Pembicaraan Penting

1481 Kata
Sumatra Selatan, 1990.                         Hari sudah semakin petang, Laila segera beranjak pulang diikuti dua anak laki-laki yang bertelanjang d**a, menampilkan kulit merah kecoklatan akibat terpapar sinar matahari.   Tidak ada yang lebih menyenangkan bagi Laila kala petang datang, ia dan teman-teman kecilnya asik mandi di Sungai Betung sambil mencari udang dan kepiting merah di balik bebatuan. Dalam hal itu, Laila cukup mahir melakukannya. Tangannya sangat cekatan dan matanya juga jeli dalam mengintai. Ia benar-benar bahagia hanya dengan membawa pulang seember udang sungai, kepiting, dan ikan teri kembung hasil tangkapannya sendiri.   Petang ini, Laila tak mendapat banyak tangkapan seperti biasa, tapi bibirnya tetap tersenyum semringah. Kebahagiaannya bukan terletak berapa banyak hasil tangkapan, tapi seberapa serunya ia dan teman-teman kecilnya  melakukan kegiatan tersebut.   "Petang pagi kita cari tekutuyung, yuk!" ajak Andes, ia ingin menyenangkan ibunya dengan mencarikan siput sungai untuk digulai.   "Laju!" Deri setuju, diikuti tangan Laila yang terangkat ke atas tanda persetujuan.   "Asiiik," seru Andes, senyumnya melebar memperlihatkan giginya depannya yang berderet agak berantakan.   "Gulai tekuyung memang lemak, aku makan itu bisa nambah sampai tiga kali." Kali ini Deri bercerita, mengundang tawa Laila dan Andes.   Laila senang mendengar celotehan dua teman kecilnya, Andes dan Deri. Dua anak itu seumuran, bahkan keduanya teman satu kelas di sekolah. Di dusun, anak laki-laki memang suka berpetualang. Hampir setiap hari sepulang sekolah mereka habiskan bermain di luar rumah. Mandi di sungai, main petak umpet di lapangan, atau main perang-perangan menggunakan bambu atau pelepah pisang yang dibuat seperti pistol. Anak-anak perempuan kadang ikut bermain, tapi mereka kebanyakan lebih suka membantu ibunya di rumah, atau disuruh mengasuh adik. Oleh sebab itu anak perempuan biasanya cepat mendewasa. Mendewasakan diri karena keadaan.   "Laila, petang besok kami jemput ya." Andes kembali bersuara setelah tawa mereka mereda. Ia menatap wajah polos gadis di sampingnya.   Sudut bibir Laila tertarik ke atas, menciptakan lengkung senyum seperti biasa. Lalu mengangguk mantap.   Melihat senyum dan anggukan Laila, Andes dan Deri semakin semringah. Entah mengapa keduanya begitu menyukai Laila. Laila yang baik, Laila yang istimewa.   ***   Di bawah pohon ceremai, di persimpangan jalan Laila harus berpisah dari Andes dan Deri. Tidak begitu jauh, hanya beda jalur yang dilewati.   "Jangan lupa besok kita ke sungai lagi!" teriak Andes dan Deri bersamaan, dan Laila melambaikan tangan sambil melangkah melewati jalan setapak menuju pulang ke rumahnya.   Setelah itu, kedua anak tersebut sudah berlari saling mengejar dengan tangan membawa ember berisi hasil tangkapan di sungai. Beberapa saat tawa keduanya masih terdengar oleh Laila, semakin lama semakin menghilang.   Langit petang ini melukiskan kilau indahnya, kuning kemerahan. Matahari merangkak lebih dalam ke ufuk Barat. Sambil berjalan, mata Laila terus mengagumi senja yang menawan. Inilah waktu yang ia sukai, di waktu pergantian siang dan malam.   "Kalau lihat keindahan alam semesta, jangan lupa bertasbih pada Allah, Laila. Alam ini diciptakan untuk manusia, sebagai Al-Qur'an yang terhampar. Apa yang kita lihat tak hanya keindahan, tapi pembelajaran."   Laila mengingat kata-kata uwaknya, Haidi, sebuah pengajaran di kala sehabis mengaji di Surau. Apapun yang Laila tak paham tentang hidup, pada Haidilah Laila mengadu tanya.   "Subhanallah, Walhamdulillah, Allahuakbar." Laila bertasbih dalam hati.   Ia terus bertasbih hingga kakinya berhenti di depan sebuah rumah panggung tua yang semuanya bermaterial kayu, khas rumah masyarakat pedesaan Sumatera Selatan. Di sana ia melihat kakak laki-laki ibunya sedang duduk di kursi beranda.   Laila segera menyiram kakinya dengan air dalam ember besar yang tersedia di bawah tangga dapur, kemudian perlahan menaiki anak tangga dengan tangan masih menenteng ember dan kain teladan yang disematkan di leher.   "Gegaslah ganti baju, Laila. Nanti sehabis Magrib, Uwak mau bicara," perintah Hindun, sekilas melihat isi ember yang dibawa Laila. "Nanti itu biar Umak yang masak."   Laila mengangguk, lalu menyerahkan ember yang dibawanya pada Hindun yang segera ibunya terima. "Hasil tangkapanmu cukup banyak Laila, nanti kita makan besamo."   Laila mengangguk dan tersenyum senang, sudah lama ia tak makan bersama uwaknya. Biasanya uwak datang ke rumah saat pagi atau malam hari selepas mengaji. Seringnya, uwaknya tinggal lama di kebun kopi sampai Laila merasa rindu melihat wajah uwaknya itu. Diliriknya Haidi yang tengah duduk di beranda sambil mengetuk-ngetukan jarinya di lengan kursi. Seolah tengah memikirkan sesuatu.   Tidak menunggu disuruh dua kali, Laila masuk ke dalam rumah untuk berganti pakaian. Sedangkan Hindun sudah membawa ember yang di tangannya ke dapur untuk di olah.   ***   Azan Magrib sudah berkumandang, Haidi segera beranjak untuk sembahyang di Surau. Sedang Laila dan ibunya memilih sembahyang di rumah.   Letak rumah Laila dengan Surau tak begitu jauh, selepas sembahyang Haidi segera kembali menemui Hindun dan Laila, mereka sudah berjanji akan makan bersama.   Tradisi makan bersama masyarakat dusun Talang Panjang yaitu dengan duduk melingkar menghadapi hidangan makan di lantai beralas tikar. Makan menggunakan tangan langsung terasa lebih nikmat. Tidak ada suara percakapan selagi makan hingga selesai kecuali suara saat membaca doa.   Haidi, kakak kandung Hindun yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai dan adat budaya setempat. Selain itu, ia Laki-Laki berpendidikan yang sangat dihormati dan dituakan oleh masyarakat dusun. Dengan itu, Haidi selalu mengajari Laila banyak hal, terutama etika saat beraktivitas seperti makan, bertamu, bertetangga, atau bersosialisasi dengan masyarakat. Itulah sebab mengapa Laila sangat mengagumi uwaknya itu, dan menaruh hormat yang tinggi.   "Ikan pepes masakan umakmu itu juara," puji Haidi setelah selesai makan. Dan segera disetujui Laila dengan mengacungkan jempolnya. Membuat Hindun yang tengah membereskan hidangan tersenyum simpul.   Laila menatap Haidi lekat, uwaknya itu memang senang memuji ibunya. Membuat Hindun tersipu malu menciptakan kegelian tersendiri bagi Haidi.   Laila teringat ibunya mengatakan Haidi ingin membicarakan sesuatu padanya. Tangan Laila menepuk punggung tangan Haidi untuk mengingatkan sesuatu. Ia memperagakan cara orang bicara dan menepuk pelan dadanya.   "Oh, ya." Haidi tersadar, "Ada hal penting yang ingin Uwak katakan. Kemarilah." Haidi berjalan menuju beranda, ia duduk di kursi kayu tempatnya duduk sore tadi. Melempar pandangan dalam gelap malam.   Laila duduk di samping Haidi, sedikit berdebar saat memikirkan apa yang akan disampaikan oleh uwaknya itu. Tak seperti biasanya yang selalu tampak santai. Tapi kali ini agak berbeda, Haidi terlihat tegang. Begitu juga dengan perasaan Laila.   Hindun yang sudah selesai membereskan hidangan makan juga ikut duduk di dekat Laila, menggenggam jemari gadis itu lembut.   "Begini," ucap Haidi memulai perbincangan, "Pekan lalu, Uwak bertemu dengan Kodir, teman Uwak di dusun Kalang Anyar. Kodir bilang, sekiranya Laila mau, anak adiknya ingin melamar. Uwak pikir, tak ada salahnya Laila berkenalan lebih dulu dengan keponakan Kodir itu." Haidi menoleh pada Laila, gadis itu mulai tampak gelisah.   "Ngapolah anak adik Kodir mau melamar Laila?" tanya Hindun, karena ia tahu Laila pasti ingin menanyakan itu.   Haidi menghela napas panjang dan memulai bercerita. Haidi memang berteman akrab dengan Kodir sejak mereka masih bujang, bisa dikatakan Kodir adalah teman terbaik Haidi. Sudah sering Haidi menceritakan Laila pada Kodir, menceritakan bahwa ia sangat menyayangi Laila. Tidak hanya itu, Laila dan ibunya adalah tanggung jawab Haidi sepenuhnya.   Awalnya Kodir tak berniat mengenalkan keponakannya pada Laila, takut gadis itu menolak dan membuat keponakannya patah hati. Tapi saat mengetahui Laila seorang tunawicara, maka Kodir berpikir barangkali tak salahnya mengenalkan mereka dan keponakannya juga penasaran saat Kodir menyebut nama Laila. Jodoh tak ada yang tahu, lagipula, usia keduanya sudah pantas dikawinkan.   Mendengar cerita Haidi Laila seketika bertanya dengan suaranya yang tidak dapat didengar dengan jelas oleh Haidi, suara Laila terdengar seperti erangan yang terbata-bata. Agak lama untuk bisa dicerna oleh Haidi apa maksud ucapan keponakannya itu.   "Di, Laila bilang, apa keponakan Kodir itu juga bisu?" Hindun yang tahu maksud ucapan Laila segera menanyakannya.   "Dia tidak bisu, tapi ia tuli," jawab Haidi cepat.   Jawaban Haidi membuat Hindun membekap mulut. Hindu memang tak mempermasalahkan siapapun yang menjadi suami Laila nantinya, tapi memikirkan Laila yang bisu dan suaminya yang tuli membuat hatinya mencelus. Betapa malangnya nasib Laila jika itu benar terjadi. Tapi tidak dengan Laila, mata gadis itu seakan berbicara bahwa ia tak keberatan akan dikenalkan dengan bujang tuli itu.   "Bagaimana?" tanya Haidi memutus jeda.   Laila menempelkan telapak tangannya di d**a, dan sedikit membungkuk. Cara unik Laila bila ia menyetujui sesuatu dan memberi kehormatan pada uwaknya. Laila juga mengisyaratkan pada Hindun agar wanita itu jangan menunjukkan mimik kesedihan.   "Kalau begitu, akap pagi, aku mau menemui Kodir. Mungkin petangnya dia dan keponakannya akan datang kemari. Kalau Laila menerima, itu tandanya sebentar lagi kita akan sedekah kawinan."   ***      Sedekah kawinan. Cepat atau lambat, Laila memang akan menikah pada akhirnya. Hindun akan menyerahkan Laila pada laki-laki yang nanti akan menjadi suaminya.   Haidi sudah sejak tadi pamit pulang ke rumahnya. Malam semakin pekat tapi Hindun masih belum terlelap.   Laki-laki itu bisu.   Ia terus memikirkan. Bagaimana jika Laila menerima bujang itu dan menikah? Ah, rasanya Hindun tak sampai hati menyerahkan Laila meski putrinya merasa bahagia. Bukankah menikah dengan laki-laki istimewa yang Laila inginkan selama ini?   Laila pernah mengatakan padanya bahwa ia hanya ingin menikah dengan laki-laki yang memiliki kekurangan sepertinya, agar ia tidak merasa rendah diri. Terlebih jika laki-laki itu mencintainya setulus hati.   Air mata Hindun merebak. Dalam keheningan malam ia terguguh sendiri. Di pandanginya wajah Laila yang sudah tertidur pulas di sampingnya. Wajah gadis lugu dan polos.   Laila ....   Meski gadis itu sudah tumbuh dewasa, Hindun masih menganggapnya seperti gadis kecil yang manja.    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN