PUTRA
"Tapi bintang akan tetap kalah dengan pesona terang bulan, rembulan itu satu, dia tidak punya saingan."
Putra baru mengerti maksud dari perkataan Rinjani di atas atap kala itu. Bodoh, payah, tidak peka.
Rinjani ingin menjadi Purnama dalam hidup Putra. Karena purnama itu satu, tidak punya saingan.
"Ah Rin, kenapa gue sebodoh ini." Putra bergumam, dia hampir putus asa.
Anton bilang Putra serupa dengan orang-orangan sawah, atau barong-barongan saat tujuh belasan di salah satu kecamatan di Garut.
Pria bermata kelam itu lupa bagaimana caranya memanjakan diri dengan makanan. Seblak tulang kesukaannya kini menjadi sesuatu yang paling dibenci. Tiba-tiba saja aroma kencur dan bawang putih yang dia hidu membuat perut bergolak dan mual.
"Lo kayak bini gue, Put. Tiap lewat tukang seblak pasti mual, matanya berair gak lama kemudian ... "
"Stop, ga usah diterusin, gue tambah mual," potong Putra jijik. Permen asam yang ada di saku celananya kembali dia emut. Berharap dapat menghilangkan rasa mual. Jika dihitung ini adalah permen asam yang ke lima. Nafsu makan Putra amblas ke dasar jurang. Membuat sakit lambungnya bertambah, sehingga dia persis seperti perempuan yang tengah hamil muda.
"Tapi nyenengin karena bini gue kayak gitu lagi ngandung Anton junior, lah lo?" ledek Anton. Harusnya Putra kesal mendengar ledekan Anton. Namun, sudah tidak ada selera. Karena seleranya benar-benar amblas hingga ke dasar jurang.
"Gue mesti gimana, Nton? Kepergian Rinjani waktu gue ngelamar Denisa selalu terbayang. Gue merasakan ada luka yang dia tanggung sendirian. Rasanya pengen lari kejar dia tapi kaki gue kayak di lem." Putra mengusap wajah dengan kasar, "hingga akhirnya gue bener-bener kehilangan dia."
Rambut yang biasanya halus bak bintang iklan shampo kini berantakan dan sedikit berminyak. Penyesalan bahkan membuatnya lupa kapan terakhir kali mandi dan keramas. Anton prihatin, tetapi mau bagaimana lagi, kekacauan ini dia sendiri yang ciptakan.
"Pertama kali gue tahu Rinjani suka sama lo itu dulu banget. Pas lo nembak Reka," papar Anton. Polisi lalu lintas yang gemar pakai kopyah itu menyesap minumannya. Lantas menggerogoti tulang dengan bumbu pedas yang kini dibenci istri juga sahabatnya.
"Lo kenapa gak bilang, dodol!" maki Putra, karena bau kencur lantas dia beringsut mundur menggeser kursi menjauh dari Anton. Seblak adalah salah satu makanan yang sering dia makan bareng Rinjani. Segala hal yang mengingatkan dirinya pada gadis itu membuat dia diserang mual yang hebat. Bukan karena benci Rinjani, melainkan benci pada diri sendiri.
"Masa lo gak sadar sih, Put. Gue sering banget pengen nonjok lo. Untung aja Rinjani selalu nahan gue. Kalau enggak, bengep tu wajah tiap kali lo bikin Rinjani nangis." Anton berbicara tanpa menoleh pada Putra, makanan di depannya jauh lebih menggugah dari muka kusut Putra.
"Gue bikin Rinjani nangis? Kapan?" tanya Putra kebingungan. Antara bodoh, pura-pura tidak tahu atau bahkan benar-benar tidak tahu. Lelaki itu bahkan bersumpah seumur-umur kenal dekat dengan Rinjani tidak pernah sedikit pun ada niatan buat nyakitin Rinjani.
"Mau gue sebut satu per satu? Oke yang gue inget aja, ya. Pertama pas lo jadian sama Reka. Lo inget gak pernah ngajak dia nonton, trus gue juga waktu itu pengen ikut?" tanya Anton, seraya menyeruput jus mangga karena kepedesan. Dia sebenarnya emosi, hanya saja sekuat hati menahan agar tidak terjadi keributan. Putra sedang rapuh, ibaratnya dia sedang oleng karena kehilangan sandaran.
"Yang mana? Gue lupa," jawab Putra masih bingung. Hingga membuat Anton berdecak kesal.
"Ya itu, lo gak pernah anggap Rinjani spesial makanya lo lupa gitu aja setiap moment yang terjadi sama Rinjani. Asal lo tahu, dia nangis dua hari dua malem karena lo tinggalin di bioskop sendirian."
Anton menghabiskan seblaknya hingga tandas. Kemudian membungkus stereofoam kedalam kantong kresek hitam dan membuangnya. Dia melirik Putra sekilas, asem! Dia yang tengah di rundung penyesalan kembali memakan permen asam.
"Hidup lo kayak permen itu. Asem!"
Nah, kan dia juga bilang kalau hidup Putra asem.
"Mau kemana, Nton?" tanya Putra ketika melihat Anton mengambil sepatu dan rompinya.
"Balik, lah. Gue kesini cuma numpang makan seblak."
"Lo belum selesai cerita, Nyet!"
"Cerita apa lagi? Gue balik, ya, bini Gue udah nungguin," pamit Anton. Dia benar-benar meninggalkan Puta sendirian. Meratapi nasib, baper-baper gak jelas.
Putra resmi jadi makhluk baperan sejak empat bulan yang lalu. Saat itu, Rinjani tiba-tiba hilang dan dia merasa kosong.
Dia udah kayak orang gila nyari Rinjani kemana-mana. Bahkan sampe rela ditertawakan polisi saat laporan bahwa Rinjani hilang sudah lebih dari 2 kali 24 jam.
Empat bulan lalu ....
Gedung tempat resepsi pernikahan Anton berlangsung sudah mulai sepi. Kursi-kursi yang dilapisi kain putih berpita letaknya sudah tidak serapi saat pagi. Terdapat kelopak mawar putih yang berserak di bawahnya.
Rinjani berdiri dengan anggun mengenakan Long dress. Tawanya selalu merekah, memancarkan kecantikan yang membuat pria mana pun akan terpesona karenanya. Kecuali Putra.
Gadis yang sudah menjadi sahabatnya sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Atas itu tidak lebih dari sahabat. Rasa sayangnya sebatas sayang seorang kakak kepada adiknya.
Kemarin, Putra ditemani Rinjani memilih dan membeli sebuah cincin berlian. Umurnya sudah tidak muda lagi, sudah saatnya Putra melamar gadis pujaan hati.
Dan sekaranglah saatnya. Denisa, gadis yang selalu anggun dengan balutan hijab. Kepada Denisa dia tambatkan hati.
Disaksikan ketiga sahabatnya serta seorang sahabat Denisa, Putra mulai melancarkan aksi. Melawan degup jantung yang seakan bertalu, pria itu berlutut seraya bertanya, "Denisa, maukah kau menjadi istriku?"
Hening. Denisa menatap Putra tanpa berkedip. Hingga beberapa detik kemudian suara benda jatuh memecah kesunyian. Disusul dengan derap langkah yang menjauh.
Putra melihat Rinjani berlari, entah kenapa ada rasa seperti dicubit kala melihat bahunya yang berguncang.
"Maaf, Kak Putra, Denisa tidak bisa menerima lamaran kak Putra. Abah sudah menjodohkan Denisa."
Putra bergeming. Hatinya sakit, bukan karena penolakan Denisa. Melainkan kepergian Rinjani. Apakah ada sesuatu yang salah? Sesuatu yang tidak dia ketahui?
Anton mendekat, pengantin yang seharusnya berbahagia itu menyentuh bahu Putra dengan lembut. Wajahnya sendu, terlihat jika pria itu mengetahui sebuah rahasia.
"Katakan sesuatu!" pinta Putra.
Anton mengangkat sudut bibirnya sedikit, dia tersenyum sinis. Reka seorang sahabat yang juga menyaksikan kejadian itu tidak kalah kaget. Dia mendekat sama-sama minta penjelasan pada Anton.
"Ini yang terakhir, Put! Sudah cukup lo nyakitin perasaan Rinjani. Cukup berikan dia sebuah harapan lalu menghancurkannya." Ada amarah di mata Anton.
"Maksud lo apa, gue gak ngerti," tuntut Putra.
"Rinjani sudah lama mencintai lo! Asal lo tahu, kemarin dia bercerita bahwa kalian membeli cincin bersama. Dia kira cincin itu untuk dirinya. Dan dia begitu bahagia. Kalau saja hari ini bukan hari pernikahan gue, pengen banget gue tonjok muka lo sampe bengep."
"Tapi dia gak pernah bilang," sanggah Putra.
"Harusnya lo yang peka!" Anton kemudian pergi dia khawatir khilaf dan kelepasan melayangkan kepalan tangannya di wajah Anton. Meninggalkan Putra, Reka juga Denisa.
"Kak Putra, belum terlambat kejar Rinjani. Jangan sampai menyesal di kemudian hari," tutur lembut Denisa. Gadis mungil ini bukan pacar Putra, dia gadis yang selalu menolak di ajak pacaran sama siapa pun, dia selalu menjaga pandangan hingga membuat Putra kagum. Pernah dia mendengar bahwa Denisa mencari suami, bukan pacar, untuk itu dengan segenap keyakinan Putra memberanikan diri melamar Denisa.
"Sana, cari Rinjani!" tukas Reka yang sedari tadi hanya diam tanpa kata, membuat Putra tersadar.
Putra berlari, dia menyisir seluruh gedung mencari Rinjani. Sayangnya, gadis itu sudah tidak terlihat di penjuru tempat. Kemudian dia menyusul Rinjani ke rumahnya. Dia tidak menemukannya, rumah itu nampak kosong sama seperti dia lihat waktu menjemput Rinjani. Bahkan ketika berpapasan dengan tetangga depan rumahnya Putra mendapati kenyataan bahwa gadis itu belum sampai di rumah.
Hingga waktu terus bergulir Rinjani pergi tanpa meninggalkan jejak. Dia hilang, Purnama yang semula redup kini benar-benar tidak terlihat.