Setelah Erika menginap di rumah Lara, perubahan-perubahan gadis yang di masa depan menjadi bundanya Lara itu mulai terlihat. Wajah kusamnya perlahan menjadi lebih kinclong. Jerawatnya mengering dan lama-lama tinggal bekas hitamnya saja. Dalam kurun waktu sebulan, Erika sudah mulai terlihat berbeda.
Bukan dari wajah saja, secara penampilan pun Erika berubah. Setelah Lara memotong roknya, Lara membawa baju-baju Erika ke tukang jahit. Dia minta supaya baju Erika di kecilkan sesuai ukuran tubuh Erika.
“Kamu yang bikin dia jadi gitu?” tanya Ayna menunjuk pada Erika yang sekarang sudah mulai banyak temannya. Anak cewek di kelasnya mulai mau berbicara dengan Erika dan anak cowok tidak jijikk lagi melihat dia.
“Aku cuman ngajarin dia gimana caranya menjadi anak cewek. Bukan anak kuper yang akhirnya jadi bahan bullyan temen sekelas.”
“Apa itu bully?” tanya Ayna heran dengan istilah yang digunakan Lara.
“Bully? Aku ngomong gitu?”
“Aneh kamu, ihh! Jelas-jelas kamu ngomong bully. Apa artinya? Akhir-akhir ini kamu sering dapet istilah baru yang enak buat diomongin. Kalau kita populerkan istilah itu bisa makin terkenal kita. Kayak kemarin kamu bilang gugling? Apa artinya?”
Lara merapatkan kedua bibirnya. Dia sering kelepasan, istilah masa depan suka nggak sengaja dia bawa ke masa lalu. Padahal seharusnya nggak boleh karena bisa mengubah apa yang akan terjadi di masa depan. Mungkin belum terlihat sekarang tapi bakal kelihatan kalau nanti Lara pulang ke masa depan.
“Ra!” seseorang memanggilnya. Dalam hati Lara bersyukur karena terselamatkan dari keharusan menjawab pertanyaan Ayna.
Ayna menyikut pinggang Lara cukup keras hingga gadis itu mengaduh. Dilihatnya arah yang ditunjukkan Ayna. Ceko sedang berjalan ke arah mereka berdua.
“Makin ganteng aja doi. Kamu kasih dia perawatan apa?” goda Ayna. Lara ganti menyikut sahabatnya itu dan tersenyum lebar ke arah Ceko.
Akhir-akhir ini Ceko memang sering menemuinya kalau jam istirahat. Mereka sering terlihat berada di perpustakaan atau bukit belakang sekolah. Tempat yang aman untuk membicarakan masalah mereka tanpa takut didengar orang dan disangka orang gila.
“Hai, ada perlu sama aku?” tanya Lara basa basi. Mendengar itu Ayna mencibir.
“Masa sama pacar ngomongnya kayak sama kasir supermarket. ‘Ada lagi yang diperlukan, Mas?’ Haduhhh kalian kaku sekali!” kata Ayna protes. Lara mendelik. Takut kalau Ceko mendengarnya, bakal kena semprot si Ayna.
“Kita pergi saja, yuk!” Buru-buru Lara mengajak Ceko menjauh. Dia mengaitkan tangannya ke siku Ceko dan setengah menyeret mengajak cowok itu pergi dari hadapan Ayna.
“Kamu agresif sekali.” Ceko terkekeh melihat cara Lara menggandeng dia. “Aku jadi kayak cowok yang mau diajak ke pelaminan sama pengantin perempuan.”
Lara berhenti dan melepaskan pegangannya. Wajahnya terasa panas dan setelah mengatur napas sejenak dia membalikkan badan.
“Kalau kamu merasa begitu, aku mundur. Aku nggak siap buat melangkah sejauh itu karena kita masih sekolah. Ingat?” ucap Lara sarkas.
Ceko makin terkekeh dan melingkarkan tangannya di bahu Lara. Gadis itu menghindar tapi tangan Ceko ketat menahannya. “Kita pacaran, ingat? Jadi tetap bersikap begini atau kamu bakal dapet masalah.” Suara Ceko di telinga Lara sangat menggelitik.
“Masalah? Masalah apa?”
“Ada Radian. Dan juga Pak Bara.”
“Hah?!”
“Sudah, diam saja begini sampai kita ke bukit belakang.” Lara menurut. Dia membiarkan tangan Ceko merangkul pundaknya dan mereka berjalan menuju bukit belakang.
Setiap mereka melangkah, pandangan ingin tahu mengikuti. Sebagian karena iri sebagian lagi karena ingin tahu apa yang akan mereka lakukan. Gimana nggak iri, gadis tercatik satu sekolah pacaran sama cowok terkeren satu sekolah. Mereka berdua terlihat serasi sekali.
Dan entah sejak kapan, Ceko sudah tidak ber lu-gue lagi dengan Lara. Baguslah, Karena Lara merasa kurang pas mengingat mereka jauh dari ibu kota dan sekolah di sini juga nggak gaul-gaul amat.
“Udah, ihh, lepas! Kita udah jauh dari sekolah, dan nggak bisa lama juga. Ada apa lagi sekarang?” tanya Lara langsung. Kalau mereka bertemu pasti ada yang harus dibahas. Bukan seperti orang pacaran betulan yang mencari waktu buat sayang-sayangan.
“Aku cari-cari literatur tapi belum dapet. Perpustakaan di sini kurang lengkap. Astaga, aku kangen banget sama google. Nggak nyangka kalau di masa depan kita tergantung banget sama pengetahuan instan kayak gitu. Bayanginlah di zaman ini. Primitif banget, cari sumber aja kudu baca buku yang nggak cukup cuma satu. Mana tebel-tebel banget bukunya.”
“Memangnya kamu cari apa? Kali aja aku bisa bantu.” Lara memang sudah membaca banyak buku selama sebulan ini. Dia pikir waktu kepulangannya semakin dekat dengan semakin membaiknya kondisi Erika. Lara perlu tahu tanda-tandany. Karena setiap kali dia tidur, dia selalu berdoa terbangun di pagi hari di tahun yang berbeda.
Nyatanya, Lara selalu terbangun di tempat yang sama. Belum ada yang berubah.
“Apa kamu yakin kalau kita harus mengubah hidup mama kamu jadi lebih baik?”
“Kita sudah sepakat, kan?”
“Tapi kenapa tanda-tandanya nggak ada?”
“Misalnya? Aku datang ke sini nggak pake tanda-tanda. Tahu-tahu bangun tidur udah di sini. Jadi aku berharap begitu bangun, aku juga udah ada di sana. Terus tanda-tanda yang kamu maksud itu apa?” Lara terdiam. Ada pertanyaan besar yang ingin dia cari tahu dari Ceko sejak dulu.
“By the way … kamu kan bisa pulang pergi ke mana saja sesuka hati. Apa … kamu bisa pergi ke tahun 2018? Kamu bisa lihat aku nggak di sana?” tanya Lara penuh harap. Dia nggak siap dengan jawaban Ceko.
“Aku nggak pernah pergi ke sana.”
“Ke-kenapa?”
“Takut.”
“Takut? Takut apaan?”
“Takut kamu nggak ada di sana karena apa yang sedang kamu lakukan di sini akan mempengaruhi apa yang terjadi di masa depan. Masa depan itu terus berubah, Ra. Setiap langkah kamu di sini, akan menimbulkan hal-hal baru di masa depan. Setidaknya, ada kenangan yang ditambahkan atau diubah. Seperti kamu membuat perbedaan sama Erika. Kamu membentuk kenangan baru yang tadinya nggak ada.”
“Aku menanamkan kenangan baru di kepala Bunda. Maksud kamu, aku akan seperti apa dalam kenangan Bunda. Begitu?”
“Kira-kira begitu.”
“Jadi harus kita hentikan usaha ini? Dan mencari jalan pulang yang lain? Ceko! Kenapa kamu nggak bisa ajak aku pulang?”
“Terus badan kamu gimana? Badan Lara gimana? Aku nggak tahu kenapa kamu bisa masuk ke badan Lara dan ke mana badan kamu?”
Lara mengerang frustasi. “Aku bingung.”
“Sama. Dan bukannya mudah buat jalan-jalan antar waktu dan ruang. Butuh energi yang besar dan juga kesiapan yang besar. Ketika kita memasuki ruang dimensi, rasanya waktu berhenti di sana. Kita nggak ingat waktu, hari, napas juga kayaknya berhenti. Setiap kita melangkah di ruangan itu, ada pergesekan antar ruang yang membuat masa yang kita lalui berubah perlahan-lahan. Semakin dekat kita ke tempat tujuan, semakin besar pergesekan itu.”
Ceko berhenti. Dia belum pernah serinci ini menceritakan pengalamannya ketika menjelajahi waktu.
“Aku benci perasaan ketika baru tiba pertama kali di suatu masa yang aku tuju. Rasanya seperti, tubuh kita habis disedot vacuum raksasa dan dimuntahkan begitu saja. Mual, terdistorsi, dan kayak kehilangan gravitasi. Nggak semudah yang kamu bayangkan atau pernah kamu lihat di film-film. Perjalanan waktu itu mempengaruhi fisik kita.”
“Karena itu kamu selalu tinggal lebih lama di tempat tujuan?” Ceko mengangguk. “Dan bagaimana kamu bertahan? Dengan segala perbedaan budaya apa lagi terknologi.”
“Pernah aku kasih tau kan? Aku selalu mempersiapkan sebaik-baiknya sebelum melakukan perjalanan waktu. Kayak kamu kalau mau traveling. Aku juga gitu. Nyiapin duit di tempat baru. Dan semakin jauh aku melakukan perjalanan semakin mahal biaya yang harus aku siapkan. Bukannya gampang mencari uang kuno dan kalaupun ada harganya nggak murah.”
Lara ingin bertanya lebih banyak lagi. Mendengar cerita Ceko membuat dia makin kagum pada lelaki itu. Sayangnya bel terdengar dan mereka harus bergegas sebelum guru memasuki ruangan kelas.
“Eh, tadi kamu bilang soal Pak Bara. Memangnya kenapa dengan dia?” tanya Lara sambil berusaha mensejajari langkah Ceko yang besar-besar.
“Dia suka sama kamu? Maksudku … Lara.”
“What?!! Pak Bara suka sama aku? Dari mana kamu tahu?”
“Dari cara dia memandang kamu. Kayak mau makan kamu mentah-mentah.”
Lara tergelak. Lalu sebuah pertanyaan melintas di kepalanya. Agak konyol sebenarnya. Tapi nggak ada salahnya ditanyain.
“Dan kamu … apa kamu menyukai Lara?”
Ceko menghentikan langkahnya ketika mereka sudah berada di parkiran motor siswa yang berdekatan dengan lapangan basket. “Aku suka kamu,” kata Ceko mantap.©