Chapter 2 | Tidur Dengan Tunangan Kakak!!!

1478 Kata
Chapter 2 | Tidur Dengan Tunangan Kakak!!! “Seharusnya tidak begini…” “Harusnya tidak seperti ini…” “Bagaimana bisa hal ini terjadi?” “Apa yang sudah kulakukan?” Lyn baru saja terbangun di ranjang seorang pria yang tidak seharusnya. Jantungnya seolah berhenti berdetak, saat melihat banyaknya jejak yang tertinggal di tubuhnya dari pantulan cermin. “Ini…” Tangannya terangkat, menutup mulut rapat-rapat. Tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, Lyn berjalan mendekat—menghampiri cermin besar itu memastikan. “Apa kau biasa berisik begini di pagi hari?” Suara berat itu terdengar dari belakang. Lyn menoleh terkejut, pria itu memiringkan kepalanya keheranan, asing dengan tingkah Lyn yang dilihatnya. Menyadari tubuh polosnya menjadi tontonan, Lyn segera berlari mengambil kemeja di tepi tempat tidur yang berserakan. Berniat menutupi meski Sudah terlambat. Namun… Rasa nyeri apa ini? Rasa nyeri yang asing ini… Brukk Lyn malah tersandung dan jatuh telungkup di pangkuan pria itu. Kakak dari sahabatnya… Dosen yang mengajar di kelasnya… Tunangan kakaknya… Arsene Kay Zavian Adams, pria dengan surai hitam menjuntai, menunduk menatapnya itu mengerutkan kening. Mata birunya menajam saat bertemu dengan retina abu yang masih sayu. “Ma… Maaf Pak.” Lyn segera bangkit sambil mengenakan kemeja kebesaran itu. Sudah pasti pakaian itu bukanlah miliknya. Bercak noda alkohol yang tidak asing itu, menarik pandangan Lyn. Meski sudah melirik sekitar, Lyn tetap tidak bisa menemukan dimana pakaiannya berada. Ia tidak percaya bisa membuat kesalahan seperti ini. “Duduk” Arsene memerintah, tanpa sadar Lyn yang sedari tadi berdiri di tepian tempat tidur, langsung menyeret kursi kecil dengan tertatih dan duduk di hadapan Arsene dengan patuh. “Sakit?” Arsene bertanya tiba-tiba. Lyn menautkan kedua tangannya dan menggeleng kecil sebagai jawaban. Arsene bangkit dari posisinya, berjalan tanpa beban dan mengambil selembar handuk untuk dililitkan di pinggang. Tanpa rasa canggung. Tanpa peduli bahwa tindakannya membuat wajah seorang gadis memerah sempurna. Melihat hal yang seharusnya tidak terlihat. “Maafkan aku, aku tidak bermaksud membuatmu menangis. Aku akan berhenti jika kau mau berhenti sekarang.” Ingatan mengenai apa yang terjadi semalam membuat wajah Lyn semakin memerah. Membayangkan sosok yang biasa bersikap dingin dan kurang ajar justru bersikap penuh perhatian. Dalam ingatan itu, sama sekali tidak ada paksaan. Lyn menutup wajahnya, tidak percaya dengan dirinya yang justru bertingkah tidak bermoral di hadapan tunangan kakaknya. “Buka” Lyn tersentak. “Apa?” Arsene terlihat menghela nafas dan berjongkok di depan Lyn, menyentuh kedua kakinya sambil membuka area tanpa penghalang itu. “Pak” Lyn berusaha menutupi namun tangannya ditahan dengan tangan kiri Arsene, sementara tangan lain membuka kedua kaki Lyn. Lyn dapat melihat keningnya kembali mengerut. ‘Ini tidak benar.’ ‘Bagaimana bisa situasi ini terjadi?’ “Sedikit lebam, aku akan meresepkan obat agar lebamnya cepat hilang. Lalu untuk sementara hindari memakai celana ketat dan gunakanlah celana yang lebih lembut dan skin friendly. Sepertinya semalam aku sedikit berlebihan, tapi karena atas keinginan bersama, aku tidak akan meminta maaf.” “Keinginan bersama?” Lyn mengerutkan dahinya, jelas ia ingin menghindari masalah dengan berpura-pura tidak mengingat semua yang terjadi. Ia berniat menyalahkan alkohol yang menjadi noda pada kemeja. Meski, wajah Lyn sudah terlanjur memerah karena malu. ‘Pembohong payah yang tidak sadar diri.’ “Kau mau pura-pura tidak ingat?” Arsene melepaskan cengkramannya. Pria itu duduk di tepian tempat tidur, mencondongkan tubuhnya yang terlihat seperti pahatan, mendekat memandang wajah Lyn yang sudah menahan nafas karena gugup. Secara tiba-tiba ia menarik kursi, mempersempit jarak mereka hingga suara nafas keduanya bisa saling terdengar. “Lihat ke bawah.” Arsene kembali memerintah. “Eh???” “Apa yang kau pikirkan?” Tanyanya sambil mempertajam pandangannya. Tangan Arsene kembali terulur, kali ini menyentuh pipi Lyn dan mengusap sudut matanya yang bengkak dan sembab. “Jangan bertingkah seolah kau tidak ingat.” Arsene menurunkan tangannya, meraih jemari Lyn dan mengarahkan jemari itu pada pundak kanannya. Lyn baru melihatnya, bekas gigitan yang cukup parah ada di sana. Gigitan kecil yang sudah jelas siapa pelakunya. Arsene membalik tubuhnya, memperlihatkan banyaknya bekas cakaran di punggungnya. Cukup parah, hingga Lyn meringis begitu melihatnya. “Itu…” “Anu…” Lyn semakin menunduk. Merasa malu dan rendah diri, hina dengan tindakannya sendiri. Tidur dengan pria yang merupakan dosen, sekaligus kakak dari sahabat dan tunangan dari kakaknya. Arsene terus menatap wajah Lyn yang kian suram. “Ekspresi itu karena kau dicampakan atau karena kau tidur denganku?” Lyn menarik nafas dalam-dalam dan menggeleng kecil. ‘Ahh benar juga, aku bahkan tidak ingat bahwa semalam habis dicampakan.’ ‘Cara yang dikatakan pria ini, benar-benar berhasil.’ ‘Tapi kenapa jadi berakhir begini…” “Pak, saya mohon maaf atas semuanya. Hal seperti ini tidak akan terjadi lagi dan kedepannya saya akan berhati-hati.” Lyn bangkit dari posisi duduknya. “Mohon lupakan semuanya.” Kepalanya menunduk kecil sebelum berlari keluar dari kamar megah itu. Arsene tidak menahan, membiarkan gadis muda itu pergi. Sudah tahu pasti kemana ia pergi. Ia mungkin memasuki kamar Anna dan mengganti pakaiannya sebelum pergi dari kediaman ini. Lyn memang sering mengunjungi dan menginap di rumah ini untuk bertemu Anna, ia sudah tahu betul tata letak kediaman besar itu. Meski sejak kepergian Anne, ia sudah lama tidak datang. “Lucu…” Arsene bangkit dari posisi duduknya dan berjalan menuju kamar mandi, melirik pakaian Lyn yang berada di tumpukan pakaian kotornya. Para pelayan mungkin akan heboh jika menemukan pakaian itu di sana. “Haruskah aku menyingkirkannya?” Arsene menghela nafas berat sebelum menatap pantulan dirinya dari cermin. “Ternyata cara seperti itu berhasil.” Gumamnya pelan. Arsene membuka ponselnya, melihat potret seorang pria yang menerima segepok uang, lalu ia menggeser potret itu, melihat pria itu yang tengah berada di rumah sakit. “Orang miskin, selalu hina dan mudah dibeli.” Arsene menarik senyuman di bibirnya. Hari-hari setelahnya di penuhi dengan pelarian. Lyn selalu menghindari Arsene dalam berbagai kesempatan. Setelah peresmian pertunangan, Arsene jadi lebih banyak terlibat dalam acara keluarga. Terlebih Lyn juga harus bertemu pria itu di kampus, meski hanya satu minggu sekali tapi tetap saja rasanya berat. Terlebih Arsene mengajar dengan cara yang terbilang kejam. Menghindari ajakan Anna saat ia pulang nanti, adalah masalah utamanya. Menginap dan bersantai di akhir pekan bersama di kediamannya sering mereka lakukan. Namun setelah kejadian itu, Lyn tentu menghindar, mana bisa ia dengan tampang tanpa dosa datang ke kediaman itu lagi. Jelas… Lyn menganggap semua yang terjadi adalah kesalahan. Ia ingin berhenti dan menghindar. Namun, semuanya terus bergerak ke arah yang salah. Kenapa jadi makin runyam? Sejak kapan semuanya semakin berantakan? “Lepas” Lyn menoleh ke belakang. Saat penutup kaca di ruangan itu dihidupkan dan apapun yang terjadi di dalam ruangan tidak akan bisa terlihat. “Pak, tapi saya masih ada…” “Pak? Saya? Kau tiba-tiba mau memberi jarak lagi padahal sudah sejauh ini?” Arsene melepaskan tas yang Lyn kenakan dan menjatuhkannya sembarangan. “Ini di kampus, lalu itu edisi terbatas…” Keluh Lyn dengan wajah murung. “Aku belikan lagi” Arsene menarik tangan Lyn, pria itu kemudian berjalan ke belakang Lyn dan mendorong punggung gadis itu hingga menempel pada meja. “Siapa yang bicara padamu tadi?” Arsene bertanya sambil menyentuh paha Lyn, menggerakan tangannya kian tinggi pada area yang tidak semestinya. “Pak…” Rengek Lyn dengan suara parau. “Jawab…” Arsene menurunkan celana dalam dari balik dress yang Lyn kenakan. “Dia hanya bertanya soal materi sebelumnya, hanya itu.” Lyn memberi alasan, meremas berkas yang ada di meja dengan sembarangan. Tidak peduli penting atau tidaknya berkas itu. “Kau tidak perlu menjawab pertanyaan semacam itu.” Arsene mendaratkan jemarinya, menikmati sensasi hangat yang dirasakannya dari area yang dijamah. “Baik…” Lyn menurut dengan mudahnya. Tanpa penolakan ataupun pertentangan yang alot, sisi yang sangat Arsene sukai. “Lyn, pisau cantikku Lyn.” Wajah Lyn seketika memerah saat mendengar panggilan Arsene dengan suara lembutnya. “Kau tahu bahwa aku sangat menginginkanmu kan? Aku ingin kau selalu berada di sisiku.” Lyn menoleh, melihat mata biru tajam yang juga menatapnya. “Arsene, katakana lagi.” Lyn mengulurkan tangannya, menyentuh pipi Arsene dengan penuh kehati-hatian. “Aku menginginkanmu.” Lyn tersenyum dengan lega. “Aku juga…” Semuanya salah sejak malam itu… Semakin salah, saat Lyn melihat sisi ini. Sisi Arsene yang tidak pernah dilihatnya, manis dan hangat. Sisi yang begitu indah… Warna biru yang sering mengingatkannya pada kesedihan, kebahagiaan dan kehangatan. Warna biru yang selalu dihindarinya. Mulai tak terhindarkan, Lyn terjerat sepenuhnya. “Aku tidak percaya menjadi seperti ini dengan anak yang dulu sering menangis di sudut perpustakaan.” Lyn meringis saat Arsene mendekat, seraya dengan benda asing yang memasuki tubuhnya. “Engghh, Ars, Kak jangan langsung semua…” Protes Lyn yang sempat dibuat terkejut. Panggilan Lyn padanya masih tidak bisa konsisten, ia memanggil Arsene sesukanya di setiap situasi yang berbeda. “Malam ini, jangan terlambat lagi. Mengerti?” Arsene tidak memperdulikan, menyentuh punggung Lyn dan mendorongnya hingga menempel di meja. “Iyaa, aku mengerti.” Hubungan terlarang ini, tidak bisa dihentikan….
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN