Mendadak Jadian

1125 Kata
Mulai hari ini, Lara akan menjalankan misinya. Semalaman dia mengingat baik-baik bagaimana Bunda di masa depan. Lara menyelam semakin dalam untuk mengingat apa Bunda pernah bercerita masa-masa SMA-nya dulu. Meski Bunda terlihat bahagia dengan ayah tapi sepertinya Bunda punya kegetiran sendiri dengan masa SMA-nya. “Erika, kamu nggak boleh bersikap minderan seperti ini terus. Kamu harus lebih percaya diri dan jangan mau kalau disuruh-suruh sama siapa itu yang suka ngerjain kamu?” “Aku nggak kayak kamu, Lara. Nggak punya keberanian sebesar kamu. Kalau aku nggak nurut sama perkataan mereka, aku bakal lebih dikerjain sama mereka. Dan aku nggak berani melawan. Memang siapa aku?” ujar Erika sinis. Lara mendesah. Benar juga. Lalu diamatinya kondisi ibunya. Di masa depan, Bunda terlihat manis dan modis. Berbeda dengan Bunda yang sekarang. Wajah Erika jerawatan dan berminyak sekali. Membuat orang malas berdekatan dengan Erika karena jijikk melihat jerawatnya yang sebagian pecah dan mengeluarkan darah. Belum lagi rambut Erika yang lepek dan ketombean. Dan meskipun Erika bersih dan harum, tapi penampilan Erika cupu sekali. Roknya panjang melewati lutut dan kaos kakinya panjang sebetis. Ditambah lagi kemejanya yang kedodoran. Apa dia mengenakan baju miliknya sendiri atau bekas orang lain? Seingat Lara, kakek dan neneknya bukan orang miskin. Sewaktu kecil, kakek dan nenek selalu memberikan uang lebaran yang jumlahnya besar untuk Lara. Ah, Lara jadi rindu mereka. Di masanya, mereka berdua sudah meninggal. Mungkin kapan-kapan Lara harus main ke rumah Erika untuk ketemu kakek dan nenek. “Kapan-kapan kamu harus menginap di rumahku, Erika. Aku akan ngajarin kamu cara merawat wajah. Kamu harus melakukan sesuatu sama bintang-bintang yang bertaburan di wajahmu.” Erika mengusap wajahnya sendiri. Satu jerawatnya pecah begitu dia menyentuhnya. Lara berjengit geli. “Aku … sudah mengobatinya. Tapi tidak reda juga.” “Mungkin caranya salah. Mmm, malam minggu ini bisa kamu minta izin pada orang tuamu untuk menginap di rumahku?” tanya Lara. Erika bilang dia akan mencoba bertanya pada kedua orangtuanya dan akan memberi tahu hasilnya besok. =*= Radian menunggu Lara di gerbang sekolah. Kabar kedekatan Lara dengan Ceko membuatnya risih. Dia dan Ceko satu kelas dan dia tahu bagaimana sikap cowok itu di kelas. Ceko anak paling cuek dan ketus di kelas. Dia seperti punya dunia sendiri dan malas bergaul dengan temannya. Ceko duduk di bangku paling belakang. Walau dia sering tertidur di kelas, nilainya paling bagus setiap kali ulangan dan kalau ditanya guru, dia bisa menjawab dengna benar. Jadi meski Ceko mendengkur di kelas, guru-guru membiarkannya. Mereka menganggap Ceko cuma bosan karena materi yang disampaikan sudah hapal di luar kepala. “Lara! Tunggu!” Radian mendekati Lara yang berjalan cepat keluar gerbang. Hari ini dia tidak mau ditinggal mobil jemputan karena terlambat keluar sekolah. Kemarin-kemarin Ceko berbaik hati mengantarnya pulang dan mereka banyak berbagi cerita sepanjang jalan. Tapi hari ini lelaki itu tidak masuk sekolah sehingga Lara harus pulang naik mobil jemputan. “Ada apa, Kak? Aku buru-buru karena takut ditinggal mobil jemputan.” “Nanti aku antar. Aku bawa sepeda,” kata Radian menawarkan. Meski dia bukan cewek matre, tapi rasanya dia tidak mau terlihat boncengan dengan sepeda di muka umum. Apa lagi dengan Radian. Jarak sekolah ke rumahnya cukup jauh. Lelaki ini pasti bakalan ngos-ngosan mengantarnya pulang. Lara tidak setega itu. “Terima kasih, Kak. Aku tidak mau merepotkan. Kakak bilang saja cepat ada apa.” Lara mulai gelisah. Dari sudut matanya dia bisa menangkap bayangan Celin. Bakal salah paham lagi sahabatnya sama dia. “Aku mau nanya soal hubungan kamu sama Ceko. Apa benar seperti yang digosipkan? Kamu harus tahu Ceko itu bukan lelaki baik-baik. Dia—” “Kenapa sma gue?” tanya Ceko yang tiba-tiba sudah berdiri di samping Lara dan melingkarkan tangannya di pinggang ramping Lara. Tubuh Lara merespon cepat sentuhan Ceko dan tangan Lara berusaha menepisnya. “Kenapa, Sayang? Lu nggak mau kita sampai jadi omongan satu sekolah? Tapi akibatnya, masih saja ada lelaki yang memaksakan perasaannya sama elu. Gue nggak bisa kalau harus diam-diam terus-terusan. Gue nggak tenang!” kata Ceko posesif sambil memandang Radian dengan garang. Gayanya seperti mengajak Radian perang. “Apa hubungan kamu sama Lara?” tanya Radian kesal melihat sikap Ceko yang demikian melindungi Lara. “Menurut lu apa? Kalau gue bisa menyentuh Lara kayak gini nggak mungkin hubungan gue sama dia itu majikan sama babu.” Jawaban khas Ceko. Sinis dan pedas. Lara berusaha melepaskan diri dari tangan Ceko yang melingkari pinggangnya tapi cowok ini kelihatan tidak mau melepaskannya. Merasa sia-sia, akhirnya Lara memutuskan menerima. Anak-anak yang melewati mereka mulai kasak kusuk. Lara menundukkan kepala merasa jengah. Radian dan Ceko kelihatannya tidak ada yang akan mengalah. “Maaf, Kak, kalau tidak ada yang mau disampaikan lagi, aku mau pulang,” pamit Lara. “Apa kamu benar-benar pacaran sama dia?” tanya Radian memandang tajam pada Lara. “Kalau benar, aku nggak akan mengharap kamu lagi. Tapi jangan pura-pura pacaran cuma buat menghindari aku Lara. Aku tahu kalau kamu sebenarnya—” “Kalau lu ngerasa cowok, ditolak gitu langsung mundur, bukannya malah maksa.” “Aku nggak ngomong sama kamu!” kata Radian ketus. “Lara, jawab pertanyaanku!” desak Radian. Lara berada dalam situasi sulit. Mengakui hubungannya dengan Ceko akan menyelamatkannya dari berbagai macam hal, termasuk Radian. Mungkin hubungannya dengan Celin juga akan membaik. Dia melihat kalau Celin sedang memperhatikan ke arah mereka dan sepertinya menunggu Lara akan mengatakan apa. Tapi kalau mengakui hubungannya dengan lelaki yang memeganginya erat ini, berarti dia harus selalu terlihat bersama dengannya. Kadang Lara merasa nyaman tapi ini Lara, bukan dirinya yang lain. “Mereka menunggu jawaban lu, Ra. Kenapa ragu buat bilang iya?” sindir Ceko. “Jangan mendesak Lara,” ancam Radian. Ceko mengangkat kedua tangannya tanda tidak mau ikut campur pada keputusan Lara. “Apa lu merasa lebih baik kalau gue tinggalin? Motor gue di depan, gue tunggu lu di sana.” “Jangan! Di sini saja. Aku sudah mau memberikan jawabannya, kok,” kata Lara sambil meraih tangan Ceko ke dalam genggamannya. Lelai itu menatap Radian penuh kemenangan. “Kak Radian, aku minta maaf. Tapi sejak awal aku pernah bilang kalau antara kita tidak pernah terjadi apa-apa. Bukan karena aku sahabat sama Celin tapi karena aku nggak punya perasaan apa-apa sama Kakak. Jadi—” “Terus kamu jadian sama dia?” tunjuknya pada Ceko. “Apa bagusnya dia, sih? Karena dia bawa motor dan aku naik sepeda?” “Aku nggak seperti itu, Kak. Jangan menebar fitnah. Kalau aku memilih Ceko, itu karena dia bikin aku ngerasa nyaman di dekat dia. Ceko nggak pernah mendesak aku seperti Kakak. Dan dia selalu menghormati keputusan aku. Jadi maaf, Kak. Jangan pernah mengharapkan aku lagi.” Lara menundukkan kepala sebentar di hadapan Radian lalu mengajak Ceko pulang. Lara tahu, Celin mendengar semua perkataannya. Dan dia harap sahabatnya itu bisa memperbaiki anggapannya terhadap dia.©
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN