Dalam Pelarian
Bali, 15 Januari 2019
Rinjani
Keindahan sunset dengan siluet pura adalah pemandangan paling menakjubkan yang memanjakan mataku. Karenanya, aku tidak pernah menyesal memilih tempat ini untuk menjadi tujuan pelarian. Tanah Lot, adalah tempat yang berhasil melucuti egoku sebagai seorang kekasih bayangan.
Lihat saja, semburat jingga merekah malu-malu. Persis sama seperti pipiku yang merona saat pria itu melontarkan pujian dan sejumput kata sayang. Padahal sesungguhnya itu semua lebih pantas di sebut sebuah gombalan. Naif bukan? Ya aku memang naif, bertahan selama bertahun lamanya dalam sebuah kubangan luka yang tidak menghasilkan darah.
Namun, keindahan senja itu akan segera sirna tergantikan oleh pekatnya gulita. Sama seperti rona merah yang sirna berganti luka. Tetap saja pada akhirnya aku adalah bintang kecil yang diabaikan karena indahnya terang bulan. Aku terlalu memaksakan diri untuk menjadi seorang Purnama dalam hidupnya.
Namaku Rinjani, gadis yang sudah tidak muda lagi. Saat ini, di Tanah Lot yang sesak dengan hiruk pikuk wisatawan aku sedang membuang sesuatu. Berusaha membuka lembaran baru dengan melarikan diri dari rasa yang sudah lama tertanam dalam d**a. Rasa yang kini berganti dengan rasa yang lain.
Namanya sakit. Sakit yang di sebabkan oleh Cinta.
Kau sembunyikan rasa cintaku
Dibalik topeng persahabatanmu yang palsu
Kau jadikan aku kekasih bayangan
Untuk menemani saat kau merasa sepi
Bertahun lamanya, ku jalani kisah cinta sendiri.
(kekasih bayangan, Cakra khan)
Bandung, Mei 2013
"Rin, tunggu!" pekik Putra, napasnya terengah. Peluh membasahi kemejanya yang putih, seragam kebanggaan kami.
"Lho, Reka mana? Bukannya tadi mau pulang bareng, ya?" tanyaku ketika melihat sosok yang tidak terlalu tinggi itu sedang mengatur napas. Dia mengangkat tangannya meminta jeda, apa yang ada di otaknya hingga dia berlari menyusulku yang sudah sampai gerbang depan sekolah? Yang benar saja, kelas kami ada di lantai dua.
"Re ... kah ... hah ... bentar, Rin aku capek." Dia terus terengah, melihat wajahnya yang basah membuatku tidak tahan untuk menyeka bulir-bulir keringat dengan sapu tangan. Kemudian dia akan menghirup sapu tangan itu, dan menyimpannya sebagai kenang-kenangan.
Sayangnya aku tidak memiliki sehelai sapu tangan. Itu artinya, tidak akan ada kisah manis tentang aku, dia dan sapu tangan. Astaga, Rin, apa yang kamu pikirkan?
Akhirnya aku menyodorkan selembar tissue basah beraroma bayi. Dia meraih benda itu kemudian mengusap wajahnya. Lebih tepatnya, dia menggosok hingga warna kecoklatan kini m*****i putih dan bersihnya tissue tersebut.
"Jorok!" Aku mendengkus melihat kelakuannya. Namun, ada perasaan aneh saat Putra tersenyum, giginya yang putih dan rapi menggelitik hatiku. Matanya yang seakan hilang dan tergantikan satu garis lurus membuatku gemas. Ingin cubit, eh!
"Reka lagi mikir," cetusnya seraya membuang tissue kotor ke dalam tong berwarna biru. Kini dia terlihat lebih segar, tidak ada peluh yang bercampur dengan kotoran wajah.
"Mikir apaan, Put, jadi ini gimana? Kamu mau pulang bareng Reka atau mau numpang mobil aku lagi? Tuh mang Asep udah dua kali nglaksonin, gandeng!" Aku tahu betul tabiat sahabatku ini, kalau tidak bareng Reka ya dia Nebeng di mobilku. Bahkan Anton sudah enggan ngasih tumpangan karena menurut Anton, sahabat kami yang paling tua, Putra tidak tahu malu.
"Mikir masa depan, Rin!" Napasnya sudah mulai teratur. Putra, sahabat yang selama tiga tahun ini selalu aku pandangi secara diam-diam itu kini duduk. Ada senyum yang merekah dari bibirnya, parasnya indah, laksana matahari pagi yang muncul dari balik pegunungan. Menyebarkan rona merah di langit sekitarnya. Sama halnya dengan rona merah yang selalu muncul di kedua pipiku.
"Masa depan apa, sih, Put? Jangan bikin pusing, kalau mau nebeng ayok, keburu mang Asep marah, ntar." Aku pegang pergelangan tangannya yang lembab karena keringat. Kalau bukan Putra, ogah pegang-pegang tangan keringetan begini.
"Rin, gak lupa kan apa yang selalu aku bilang? Kamu adalah orang pertama yang akan aku kasih tahu kalau Putra Lukman Abdi jatuh cinta," papar Putra, dia sedang jatuh cinta, pipinya bersemu merah.
Dadaku rasanya sesak. Ada perasaan tidak rela mendengar Putra mengalami fase itu. Perempuan mana yang telah mencuri hati seorang Putra. Membuat pria bernetra mirip Oppa Korea itu terlihat lebih hidup.
Takut-takut aku mengajukan satu pertanyaan, "kamu jatuh cinta?"
"Iya, Rin, dan baru saja aku tembak dia." Putra terlonjak, dia begitu antusias. Seperti balita tiga tahun yang jingkrak-jingkrak menerima sebuah balon gas berbentuk sponge bob.
"Udah jadian?" tanyaku lirih. Dengan segenap kekuatan aku berusaha membuat suara senormal mungkin. Lalu ku gigit bibir bawah, menahan tangis.
"Belum, dia lagi mikir!" tukasnya santai.
Lagi mikir, bukannya tadi dia bilang Reka lagi mikir. Ah seperti sebuah kepingan puzzle yang tercecer. Membeli mawar pink yang notabene adalah kesukaan Reka. Nolak tumpangan dan lebih milih pulang bareng Reka.
"Jangan bilang, orang yang kamu tembak itu Reka." Aku menebak asal, tanpa ku duga jawaban yang didapatkan benar-benar menohok dadaku. Aku ingin menangis.
"Sayangnya tebakan kamu benar. Akhirnya, Rin. Setelah berbulan-bulan aku tahan rasa ini, rasanya plong, terlepas apa jawaban Reka nanti. Yang penting dia tahu dulu, bahwa Putra menyayanginya lebih dari sekadar sahabat. Aku ingin melindungi dan menjaganya sebagai pacar." Mata Putra berbinar, senyumnya yang lebih manis dari gula jawa, gula aren dan gula pasir kembali dia pamerkan.
Sayangnya, selain gelenyar aneh dengan jutaan kupu-kupu dalam perutku senyum itu juga menghujamkan perih. Kenapa senyum itu kau tujukan bukan untukku, Hey Putra Lukman Abdi?
"Kamu tahu ini salah, Put?" tanyaku, kali ini benar-benar bergetar. Pandanganku mengabur, mungkin saja dengan sekali kedipan air mata bodoh ini akan jatuh menghujani tanah. Aku tidak berhasil menahan keinginan untuk tidak menangis.
"Lupakan perjanjian kita, Rin. Kalau sudah cinta bagaimana? Aku lelah Rin, lelah menyimpan perasaan ini."
Kalau begitu kita sama lelahnya, Put. Aku lelah karena sudah menyimpan rasa cinta ini sendirian.
"Percaya padaku, Rin, persahabatan kita berempat tidak akan pernah berubah. Aku tetap menyayangimu, menghormati Anton. Yang berbeda mungkin aku dan Reka ...."
"Sudah cukup." Aku memotongnya, tidak sanggup untuk mendengar apa yang akan dia katakan selanjutnya, "Reka datang. Melihat senyumnya aku tahu, kalian akan jadi sepasang kekasih."
"Aku deg-degan, Rin." Dia meremas kedua tangannya, terlihat dengan jelas pancaran kebahagiaan dari kedua mata sipitnya.
"Apapun itu, selamat ya, aku harus pulang, Mang Asep udah melotot, tuh," gumamku lirih. Tetapi masih berusaha untuk bergurau, menutupi sesuatu yang menyakitkan di dalam d**a.
Ketika hendak beranjak pergi, Putra meraih pergelangan tanganku, "aku janji, Rin, Persahabatan Kita. Aku akan menjaganya."
Tidak ada lagi getar-getar kebahagiaan dalam diri ini kala Putra menggenggam kedua tanganku, dengan perasaan sakit aku melepaskan pegangannya. Suaraku sepertinya bergetar, aku gak tahu apakah Putra menyadarinya atau tidak.
"Aku pegang janjimu, jangan sampai kita berempat mengalami perpisahan hanya karena bulshitt bernama Cinta," ancamku. Kemudian ku langkahkan kaki menuju mobil yang terparkir tidak jauh dari gerbang. Langkahku begitu ringan, seperti kapas dan tidak menjejak bumi.
Jangan melihat ke belakang, Rin, atau kamu akan semakin sakit melihat pemandangan yang mereka suguhkan. Sekuat hati aku mencoba untuk terus bertahan, tetapi hatiku berkhianat, ku palingkan wajah untuk melihat ke arah sekolah. Benar saja, Putra mencium kening Reka, keduanya terlihat bahagia dan sempurna. Sesempurna air mataku yang benar-benar berjatuhan menghujani tanah.