PROLOG
Hindun gegas meninggalkan kebun, sengaja ia pulang lebih cepat hari ini mengingat ia akan menjenguk Laila yang dikabarkan sedang sakit. Entah sakit apa, Zainal hanya mengatakan wajah Laila sangat pucat. Tubuhnya gemetar dan terus mengerang-erang saat tidur. Kejadiannya sudah dua hari lalu, di hari ke tiga, Zainal terpaksa mengabari umaknya Laila.
Hindun memberi isyarat pada Zainal bahwa nanti sore setelah Ashar ia akan menjenguk Laila. Sedang pagi ini, ia harus ke kebun lada terlebih dahulu untuk mengambil lada kering di dangau untuk bisa dijual. Lumayan, harga lada sedang naik, Hindun bisa dapat uang dan membelikan Laila obat.
Agak tergesa Hindun menyusuri jalan setapak menuju talang, ia berharap toke lada masih buka. Jika hari sudah terlalu petang, Hindun takut ia tak dapat uang karena toke sudah tutup.
Langit sudah berubah warna, melukiskan kilau kuning keemasan tanda matahari sudah merangkak turun di ufuk barat. Hindun sudah berjalan jauh, menapaki jalan setapak sambil menggendong keranjang berisi hampir lima kilogram lada hitam yang sudah kering, dengan tali keranjang disematkan di atas kepala yang tertutup 'tengkuluk'.
Di tengah jalan, Hindun berpapasan dengan Harsah.
"Balek, Makcik?" sapa Harsah beramah tamah.
"Balek," jawab Hindun, "Oii, petang-petang nak kemano kamu, Harsah?" Hindun balik bertanya. Biasanya jika waktu sudah petang, para kuli tani segera pulang ke rumah, sedangkan Harsah justru berjalan menuju perkebunan.
Harsah agak gugup menjawab, "Eh, a-aku ado perlu dikitlah, Makcik. Barang aku ketinggalan di junan."
Dahi Hindun mengerut, sikap Harsa terlihat dibuat-buat dan jawabannya tak masuk akal. Tak biasanya wanita itu bersikap aneh. Tapi Hindun tak ingin terlalu peduli, ia harus segera sampai ke dusun dan menjual ladanya.
"Yo, hati-hati," timpal Hindun sebelum ia kembali melanjutkan perjalanan. Tapi baru beberapa langkah, Harsah memanggil dan mengatakan sesuatu.
"Makcik Hindun, apo Makcik sudah dengar kabar hari ini?" Harsa takut-takut menatap mata Hindun.
Kening Hindun mengerut, alis tebalnya bertaut. "Belum, ado kabar apo?" kejar Hindun pada Harsah.
Dusun Talang Panjang jarang-jarang ada kabar yang cukup serius untuk diperbincangkan, selama ini Hindun hanya mendengar isu naik atau turunnya harga hasil ladang atau kabar tentang perkawinan bujang-gadis dusun. Selain itu, gosip atau kabar-kabar aneh jarang ia dengar.
"Harsah," panggil Hindun tak sabar. Perasaannya mendadak tak enak.
"I-iya, Makcik. Sebelumnya aku minta maaf, Makcik. Apo benar Laila menjebak Nurdin di tepian ayek Betung?" Ragu Harsah menanyakan perihal kabar yang didengarnya. Membuat Hindun memaku dalam beberapa detik.
"Maaf, Makcik." Harsah merasa takut.
"Menggoda Nurdin?" Hindun menyipitkan mata, "Menggoda bagaimana maksudnya, Harsah?" Degup jantung Hindun tak lagi berirama, kini dadanya sudah riuh bergemuruh. Mana mungkin Laila bertindak tidak senonoh seperti itu.
"Aku tak tahu, Makcik. Aku cuma dengar dari beberapa orang yang berkumpul dan bergosip tentang Laila. Aku pikir, karena sudah bertemu Makcik jadi aku menanyakan langsung," jelas Harsah, "katanya ... Laila sengaja menanggalkan kain telasannya dan telanjang di depan Nurdin." Suara Harsah melemah. Ia tak kuasa mengatakan itu pada Hindun, tapi rasa penasaran mendorongnya mengatakan apa yang ia dengar.
Astagfirullah. Hindun langsung beristighfar dan mengurut d**a. Sungguh keji fitnah dunia. Seketika saja kedua tungkai kakinya terasa lemas.
"Aku minta maaf nian, Makcik. Bukan bermaksud--,"
"Cukup Harsah. Tolong jangan diteruskan. Pergilah, hari la semakin petang. Makcik akan luruskan perkara kabar miring itu." Hindun berusaha menahan emosinya dan bersikap tenang. Ia tak ingin gegabah. Untuk lebih terangnya, Hindun sudah memikirkan untuk menemui Nurdin.
"Jangan mudah percaya isu murahan, Harsah. Bisa jadi itu adalah fitnah." Sekali lagi Hindun mengingatkan Harsah. Menatap tajam wajahnya.
Harsah mengangguk dan tertunduk dalam-dalam. Kemudian mengatakan maaf sebelum benar-benar berlalu meninggalkan Hindun yang masih menatapnya lekat.
Hati seorang ibu, sangatlah mudah patah jika mendengar hal buruk tentang putrinya. Ia akan menjadi sangat rapuh, kecewa, juga berdarah.
Langkah Hindun tak lagi sama. Tak seringan sebelumnya. Kakinya terasa tak berdaya memijak tanah, pikirannya terus berpusat pada satu nama; Laila. Putrinya yang bisu.
***
Azan Magrib sayup berkumandang. Hindun sudah berdiri di depan rumah Nurdin dengan banyak pertanyaan di kepala. Keranjang berisi lada yang belum sempat dijual ia letakkan tepat di sampingnya.
"Nurdin!" Suara keras Hindun menggema di antara suara azan yang datang dari Surau.
Bukan saja Nurdin yang keluar rumah, Nuri istrinya pun ikut bersamanya. Mereka melihat Hindun dengan pakaian kumalnya menatap tajam wajah keluarga terhormat itu satu persatu.
Kedua mata Nurdin agak menyipit saat melihat siapa yang datang. Dengan sikap tenang, Nurdin mengajak Hindun singgah.
"Umak Hindun, naiklah dulu." Suara Nurdin terdengar tenang, ia menyuruh Hindun untuk masuk ke rumahnya. Tapi Hindun segera menolak.
"Aku datang bukan untuk betandang, Nurdin. Aku ke sini nak betanyo soal Laila. Isu itu kudengar dari Harsah."
"Harsah?" sambar Nurdin. Satu alis tebalnya terangkat. Ia melihat ke arah istrinya sekilas kemudian kembali menatap ke arah Hindun.
"Jadi Umak Hindun sudah tahu kalau Laila ... ah, bagaimana saya harus katakan, saya takut Umak Hindun tidak memercayai saya." Mimik wajah Nurdin berubah sedih, ia seolah tak ingin melukai perasaan orang tua di hadapannya.
"Katakan dengan jelas, Nurdin. Benar atau tidak!" Hindun meninggikan suaranya. Hingga mencuri perhatian beberapa orang yang hendak pergi sembahyang ke Surau.
Melihat banyak orang yang menatap ke arah mereka, Nurdin tak ingin melewatkan kesempatan. Ia berdeham kuat dan berkata dengan intonasi tak kalah tingginya.
"Sebaiknya Umak Hindun temui saja Laila, tanyakan langsung padanya apa yang sudah terjadi. Saya sendiri, sangat merasa malu dan merasa hilang harga diri kalau mengingat bagaimana Laila mencoba ...." Nurdin terdiam sebentar, melirik ke arah beberapa orang yang mulai mencuri dengar perkataannya. "Merayu saya," lanjut Nurdin penuh penekanan.
"Astagfirullahal aziim." Serempak mereka yang mendengar ucapan Nurdin beristighfar. Termasuk Hindun yang sudah gemetar tubuhnya.
"Jangan fitnah kamu Nurdin. Laila tak mungkin seperti itu!" Hindun tak kuasa menahan ledakan dalam d**a, rasanya sudah tak sanggup menopang badan. Tak berdaya.
"Maafkan saya Umak Hindun. Kenyataannya memang seperti itu. Mana mungkin saya asal bicara, bukankah semua masyarakat dusun Talang Panjang ini sudah tahu kalau keluarga kami adalah keluarga berpendidikan dan terhormat. Mana mungkinlah saya berani memfitnah saudara sendiri." Nurdin merapikan kerah kemejanya, keangkuhan itu jelas menunjukkan siapa dirinya yang sebenarnya. Sedangkan Nuri, tak tahu harus berkata-kata, sikap dan mimik wajahnya, Nuri sangat cemas dan merasa takut. Sebagai istri jelas dia memercayai suaminya.
Azan Magrib sudah berhenti berkumandang, orang-orang yang hendak ke Surau mempercepat langkah meninggalkan tontonan di depan mata sambil menggelengkan kepala.
Hari ini, Nurdin sudah berhasil menanamkan kepercayaan masyarakat dusun tentang apa yang ia sampaikan.
"Baik. Baiklah." Bergetar suara Hindun, "Jika ternyata ini fitnah, aku atas nama Hindun, akan menghukummu dengan tanganku sendiri." Hindun menegarkan hati.
Ditariknya keranjang di samping tempatnya berdiri, kembali meletakkan talinya di atas kepala. Dengan langkah dipaksa kuat Hindun menjauh pergi dengan perasaan menyayat hati.
Ah, Laila ...
Ada apa dengannya? Sepanjang jalan Hindun terus mengusap matanya yang basah oleh air mata.
Hindun sudah terlambat untuk menjual ladanya, hari sudah terlampau petang. Saat ini yang Hindun pikirkan adalah lekas bertemu dengan Laila.