Suasana pagi di dusun Talang Panjang sangatlah dingin, biasanya Laila sibuk di dapur menghangatkan badan di depan tungku perapian, tapi pagi ini Laila sibuk menyiapkan pakaian mana yang harus ia kenakan saat pertemuan nanti. Ia tak pernah segugup ini sebelumnya. Bukan satu atau dua kali bujang-bujang dusun datang untuk melamar, sudah sangat sering namun satupun belum ada yang mampu membuatnya b*******h menjalin hubungan serius.
Banyak sudah bujang-bujang patah hati, hingga berakhir mencaci maki. Mengatakan Laila gadis bisu yang tak berhati dan terlalu memilih-milih. Sumpah serapah mendoakan Laila jadi perawan tua sudah tak terhitung lagi.
Laila mendesah, mengingat yang sudah-sudah membuatnya kesulitan bernapas. Bujang-bujang itu tak paham inginnya, Laila tak berminat bersuamikan laki-laki sempurna sebab ia merasa tak sepadan. Mereka yang sudah melontarkan penghinaan, jelas sudah salah paham.
"Laila." Suara Hindun terdengar di balik pintu kamar.
Mendengar Hindun memanggil, Laila segera beranjak dari duduknya di tepi ranjang besi tua yang menyuarakan derit yang khas. Gegas membuka pintu kamar dan mendapati wajah sendu Hindun.
Kening Laila mengerut, matanya mempertanyakan gurat kesedihan sang ibu.
"Umak nak ke pasar sebentar, membeli bahan-bahan makanan untuk dimasak nanti siang. Bukankah nanti sore kita akan kedatangan tamu?" Hindun tersenyum tipis, jelas agak dipaksakan. "Nah, petang ini kaban jangan kemano-mano, Laila. Persiapkan apa yang harus disiapkan," perintah Hindun. Ia ingat pesan Haidi untuk mengingatkan Laila agar tetap di rumah hari ini.
Laila agak aneh dengan sikap ibunya, ia terlihat sedih tapi juga bersemangat. Ada apa dengan ibunya? Entah, Laila hanya mengangguk mengerti atas perintah umaknya itu. Lalu mencium punggung tangan Hindun penuh kasih sayang, seperti kebiasaannya jika ia atau Hindun akan keluar rumah.
Sepeninggal Hindun, Laila masih berkutat memadankan baju-baju dengan bawahan serta penutup kepala yang harus ia kenakan. Sampai Laila merasa pening sendiri. Akhirnya ia memutuskan untuk memakai kebaya merah, kain jarik barunya dan tudung kepala motif garis-garis. Memang tak banyak pilihan, Laila gadis yang tak begitu suka banyak membeli pakaian. Selagi baju-baju itu masih bagus dan layak pakai, ia belum berkeinginan untuk memiliki pakaian baru.
Setelah menyiapkan baju, Laila sibuk membersihkan rumah. Menyapu dan mengepel lantai. Membersihkan rumah panggung bermaterial kayu memang agak sulit, debu-debu cepat menempel dan harus dibersihkan dengan kain basah. Sejak kecil, Laila sering melihat ibunya mengepel lantai kayu menggunakan campuran minyak tanah agar lantai kayu tampak lebih bersih dan mengkilap. Mengerjakan pekerjaan rumah bukan pekerjaan berat bagi Laila, ia sangat menikmati karena sudah terbiasa.
***
Matahari sudah terasa menyengat kulit, Hindun melangkah cepat-cepat arah pulang. Tidak banyak yang ia beli, hanya bahan pokok untuk membuat kue-kue khas dusun sebagai jamuan nanti sore.
Di perjalanan, Hindun bertemu Edah. Istri kepada desa dusun Talang Panjang. Melihat Hindung tergopoh dengan keranjang belanjaan di tangan, membuat Edah ramah menyapa.
"Oii, Hindun. Jak di mano?" tanya Edah dengan suara ringannya yang khas.
Ditanya Edah, Hindun menjawab sekenanya bahwa ia dari pasar dan buru-buru pulang. Mendengar kata buru-buru membuat Edah penasaran.
"Petang ini, kami nak ado tamu, Edah. Bujang dusun sebelah yang ingin melamar Laila. Kebetulan bahan makanan di rumah habis, jadi terpaksolah aku belanjo kudai di pasar," jelas Hindun sekenanya. Ada sedikit rasa senang saat Hindun mengatakan Laila akan dilamar, dengan itu berharap hujatan yang sering dilontarkan orang dusun bahwa Laila perawan tua tak lagi terdengar. Khususnya dari mulut Edah dan putranya.
Benar saja, mendengar Laila akan dilamar, bibir Edah memuncung. "Oh, macam itu," respon Edah, seperti kehilangan kata-kata. Hindun tentu saja paham, tapi sekarang bukan waktunya untuk bicara panjang lebar. Maka ia segera pamit untuk melanjutkan perjalanan pulang. Sudah tidak jauh lagi, Hindun perlu melewati beberapa buah rumah lagi untuk sampai ke rumahnya.
"Paling yang melamar bujang tuo," desis Edah, setelah beberapa langkah Hindun menjauh. Tapi suara desisan itu cukup tajam di telinga Hindun.
Edah. Hindun tahu betul bagaimana sifat wanita itu. Hindun tak mau mengambil hati atas segala ucapannya yang menyakiti. Kadang, orang bersikap tidak baik bukan berarti ia jahat, tapi terbentuk karena pernah mendapat sikap yang tak menyenangkan dari orang yang saat ini ia tak sukai.
***
Sesampainya di rumah, Hindun mulai sibuk membuat makanan, ia tidak sendiri, Laila dan juga Harsah yang ikut membantunya. Harsah adalah anak kedua Haidi, usianya tiga tahun lebih tua dari Laila. Hindun dan Harsa membuat serabi kuah sebagai menu utama, lalu mengukus kelicuk pisang, dan ketan ketan tumis teri yang dibungkus daun pisang. Sedang Laila ikut membantu menyiapkan bahan-bahan dan memasak sesuai apa yang disuruh oleh ibunya.
"Laila, kalau mau mandi ke sungai, jangan terlalu petang. Tidak usah pulo menangkap ikan atau ketam," kata Hindun di sela kegiatannya meracik makanan.
Laila mendengar, tapi tak menjawab. Ia ingat petang nanti Andes dan Deri akan menjemputnya untuk berangkat ke sungai bersama. Seperti janji mereka kemarin untuk menangkap ikan.
"Wah, masak apo, Laila?" Tiba-tiba Haidi menaiki tangga dapur, ia baru pulang dari rumah Kodir untuk membicarakan pertemuan nanti sore.
Melihat uwaknya datang, Laila berbinar bahagia. Tangan Laila terangkat dengan kelicuk di jarinya. Ia juga menunjuk beberapa hasil masakan yang sudah matang.
Haidi tersenyum, menatap Laila penuh rasa bangga. "Pantas bae lah harum nian, ternyata Laila yang masak," punji Haidi, "Gadis memanglah harus pintar masak. Nanti kalau ado suami kan sudah tak repot belajar lagi."
Laila terkikik, merasa senang sekaligus geli mendengar ucapan Haidi. Sedangkan Harsa juga tak mampu menyembunyikan senyumnya.
Haidi sudah duduk di teras dapur, melihat ketiga wanita itu sudah hampir selesai memasak.
"Bagaimana acaranya nanti sore, Di?" tanya Hindun. Kembali memastikan.
"Kodir dan rombongan kemungkinan sampai ke sini habis Magrib. Nanti Harsah minta tolong Sudir bawa beberapa tikar, dan petromax."
"Kira-kira yang datang berapa orang, Bak?" tanya Harsah, ia takut makanan akan kurang bila terlalu banyak orang.
Haidi menggaruk kepalanya yang sudah banyak ditumbuhi uban. "Yah, sekitar lima atau enam orang," jawab Haidi, "jangan pikirkan makanan kurang atau lebih, yang harus dipenting jamuan kito sudah sesuai standar adat kebiasaan. Acara lancar, dan hasilnyapun sesuai harapan."
Mendengar bapaknya bicara, Harsah terdiam. Begitu juga Hindun. Sedang Laila tengah membayangkan bagaimana rupa laki-laki yang akan datang melamar.
"Laila." Tiba-tiba suara Hindun membuyarkan lamunannya. Laila tersentak, dan akhirnya tersipu malu.
"Mumpung hari belum terlalu petang, pergilah mandi ke sungai. Nanti biar Umak dan Harsah yang bebenah," suruh Hindun.
Baru saja Hindun bicara, dua anak laki-laki datang sambil membawa jaring kecil dan ember.
"Lai-laaa," panggil mereka serempak, "ayo ke su-ngaaaiii."
Haidi yang sejak tadi duduk di teras dapur langsung menyahut. "Mau nangkap ikan, yaaa."
Andes dan Deri baru sadar ada Haidi di teras dapur, dua sahabat itu segera menghampiri. "Eh, Uwak. Kami mau nangkap ikan lagi, Wak." Dari bawah tangga Deri berseru pada Haidi. Wajahnya mendongak ke atas.
Haidi melihat wajah Deri dan Andes satu persatu. Kedua anak itulah yang sering memanggil Laila untuk pergi sama-sama ke sungai. Ada rasa sedih menyelimuti, jika mengingat suatu hari nanti Laila tak dapat lagi bermain bersama. Laila gadis dewasa yang harus melanjutkan fase kehidupan, mungkin tak akan sama lagi ketika ia sudah bersuami nantinya. Anak-anak itu pasti merasa kehilangan.
"Wak," panggil Andes. "Uwak sedang apa di dapur?"
Haidi tersenyum, ditanya begitu ia langsung turun dari teras. Pelan Haidi menepuk pundak Andes dan Deri, lalu mengajak keduanya duduk di 'amben' bawah rumah. Sambil menunggu Laila turun, Haidi memberitahu Andes dan Deri kalau Laila tak lama lagi akan menikah. Ia menjelaskan bahwa gadis dewasa harus segera menikah. Seperti dugaan, keduanya bertanya mengapa perkawinan Laila secepat itu.
Agak sulit bagi Haidai untuk menjelaskan, tapi ia mengatakan bahwa lebih baik menyegerakan daripada menunda. Karena menikah adalah bagian dari penyempurnaan agama.
"Kalau sudah nikah, Laila boleh main sama kami lagi nedo, Wak?" Suara Deri bergetar. Ia mulai merasa kehilangan.
"Boleh. Sangat boleh. Silaturahmi jangan sampai terputus, bagaimanapun kondisi kita." Haidi mengusap kepala Deri.
Sungguh malang nasib anak itu, ia sudah kehilangan ibu, dan juga kakak perempuannya. Semenjak berteman dengan Laila, ia kembali merasa memiliki saudara perempuan. Ia anak yang kesepian, hanya Andes dan teman-temannyalah yang sanggup membuat wajahnya kembali ceria. Sedang bapaknya, sibuk bekerja sampai lupa mengurus anak.
Saat Haidi melanjutkan bicara, Laila terlihat menuruni tangga. Membuat Andes yang memang sejak tadi tak sabar untuk segera berangkat ke sungai langsung melompat dari amben dan berseru riang.
"Wak, Laila la turun. Kami berangkat ya, Wak."
"Berangkatlah. Ingat, jangan lamo-lamo," pesan Haidi dengan jari telunjuk mengacung.
"Siap, Wak," ucap Andes dan Deri serempak, bersamaan dengan lambaian tangan Laila pada uwaknya.
***
Laila membenamkan tubuh dalam air sungai setelah menggosok seluruh tubuhnya dengan sabut yang diberi sabun batangan. Rambut panjangnya pun tak lupa ia beri sampo, membuat aroma wanginya menguar sampai ke hidung beberapa gadis remaja yang juga tengah mandi di tepian yang sama.
Bisik-bisik itu pun terjadi dibarengi dengan suara tawa yang tertahan. Gadis-gadis itu tak tahan untuk tidak membicarakan Laila. Laila yang sebentar lagi akan dipinang oleh laki-laki kampung sebelah, kabar itu rupanya sudah cepat menyebar hingga sampai ke telinga para gadis-gadis biang gosip itu.
Telinga Laila menangkap jelas apa yang dibicaraan gadis-gadis bertelasan itu. Jarak mereka dan Laila tak begitu jauh. Bibir-bibir itu bak burung pipit berkicau dengan nada cepat yang menyakiti.
"Aih, nedo kebayang kalau Laila menikah, suaminya pastilah kesal nian. Malam pertama bukannya jerit-jerit mesrah malah diam membisu, mengerang pun rasanya ia malu." Sebuah suara dari seorang gadis yang mengundang banyak tawa dari teman-temannya. Tak cukup sampai di situ, ia menambahkan, "Kasihan. Kalau aku ne, sudah pasti lebih memilih jadi gadis tuo daripado menikah tapi tak berguna."
"Tapi kabarnya, suami Laila itu juga samo lah," timpal gadis yang lain.
"Samo? Samo-samo bisu maksudnya?"
"Bukan bisu, tapi tuli."
Tertawalah mereka semua, gadis-gadis yang terus membicarakan Laila seakan Laila tuli. Mungkin memang mereka beranggapan demikian.
Laila yang sejak tadi berusaha meredam amarah, sudah tak tahan lagi mendengar gelak tawa mereka yang menyulut api dalam d**a. Laila hanya gadis biasa, ia memang bisu, tapi tidak tuli. Ia bisa mendengar bahkan pendengaran yang dimilikinya jauh lebih peka dan sensitif melebihi batas normal.
Pletak!
Laila melempari gadis-gadis itu dengan batu sungai, membuat mereka terkejut dan melotot ke arah Laila.
"Berentilah memanah Laila. Dasar gadis bisu!" hardik mereka. Tapi Laila seakan tak peduli, ia terus melempar batu-batu kecil yang ada disekitarnya dengan gusar.
"Laila jadi gila! Laila jadi gila!"
Mereka meneriaki Laila, menyebutnya gila. Berulang kali sembari menghindari serangan Laila. Lalu secara bersamaan mereka buru-buru meninggalkan tepian sungai sambil terkikik-kikik.
Laila mengeluarkan erangan dan geraman yang kuat. Ingin sekali ia memaki gadis-gadis tak tahu diri itu, membalas ejekan dengan ejekan. Tapi sayang Laila tak mampu. Ia hanya mengerang dengan tangan terus memanah batu sampai ia kesal dan tersedu.
Mendengar suara ribut-ribut, Andes dan Deri yang berada di tepian hulu mandi di lubuk, secepat mungkin berenang ke hilir. Di sanalah Laila, tengah melempari batu pada gadis-gadis yang sudah menjauh meninggalkan tepian sungai.
Melihat Laila melempar batu, Deri dan Andes langsung menenangkan Laila. Keduanya menatap Laila sedih.
"Laila, kami janji, mulai hari ini kami akan menjagamu dari orang-orang jahat itu."
"Ya, jangan nangis Laila. Kami janji akan buat mereka menyesal nanti," timpal Deri. Lalu kedua sahabat itu duduk di samping Laila di atas bebatuan. Menenangkan sahabat mereka yang bisu.