Sebelum baca jangan lupa follow dan juga love ya.
"Pakai ini sekarang!"
Alya melotot ketika melihat gaun yang dilemparkan ke wajahnya ketika dia sedang membaca komik yang dia temukan di ruang berkumpul di lantai dua dekat dengan kamarnya yang di sana ada khusus tempat membaca dan juga bersantai.
"Loh, kita mau ke mana?"
"Botakin kamu,"
"Bisa serius nggak sih, Pak?"
Pria itu mondar-mandir kemudian menggaruk kepalanya. "Please, saya masih muda jangan pernah kamu panggil bapak. Memangnya saya seumuran sama Ayah kamu?"
Perempuan itu menaruk telunjuknya di dagunya kemudian berdehem beberapa kali. "Ngomongin soal Ayah, kenapa saya nggak boleh hubungi keluarga saya?"
"Daripada kamu banyak tanya, mending kamu siap-siap sekarang! Karena saya nggak mau debat sama kamu,"
Alya langsung berdiri di atas sofa kemudian mencocokkan gaun itu dengan tubuhnya. "Kayaknya nggak cocok deh, terlalu terbuka,"
"Turun Alya! Sofa itu bisa rusak kalau kamu berdiri di sana,"
"Nggak khawatirkan keselamatan saya gitu?"
"Buat apa? Kamu yang cari penyakit, untuk apa saya peduli kalau kamu jatuh?"
Alya mengerucutkan bibirnya kemudian turun dari sofa dan meninggalkan Devan di sana. pria itu sudah cukup sabar dengan kelakuan Alya. Tetapi bagaimana lagi dia bisa menghadapi gadis itu jika gadis kampung it uterus saja mengganggu kesabarannya seperti tadi.
Sambil bersantai dan menutup wajahnya dengan bantalan sofa karena menunggu Alya yang begitu lama berdandan.
"Pak," panggil Alya yang membuat Devan menyingkirkan bantalan sofa tersebut dan memandangi Alya yang sudah berdiri di sana dengan gaun yang diberikan tadi.
Pria itu langsung mengganti posisi yang tadinya berbaring kini duduk kemudian melihat dari atas hingga bawah, ada yang janggal dari penampilan Alya. "Kamu yakin pakai sandal?"
"Memangnya kita mau ke mana, sih?"
"Salon,"
"Ngapain?"
"Bersihin diri kamu, lah. Saya nggak suka kamu kotor. Apalagi saya udah pernah bilang kalau bulu-bulu kamu harus dibersihin, jangan-jangan bulu ketiak kamu juga banyak ya?"
"Ih si Bapak m***m banget,"
"Saya nebak," Devan langsung berdiri kemudian langsung melemparkan kotak sepatu yang ada di atas meja. "Ganti sandal kamu pakai itu!"
Alya dengan polosnya hanya menurut. Gadis itu merasa benar-benar tidak cocok dengan pakaiannya kali ini. Untuk pertama kali dalam hidupnya ia menggunakan gaun panjang seperti sekarang ini. "Kita kayak mau pergi ke kondangan ya?"
"Jangan bawel!"
Devan akan pergi ke salah satu acara nanti malam. Yang di mana dia harus membawa perempuan meski itu menjadi pacar bohongan agar tidak dibully oleh teman-temannya. Terlebih di sana ada mantan kekasihnya saat SMA dulu. Devan tidak ingin jadi bahan ledekan, maka dari itu mau tidak mau dia harus membawa Alya. Semua orang telah mengenali Laura, jadi tidak mungkin bagi Devan membawa Laura pergi ke acara itu.
Meskipun acaranya jam sepuluh malam lebih. Tetapi perawatan di salon tentu memakan waktu yang sangat lama hingga membuatnya harus bersiap-siap dari sekarang. Apalagi dia harus mengajarkan Alya bagaimana harus bersikap seperti perempuan dari kalangan orang kaya pada umumnya.
"Kita berangkat sekarang!" ajak Devan sambil menarik lengan gadis itu. "Pokoknya kamu harus latihan biar nggak jadi anak kampungan. Dan, lusa kamu sudah mulai sekolah,"
"Eh, yang benar saja, Pak?"
"Kamu nggak mau sekolah? Ya udah nggak usah sekolah,"
"Mau, Pak. Siapa sih yang nggak mau, saya tuh pengin sekolah sampai lulus. Setelah itu saya kuliah,"
"Yang penting kamu harus janji sama saya kalau kamu harus jadi juara lagi nanti, apa pun yang kamu mau saya bakalan turutin. Termasuk kamu bakalan kuliah ke luar negeri, saya bakalan turutin,"
Alya menutup mulutnya begitu polos mendengarkan penuturan dari Devan mengenai dia harus sekolah dengan rajin demi mendapatkan nilai yang bagus. Maka dari itu, Alya akan belajar dengan sangat giat kemudian bisa membanggakan kedua orang tuanya juga. Agar dia bisa lanjut sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.
"Yang bener, kan kalau saya bakalan kuliah, Pak?"
"Asal kamu nggak ngelawan apa pun perintah saya,"
"Siap," Alya begitu berharap bahwa dia bisa bersekolah dan bisa menyelesaikan pendidikannya hingga ke jenjang yang begitu baik dan bekerja di perusahaan ternama lalu bisa membahagiakan kedua orang tuanya.
Mereka telah tiba di mobil kemudian Alya mengangkat alisnya karena baru pertama kali ini melihat Devan yang akan menyetir. "Kamu kenapa?"
"Kita cuman berdua?"
"Iyalah,"
"Aiiiish. Bukannya waktu itu kita pakai sopir, Pak?"
"Banyak tanya,"
Alya tidak menjawab apa pun yang dikatakan oleh Devan kemudian dia langsung masuk begitu saja. Selama di perjalanan pun mereka berdua hanya terdiam hingga mereka tiba di salah satu salon kecantikan.
"Lulurin, bersihin bulu-bulu yang ada di tangan sama kaki dia. Potong rambutnya, di warnain pirang dikit gimana gitulah pokoknya dibagian ujung. Intinya jangan sampai dibiarin sepanjang gitu, kayak nenek lampir," celetuk Devan pada salah satu karyawan salon kemudian perempuan itu membawa Alya pergi. "Eiiits, tunggu sebentar! Jangan lupa dikeritingin dikit gitu ujungnya, apalah namanya saya nggak tahu," ucap Devan.
Karyawan itu bukannya menjawab, akan tetapi langsung melanjutkan langkahnya yang tadi tertunda karena Devan.
"Mbak kenal orangnya?"
"Dia pemilik salon ini yang asli, Mbak. Kalau Mbak Laura cuman ngejalanin bisnisnya gitu, pemilik aslinya sih dia,"
"Kenapa Mbak nggak sopan banget?"
"Karena saya lihat Mbak kayak dipandang jijik gitu sama dia. Lihat aja nanti kalau udah selesai, dia bakalan terpesona sama kecantikan, Mbak."
Karyawan salon itu pun mulai untuk mengajak Alya ke tempat luluran. "Mbak di sini udah lama?"
"Dari pertama kali salon ini dibuat, saya udah di sini,"
"Kalau disebelah itu apa, Mbak? Kayaknya ada alat-alat apa gitu, saya nggak ngerti,"
"Di sana khusus untuk perawatan wajah, misalnya mau laser komedo gitu,"
"Aiiiih sakit?"
"Kalau yang sering ngelakuin sih katanya nggak terlalu, ngomong-ngomong, Mbak ini pacarnya Pak Devan?"
"Idih najis pacaran sama dia. Nggak minat sama sekali,"
"Pak Devan itu baik banget loh. Cuman kalau udah kesal ya kadang langsung dilampiasin gitu,"
"Tapi masa sih marahnya tiap hari ke saya?"
"Suka kali,"
"Boro-boro suka. Gara-gara saya penuh bulu gini sampai diledekin dikatain monyet sama dia,"
"Nanti bisa bersih kok. Nggak bakalan tersisa lagi, mungkin Mbak juga bakalan rutin ke sini nanti,"
"Siapa bilang?"
"Tadi sebelum bawa Mbak ke sini si Bapak udah meeting khusus gitu buat Mbak. Pokoknya di suruh percantik, Mbak,"
"Tapi tadi bukannya dia merintah ya?"
"Itu karena dia sengaja, biar orang nggak tahu dia pemilik salon ini. Kalau ada yang tahu, yang ada pengunjungnya berusaha ngedeketin, Pak Devan itu anti banget sama perempuan yang cari perhatian sama dia,"
"Masa sih, Mbak?"
"Iya serius, karena Pak Devan gila kerja. Nggak peduli sama sekali perempuan cantik atau bagaimanapun dia nggak tertarik,"
"Pak Devan itu homo?"
"Ssssst, bukaaaan. Awas di dengar kita berdua di marahin loh," peringat karyawan itu.
Sementara Devan masih sibuk kembali lagi dengan pekerjaannya dan akan kembali malam nanti menjemput Alya. Dia tahu perawatan yang akan dilakukan oleh Alya itu tidak sebentar. Maka dari itu dia harus meninggalkan gadis kampung itu di sana sendirian.
Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Yang artinya acaranya sebentar lagi di mulai, Devan sudah bersiap dengan penampilannya untuk bertemu dengan teman-temannya. Dia juga sudah berpesan agar karyawannya melatih Alya cara berjalan dengan baik, nada bicaranya juga sedikit ditinggikan, tidak harus sepolos tadi. Kemudian dia juga berpesan bagaimana cara makan yang baik. Semua itu sudah disiapkan oleh Devan.
Tiba di sana, Devan langsung masuk dan mencari keberadaan Alya. "Dia di mana?"
Alya keluar sambil menunduk dengan penampilan yang berbeda dari sebelumnya. Gadis itu mengenakan mini dress berwarna biru tosca muda dengan sisi bagian belakangnya yang panjang, rambutnya beach wave yang membuat penampilannya semakin menawan. Perhiasan di gelang kiri serta dengan dompet yang membuat penampilan Alya menjadi lebih elegan.
Seolah Devan masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Perempuan kampung yang biasa dipanggilanya monyet itu kali ini berpenampilan seperti bukan Alya yang tadi. Andai bisa, Devan ingin menarik kata-katanya lagi mengenai Alya yang sempat dia hina.
Baru saja mendekati Alya, aroma parfum gadis itu sudah tercium dari jarak beberapa langkah darinya. "Ayo berangkat!" ajak Devan. Padahal dia sangat gugup mengajak gadis itu, 'Sial, kenapa dia bisa secantik seperti sekarang ini? Dia yang tadinya cuman gadis ingusan hanya dipermak dikit langsung gini, dia juga kayaknya bukan gadis kampung lagi' Devan membatin.
Dengan menggunakan mobil mewahnya yang baru pertama kali dia gunakan untuk acara-acara seperti itu. Sebenarnya dia tidak suka menghadiri acara tersebut, tetapi karena tidak ingin dianggap remeh oleh teman-temannya dulu maka mau tidak mau ia harus ia harus mendatangi acara tersebut. Kali ini dia yakin bahwa dia tidak akan kecewa dengan penampilan Alya yang bahkan mungkin orang tidak akan percaya bahwa usia gadis itu masih belasan tahun.