Ia akan melihat sampai sejauh mana Pamungkas bermain dengan dirinya. Lihat saja nanti. Melihat sang kakek yang berjalan keluar dari area pemakaman, Adi segera mengikuti ke mana tetua keluarga pamungkas itu pergi ketika waktu telah menunjukkan masuk waktu magrib seperti ini. Selama di perjalanan Adi merasakan adanya denyutan perih di hatinya, semula ia selalu mendikte dan menduga-duga jika yang menyebabkan kedua orang tuanya meninggal bukanlah dari keluarganya sendiri, namun tepat hari ini segala pemikiran positif nya telah terpatahkan berubah menjadi rasa kecewa dan benci yang semakin besar untuk keluarga yang penuh dengan kemunafikan itu. Sepuluh menit ia mengikuti pergerakan dari kendaraan sang kakek, sampai ketika dirinya menemukan jika pamungkas pergi menemui paman nya, satu-satunya orang yang masih ia anggap saudara dan tengah tertawa dengan kuatnya seolah membuktikan jika keduanya bahagia atas kepergian kedua orang tuanya. "Gimana, Pa?" Sayup-sayup Adi mendengar obrolan keduanya, dan memutuskan untuk ikut duduk tak jauh dari paman dan kakeknya itu. "Sampai sekarang belum bisa, Adi juga sulit di ajak kerja sama anaknya. " "Terus gimana? Gak mungkin kita jadi b***k itu bocah, kan?" Bocah? Enak saja mengatai dirinya bocah, bahkan dibandingkan sifat paman dan kakeknya yang merasa paling tidak bocah itu, ia lebih dewasa dalam menyikapi sebuah permasalahan. "Papa masih berusaha, selagi papa usaha kamu Terus ambil hati Kevin agar mau menyerahkan sahamnya, sehingga kita bisa jadi pemilik saham mayoritas." Kevin? Akh? Ternyata sepupunya itu juga ikut menjadi tumbal seperti dirinya, pantas saja Kevin dipaksa untuk bekerja padahal masih berstatus sebagai seorang siswa. Licik sekali permainan pak tua ini, ia harus segera membalaskan nya sebelum sepupunya ikut masuk ke dalam lingkaran hitam keluarga pamungkas. Prok! Prok! Prok! Mata pamungkas dan anaknya langsung terkejut melihat kedatangan Adi yang secara mendadak. Apalagi keduanya sempat ngobrol hal yang menjadi rahasia dan menyangkut tentang kedua orang tua Adi. "Sebuah konspirasi yang luar biasa epik. Harus gue kasih nilai berapa nih?" Pamungkas segera bangkit dari duduknya dan menghampiri sang cucu dengan wajah yang tegang. "Rilex dong, jangan tegang gitu," ujar Adi yang dengan santainya duduk di kursi yang digunakan pamungkas tadi. "Sejak kapan kamu di situ?" "Siapa? Gue? Emm... dari kalian cerita seru tentang bokap nyokap gue lah, kenapa?" Paman Adi langsung bergerak berdiri dengan menatap Adi tajam. "Gak tau sopan santun kamu yah, nguping pembicaraan orang lain. " "Lebih gak sopan kalian dong. Masa mau ambil hak gue, miskin emang." Pamungkas mendesis tidak suka. Memang cucunya ini bermulut pedas sekali, lihat aja gimana nanti apa yang akan ia lakukan kepada pemuda yang saat ini dengan santai nya tengah meminum jus yang bahkan belum ia sentuh sama sekali. "Yang perlu diinget, warisan itu punya gue, selama gue masih hidup, gak ada yang boleh ngotak-ngatik warisan itu, paham?" Pamungkas dan pamannya diam, Adi hanya terkekeh gemas ingin membunuh dua orang di depannya ini. Merasa muak dengan keadaan yang ia hadapi, Adi bangkit dari duduknya dan menatap sang kakek dengan tajam. "Satu lagi, makasih udah bongkar siapa dalang di balik kecelakaan kedua orang tua gue. Dan akhirnya gue sadar, sifat kejam gue keturunan siapa dan sewaktu-waktu bunuh keluarga b*****t kayak kalian pun gue bisa."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN