Catatan Harian Rinjani 1

1207 Kata
Catatan Harian Rinjani   Ku rindu Purnama lalu Berpayung kabut asmara Hingga kini masih ku rasakan Meski kini kau tlah sirna (Purnama - Lesti) . . . .   Ini kali ke empat seorang Putra Lukman Abdi mendatangi sebuah pabrik tekstil tempat terakhir Rinjani bekerja. Seorang securiti sudah hapal betul dan sedikit maklum. Walau pada akhirnya dia harus menyeret Putra yang marah-marah karena tidak diberi informasi kemana Rinjani pindah. Salah seorang staf HRD menjelaskan bahkan Rinjani tidak membawa surat refferensi kerja satu minggu setelah dia resmi resign dari perusahaan itu.   "Apalah arti langit malam tanpa Purnama, Rin!" jerit Putra ketika keluar dari pelataran pabrik yang berada di kawasan Rancaekek. Beberapa karyawan yang kebetulan melintas menjadikan Putra sebagai tontonan. Ada yang menganggap dia orang 'sakit', ada pula yang merasa iba karena tahu permasalahan yang sedang pria itu hadapi. Seperti debu yang tertiup angin berita kedatangan Putra mencari Rinjani untuk pertama kalinya tersebar begitu saja.   "Mas!" teriak seorang perempuan, langkahnya terhambat karena sepatu hak tinggi yang dia kenakan. Putra tidak menyadari panggilan itu ditujukan kepadanya sehingga dia terus saja berjalan. "Mas, hei, Mas yang baju biru!"   "Saya?" tanya Putra seraya menunjuk wajahnya sendiri.   "Iya, siapa lagi." Perempuan itu terengah.   "Ada apa?" ketus Putra, moodnya sedang tidak baik, dia tidak punya banyak waktu sekadar untuk berbasa-basi.   "Rinjani, ini soal Rinjani," kata perempuan itu cepat.   Wajah Putra berbinar, "Mbak tahu dimana Rinjani?"   Perempuan itu menggeleng, terlihat jelas seraut wajah kecewa Putra.   "Nama saya Nani, Rinjani teman satu divisi di kantor, meja kami bersebelahan. Dan dia meninggalkan ini di laci meja, sepertinya ketinggalan atau memang sengaja dia tinggalkan." Nani menyerahkan sebuah agenda dengan sampul hijau pucuk daun. Warna favorit Putra. Di sudut jilid agenda tersebut terdapat sebuah stiker yang Putra desain sendiri ketika awal-awal menjadi mahasiswa desain grafis di sebuah universitas ternama di kota Bandung.   "Ini ...." Putra tergagap saat menerima catatan itu.   "Catatan Harian Rinjani, maaf saya lancang membukanya," potong Nani.   "Terimakasih, Mbak Nani, terimakasih banyak." Kini, ada binar bahagia yang terpancar dari netra kelam Putra.   Sesampainya di rumah dia duduk di sebuah sofa di lantai dua. Sofa yang sering dia duduki bersama Rinjani. Menikmati satu loyang Pizza buatan Ibu atau Seblak tulang Bu Marni kesukaan mereka berdua.   Debaran jantungnya bertalu-talu kala dia membuka agenda itu. Satu keyakinan yang dia miliki benda itu sengaja Rinjani tinggalkan sebagai petunjuk agar Putra dapat menemukan keberadaannya.   Dengan perasaan yang tidak dapat digambarkan Putra membuka Lembar pertama. Tulisan Rinjani yang cantik terlihat kala lelaki itu membukanya.   Bandung, 27 Mei 2013   Namaku Rinjani, jika seseorang bertanya aku sedang apa, maka akan aku jawab bahwa AKU SEDANG PATAH HATI.   Memendam perasaan pada sahabat sendiri itu rasanya menyakitkan, ya. Dan kalah satu langkah dari sahabat itu juga tak kalah sakit.   Hari ini kedua sahabatku sedang berbahagia. Reka yang belum pernah jatuh cinta ditembak Putra. Sepertinya mereka sudah jadian, ada binar bahagia yang terpancar dari wajah Putra.   Aku tidak punya hak untuk marah pada mereka, walau bagaimana pun aku menyayangi Reka dan mencintai Putra.   Bagiku, mencintai itu membiarkan dia bahagia, dengan pilihannya. Dan seorang Rinjani harus kuat, meski kadang air mata ini datang tidak diundang. Nambah-nambah kerjaan karena harus kompres mata biar gak keliatan bengkak besok :D   Baru lembar pertama Putra sudah merasa dicubit. "Sebesar itukah kamu mencintaiku, Rin?"   Dia membuka halaman terakhir berharap Rinjani menuliskan kemana dia akan pergi.   Lembar demi lembar Putra buka, hingga dia tak sabar dan langsung membuka halaman terakhir.   Bandung, Akhir tahun   Pada akhirnya segala sesuatu di dunia ini harus berakhir. Kalender sudah berada di lembar terakhir, Bang Anton mengakhiri masa lajang, Aku mengakhiri masa kerja, dan Putra mengakhiri pencarian dengan melamar Denisa, gadis manis yang sangat sempurna. Balutan hijab selalu menutupi seluruh tubuhnya. Tidak seperti diriku yang selalu menunggu kesiapan.   Dengan berakhirnya pencarian Putra maka berakhir pula kisah cintaku. Berakhir pula sikap so kuat yang selalu aku jadikan tameng. Dan berakhir pula sedihku di sini. Di kota penuh kenangan ini.   Namun, ini bukan akhir dari segala akhir. Kalender habis akan ganti dengan yang baru, tahun baru, harapan baru. Masa lajang Bang Anton berakhir pertanda dia memulai hidup baru, sebagai suami, dan siap untuk menjadi ayah.   Dan pencarian Putra berakhir pertanda dia juga akan memulai hidup baru. Bersama orang yang dia cintai.   Aku juga memulai hidupku yang baru. Tanpa Putra, tanpa Cinta yang selalu aku pendam dan tanpa kenangan pahit yang selalu menghantui hari-hari di kota ini.   Aku tinggalkan catatan ini semata untuk melupakan, melupakan pedih, melupakan pahit dan getir.   Selamat datang kehidupan baru. Semoga aku dapat menemukan cinta yang lain. Cinta yang aku jalani bersama dengannya bukan sendiri. Siapa pun itu!   Putra ambruk, dia merosot dari sofa kemudian berteriak histeris. Anis, sang Ibu terkaget-kaget melihat keadaan anaknya.   Wanita paruh baya itu bahkan tidak dapat menenangkan Putra. Tergopoh-gopoh dia meraih gawai dan melakukan panggilan, minta pertolongan pada Anton.   "Nak, Anton, tolong Ibu, nak. Putra ngamuk, dia teriak-teriak."   "Innalillahi, kenapa Bu, kesurupan?" tanya Anton.   "Ibu gak ngerti, tolong tenangkan dia, Ibu takut," pinta Anis. Dia gemetaran dan bersembunyi dibalik pintu kamar.   Suara benda pecah membahana di seluruh ruangan. Sesekali Putra berteriak memanggil Rinjani.   Tangannya berdarah karena dia memukul dinding berkali-kali dengan tinjunya.   Anton tiba ketika Putra hendak membanting sebuah TV LED ke lantai. Beruntung, Anton dapat mencegah kegilaan Putra.   Seketika Anton dapat menebak apa yang terjadi ketika melihat agenda yang selalu Rinjani bawa tergeletak di lantai.   Pria itu tergugu dengan posisi bersujud, bahunya berguncang. Tangannya terus memukul lantai. Penyesalan selalu datang di akhir, berpisah dengan Rinjani membuatnya mengerti. Indahnya saat mereka bersama. Indahnya hari-hari yang mereka jalani dari tahun ke tahun.   "Bu," bisik Putra disela isakannya. "Aku mau cari Rinjani."   "Cari dia, Nak. Bawa dia untuk ibu." Anis menyayangi gadis piatu itu seperti dia menyayangi Putra. Sejak ayah Rinjani masuk penjara karena terjerat sebuah kasus, sejak ibunya menghembuskan napas terakhir, Anislah yang selalu mencurahkan kasih dan sayang pada Rinjani.   ️️️   Siang berganti malam, Anton membantu Anis membereskan kekacauan yang Putra perbuat. Sesekali dia melirik Putra yang sedang merokok di balkon. Tubuhnya terlihat lebih kurus. Anis melihat luka mendalam pada diri putra kesayangannya, tetapi dia tak tau harus berbuat apa.   "Put, sudah makan?" tanya Anton dibalas dengan gelengan kepala. Lelaki itu merasa iba melihat keadaan sahabatnya. Penyesalan membuat dunianya runtuh.   "Gue pesenin makan, ya? Atau mau masakan ibu? Ibu masak apa bu?" tanya Anton berusaha mencairkan kebekuan di ruangan itu.   "Ada gulai daun singkong, kesukaan Putra," jawab Anis, senyumnya meneduhkan. Perempuan berbaju kuning itu berharap Anton berhasil membujuk Putra untuk makan, akhir-akhir ini lelaki itu tidak pernah memakan makanan yang dia hidangkan.   "Wah, asik, tuh. Makan yuk, Put. Gue temenin," ajak Anton.   "Gue gak laper!" seru Putra tanpa semangat.   "Bro, lo harus kuat, mungkin lo harus cari Rinjani ke tempat yang jauh. Kita semua sama-sama kehilangan dia. Dia gak punya siapa-siapa selain kita."   "Semua salah Gue," isak Putra. Jika Anton tidak memeluk Putra lelaki itu ingin sekali menghantam kaca pembatas balkon.   "Kesalahan bisa diperbaiki. Apa yang terjadi bisa kita jadikan pelajaran. Benar apa kata Anton, kamu harus kuat. Gak boleh sakit, kalau sakit siapa yang akan bawa calon mantu ibu balik?" Anis berusaha meyakinkan sang putra.   Putra terpekur, dia menatap langit, gemintang yang bertebaran tidak dapat membaca perasaannya. Betapa dia merindukan Purnama.   Dimana pun kamu berada Rin langit yang kita tatap masih langt yang sama, aku harap kamu selalu menatap bintang dan menjadi purnama dalam hidupku.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN