Bab 11 : Kenyataan

1149 Kata
Kepergian Adi tentunya membuat kedua orang yang saat ini saling pandang sedikit merasa gentar, pasalnya jika Adi memiliki bukti yang kuat, maka berakhir lah mereka berdua dan rencana yang sudah tersusun matang. "Kita pake plan B. Papa curiga itu anak udah ada bukti makanya berani seperti itu. Jalan satu-satunya hanya melenyapkan dan membuang ia jauh dari ruang lingkup keluarga kita." Paman Adi tampak terkejut mendengar nya, membuang Adi sama saja dengan membunuh kembali, ia tidak mau harus menanggung rasa bersalah seumur hidup lagi, akan tetapi jika tidak ia turuti maka dirinya lah yang akan mati. Sedangkan Adi sendiri sudah berjalan menjauhi area kafe dan melakukan motornya menuju rumah tempatnya pulang. Akan tetapi begitu sampai di persimpangan komplek, ia dihadang beberapa pengendara motor yang mengenakan jaket hitam lambang mawar merah, ia tahu itu siapa dan kenapa menghadangnya, yang jelas ada kaitan dengan sang kakek dan juga keluarga pamungkas. "Kenapa?" Tanya Adi berusaha sesantai mungkin, memang dia tidak ada rasa takutnya hanya saja tempat ini sedikit sepi dan tidak mungkin juga satu lawan sepuluh lebih, yang ada mati lah dia. Mau sehebat apa pun dirinya tapi kalau sudah lawan tidak seimbang bisa mampus. "Kenapa? Takut?" Tanya seseorang yang amat sangat Adi kenal dengan wajah tertutupi helm full face. Adi berdecih tidak suka, apa tadi katanya? Takut? Ia bukan takut hanya saja menyadari jika telah kalah jumlah. "Gue gak takut, malah kayak nya elu tuh yang takut, gak berani one bye one, harus banget pake dayang-dayang?" "Bacot banget!" Belum sempat Adi bersiap, sebuah tendangan langsung mengenainya dan membuat ia jatuh tersungkur. Meringis pelan Adi langsung bangkit dan menatap orang yang menendangnya tadi dengan tajam. "Cuih!" Bugh! Bugh! Adi terus menghujani lawanya dengan pukulan kuat, di samping itu pula ia harus berusaha menghindar dari pukulan lawannya yang lain. Meski dengan nafas yang tidak beraturan, ia bisa menumbangkan paling tidak empat orang secara bersamaan. Tinggal beberapa orang lagi yang tentunya masih membuat ia kalah jumlah. Bugh! "Mati Lo, b*****t!" Mata Adi berkunang-kunang setelah menerima pukulan yang begitu kuat di kepala belakangnya ia merasa sangat pusing hingga tak lama mata tajam itu tertutup secara sempurna. Dan di sini lah Adi sekarang, bertemu dengan sang kakek di depan rumah miliknya dengan keadaan wajah yang kurang baik. Sontak saja sang kakek merasa terkejut meski dirinya menganggap tindakan itu begitu lebay. Mengingat mimpi kemarin, ia bahkan harus membuat Kevin menangis ketakutan ketika melihat darah segar mengalir dari kepala bagian belakang nya. Sang kakek dengan paman nya terlibat sebuah konspirasi untuk melenyapkannya demi sebuah harta warisan. Memang, semua harta milik keluarga pamungkas adalah milik dirinya. Sedangkan untuk pamungkas sendiri hanyalah kakek tiri yang dalam artiannya merupakan ayah sambung dari ayahnya dan tidak berhak menerima warisan yang jelas-jelas sudah diwarisi untuknya . Nenek Adi menikah lagi setelah menjanda dua tahun, saat itu usia ayah Adi masih balita, dan tak lama sang nenek hamil memiliki anak bersama dengan kakek nya yang saat ini menjadi penjahat. Hanya saja sesuai dengan wasiat kakek kandungnya jika harta warisan sepenuh nya milik sang ayah, kakek tiri Adi gelap mata dan berhasil membunuh ayah Adi yang notabennya tidak berdosa itu. "Gak kenapa-kenapa." Jawabnya singkat dan enggan melihat ke arah pamungkas yang saat ini tengah menatap dirinya dengan penuh ke khawatiran. "Ini kenapa kok lebam nya banyak banget? Kevin mana Kevin? Kevin!" Tak lama sepupunya yang hanya memakai celana boxer dengan wajah bantalnya keluar dari dalam kamar dan melihat ke arah sepupunya dengan heran. "Kenapa?" Tanya Kevin ke arah Adi dengan sedikit ringisan sebab melihat luka lebam di wajah mulus milik Adi. "Masih lebam gitu, gak lu kompres apa gimana?" Adi meraba lukanya lalu menekan lebam itu dan sama sekali tidak merasakan rasa sakit sama sekali. "Gak sakit, berarti gak parah." "Gak sakit gimana? Ini sampe biru gini, malah kayaknya lebih parah dar pada tadi ma-..." "Hust!" Adi memberikan kode kepada Kevin untuk menyadarkan sepupunya itu bahwa ada orang lain di sini. Seolah mengerti, Kevin pun mengangguk lalu menatap kakeknya dengan malas. Well, ia memang tidak pernah menyukai tetua keluarga pamungkas ini. Terlalu ambisius dan mengukur kemampuan semua cucunya sama rata. Dan sudah pasti Adi yang cerdas ini akan menjadi cucu kesayangan. Terlepas dari itu semua satu-satunya yang membuat Kevin tidak menyukai pamungkas karena ia merasakan hawa yang tidak mengenakkan dari pria paruh baya ini. "Kevin, kenapa muka cucu kakek jadi kayak gitu? Kamu ke mana aja sih? Katanya mau jagain." "Bacot bener pak tua, lagian cucu nya bukan cuma Adi doang, gue juga!" Pamungkas mendesis tidak suka, cucunya ini memang paling bisa memancing emosinya. "Kakek nanya Adi, bulan kamu! Itu kenapa muka Adi bisa bonyok sedangkan kamu malah mulus aja, berarti kamu yang buat dia kayak gitu, ngaku kamu!" Kevin memasang wajah penuh nelangsa. Bukannya mengasihani dirinya malah menuduh seperti ini. "Kakek, tahu kah kamu apa yang kamu lakukan itu jahat?" "Halah drama. Ngaku aja kamu ." "Kakek anjing...." Batinnya memaki pamungkas yang masih saja membahas ini. "Mana gue tahu . Dikira gue ini satpam nya." Adi menutup mulutnya lantaran merasa geli melihat Kevin yang juga tengah menatapnya dengan geli, well pagi pagi membuat orang tua kesal gak masalah kan? Malah berpahala karena menghibur diri sendiri . "Dah lah, ngomong sama kamu buat kakek darah tinggi, bagus kakek pergi ke kantor aja." "Sana pergi, sekalian jangan balik lagi, lagian pagi-pagi udah nyemak di rumah kami. Gak guna." "Gak ada sopan santunnya. Orang tua kamu gak ngajarin adab kayaknya. Makanya anaknya begajulan." Kevin yang tadinya menatap Adi dan berbicara lewat tatapan langsung menatap ke arah Pamungkas begitu mendengar kalimat menghina kedua orang tuanya. "Kembali lagi sih, emang orang tua bokap gue ada ngajarin adab? Ada ngajarin tentang akhlak? Gak ada kayaknya, orang titisan Dajjal. " "Kamu!" Kevin yang mendengar suara lantang sang kakek bukannya takut malah mendekati pamungkas dan menyerahkan pipi mulusnya untuk menerima tamparan itu. Tapi bukannya menampar, pamungkas hanya mendesah pelan, lalu pergi dari hadapan keduanya tanpa mengatakan apa pun lagi. Seketika rasa bersalah muncul dalam diri Adi, kakeknya adalah kakek terbaik selama ini, dikarenakan kejadian di alam bawah sadarnya yang entah benar atau tidak, ia langsung menjudge sang kakek yang buruk. "Vin, keterlaluan gak sih yang tadi?" Tanya Adi pelan. Kevin yang mendengar itu sontak langsung menatap sepupunya dengan geli. Emang dasarnya Adi yang tidak tegaan, padahal jika ia jadi Adi mungkin sang kakek sudah meregang nyawa menyusul kedua orang tuanya. Well, sebenarnya ia sudah mengetahui perihal kejadian kecelakaan itu dari sepupunya atau lagi, dan bisa dikatakan jika Adi saja lah yang tidak mengetahui nya. Secara memang ini disembunyikan seluruh keluarga untuk mewarisi harta Adi secara diam dan perlahan-lahan. Licik memang, Kevin akui itu. Makanya ia berusaha membantu Adi untuk mencari titik terang dan bukti, meskipun ia tidak menyangka jika sepupunya ini mengalami hal yang tidak masuk logika seperti yang terjadi tadi malam. Untuk saat ini biar Adi sendiri yang mencari tahunya dan ia akan bertindak secara tipis-tipis agar tidak dicurigai keluarga yang lain. Begitu juga dengan kedua orang tuanya yang membantu secara diam-diam.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN