ENAM

995 Kata
Sebelum baca jangan lupa follow dan juga love ya.  Sore menjelang magrib, dengan suasana hati yang begitu teduh. Seorang Devan yang biasanya pulang terlambat ke rumah. Akan tetapi kali ini memilih untuk pulang lebih awal karena tidak ingin orang-orang rumah terus-terusan mencarinya. Setiap kali dia pulang terlambat atau bau alkohol. Tentu saja orang pertama yang akan memarahinya adalah Bibi Zu. Begitu dekatnya dia dengan perempuan paruh baya itu. Menjadi ibu pengganti bukanlah hal yang gampang. Apalagi seorang Bibi Zu yang sudah merawatnya sejak masih kecil hingga seperti sekarang ini. Jika dia bertemu lagi dengan ibu kandungnya, Devan akan tetap memilih Bibi Zu. Karena ketika itu ibu kandungnya sendiri meninggalkan dia seorang diri ketika ayah Devan meninggal. Bukan suatu hal yang baik baginya. Dia memang benci kepada ibunya. Baginya, benci itu mungkin tidak akan terobati sampai kapanpun. Ketika waktu itu orang yang begitu dia cintai memilih untuk pergi bersama orang lain tanpa memikirkan perasaan Devan waktu itu. Tiba di rumah, dia langsung masuk ke dalam rumah tanpa menemukan siapa pun di sana. dia tidak melihat ada satupun orang rumah berada di sana yang biasanya selalu menyambutnya jika sore seperti ini. Tetapi, barangkali orang-orang rumah memiliki acara lain di luar sana dan meninggalkan Devan sendirian Perlahan, dia melewati anak tangga dan berniat langsung ke kamarnya untuk membersihkan diri karena seharian ini dia bekerja dan ia merasa keringatnya sudah mulai lengket. Dia sangat apik perihal kebersihan. Dia tidak suka apa pun yang berantakan di rumahnya. Terlebih di kamarnya. Bahkan dia benci jika ada debu di meja kerjanya jika sampai dia temukan, tentu saja dia akan marah besar kepada orang yang membersihkan kamarnya itu. Tepat di depan kamar Alya, dia berhenti. Berniat untuk menengok gadis kampung itu yang sudah membaik atau masih terbaring di sana karena demamnya yang tadi pagi cukup membuat Devan terkejut dengan gadis itu. Dia membuka pintu kamar tersebut. Menemukan gadis itu tengah terlelap dengan keadaan menutupi dirinya hingga bagian leher dan tidur menghadap ke arah jendela yang dibuka penuh membiarkan angina masuk ke dalam kamar itu. Tetapi, Devan tidak suka jika debu ikut masuk bersama dengan angina jika jendela kamar itu dibuka. Ia menutup jendela itu kemudian menyalakan AC dengan suhu sedang agar mentralisir hawa panas yang barangkali masuk sedari tadi. Alya perlahan membuka matanya dan terkejut melihat Devan berdiri disampingnya sambil melipat lengan kemejanya. "Bapak ngapain di sini?" "Gimana keadaan kamu?" Alya bangun dari tempat tidurnya kemudian bersandar. "Sudah baikan, Pak," "Senin depan kamu mulai sekolah. Jangan malas-malasan, saya tahu kamu gadis kampung tapi kamu memiliki potensi besar untuk menggapai apa yang kamu mau. Setelah hutang kamu selesai, kamu tetap menyelesaikan pendidikan kamu. Saya nggak suka sama orang yang malas, saya tahu kamu sering juara di sekolah kamu. Kamu bakalan tetap sekolah, kamu bakalan bekerja ketika kamu pulang sekolah," Alya mengangkat kepalanya melihat pria itu dengan tatapan sayunya. "Baik, Pak," "Kamu sekolah di tempat elit sesuai dengan janji saya. Kamu bakalan sekolah di sekolahan mahal dan terkenal. jangan pernah kamu kecewakan saya!" "Saya cuman 6 bulan di sini, kan Pak?" "Iya, kamu hanya sampai 6 bulan. Tapi kalau kamu mau lanjut sampai kamu lulus SMA ya silakan saja. Saya nggak larang," Alya menatap pria itu, walaupun terkadang pria itu sangat menyebalkan. Tapi jika bicara serius seperti sekarang ini, Alya merasa sangat beruntung. Walaupun nanti dia akan menjadi b***k di rumah itu. Akan tetapi dia tahu bahwa Devan itu baik, seperti yang diceritakan oleh Laura dan juga Bibi Zu mengenai kebaikan-kebaikan yang dilakukan oleh Devan. "Saya keluar dulu. Kamu minum obat! Karena besok kamu bakalan mulai bekerja di sini, jangan malas-malasan! Kamu bukan nyonya di rumah ini, mengerti Alya!" ucap Devan sambil menekankan di saat menyebut nama gadis itu. Gadis itu mengangguk kemudian tersenyum kepada Devan. "Kenapa kamu senyum-senyum? Naksir?" Alya melotot terkejut dengan ucapan ketus Devan barusan. Dia benar-benar tidak menyangka jika majikannya itu akan berkata demikian. Padahal dia hanya ingin membalas ucapan Devan tadi dan memberikan senyuman agar sedikit saja bisa berdamai dan tidak bertengkar lagi jika sedang bertemu seperti sekarang ini. "Kamu kalau sudah baikan. Lebih baik kamu mandi sekarang! Bau kamu udah ngalahin bau ikan lele yang saya pelihara dibawah, Alya!" Alya meluruhkan tubuhnya kemudian menutup kepalanya dengan selimut dan juga bantal. Lebih baik dia merasakan demam dibandingkan terus bertengkar dengan Devan yang tidak ada habisnya. "Mulut pria itu benar-benar sudah seperti mulut pedasnya tetangga yang udah level 30, udah pedas, asin, asam lagi. Ini diibaratkan udah luka, eh ditambah lagi dengan kena sama cuka, perihnya sampai empedu," gerutu Alya sambil terus menutup rapat kepalanya. Sedangkan Devan yang hendak pergi dari kamar itu mendengar ocehan Alya dan berbalik kemudian menarik bantal yang digunakan oleh Alya menutup telinganya. "Apaan?" "Kamu bilang apa tadi? Coba ngoceh lagi sekarang!" Devan menahan tangan Alya dan langsung merebut bantal itu hingga membuat Alya bangun lagi dari tempat tidurnya. "Bapak sekali saja nggak usah bikin saya kesal, bisa nggak sih?" "Ini rumah saya. Kamu hanya numpang di sini, sekarang apalagi yang kamu mau dari saya?" "Bapak selalu saja nyari kesalahan dan terus nyalahin saya. Apa Bapak nggak pernah mau ngalah? Saya cuman ngomong sesuai fakta," "Sesuai fakta tapi itu membuat saya terganggu," "Terganggu apanya?" "Kamu bilang mulut saya pedas macam tetangga kamu yang di kampung? Selalu saja ngocehin kamu karena kamu kayak monyet, itu? Iya kan?" Alya kesal matanya melotot dan tiba-tiba saja air matanya jatuh tanpa dia sadari. "Cengeng," bentak Devan. Mendengar ucapan Devan benar-benar membuat Alya tidak habis pikir dengan mulut pria ini yang benar-benar sudah keterlaluan. Padahal bukan hal besar, akan tetapi justru dipermasalahkan lagi oleh Devan. "Anda manusia yang nggak punya perasaan. Sama sekali nggak bisa mikirin gimana hati orang yang selalu saja anda hina," "Siapa yang menghina kamu?" "Orang tua saya bahkan nggak pernah mengatakan saya itu monyet seperti yang anda ucapkan," "Karena itu kenyataannya," Alya memejamkan matanya kemudian berbalik hendak pergi. "Mau ke mana?" "Siapa yang tahan di sini jika terus dikatakan seperti binatang. Ini rumah manusia kan? Bukan kebun binatang yang seharusnya anda lebih pandai berbicara dibandingkan dengan saya," "Baperan," ucap Devan dengan nada yang sedikit dingin. Dan itu membuat Alya kesal. Barangkali dia mau marah, tetapi dia tidak tahu bagaimana lagi menghadapi pria itu selain menghindar. "Jika kamu keluar dari rumah ini, jangan pernah berharap keluarga kamu baik-baik saja." 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN