Chapter 3 | Adik Kecil Yang Berselingkuh
Bagi Arsene, Lyn adalah gadis kecil yang membosankan. Lyn bertemu pertama kali dengan Arsene saat usianya dua belas tahun. Kala itu Arsene sudah berusia 20 tahun, ia baru saja lulus kuliah dan tengah menempuh pendidikan profesi. Ia lulus lebih cepat sehingga bisa mencapai jenjang itu di usia lebih muda.
Kematian sang ayah yang mendadak memang menyebabkan sedikit kegaduhan. Kala itu usia Arsene baru lima belas tahun. Aydin Pram Adams, sang ayah bisa dibilang menjadi otak dalam penelitian dan turut terlibat dalam bisnis keluarga. Kepergiannya membuat usaha keluarga besar yang dikelolah oleh kakaknya, paman dari Arsene sempat mengalami kemunduran. Investasi dari Anne Zerina dan kerjasama yang terjalin membuat kejayaan itu bertahan.
Arsene bisa melanjutkan hidupnya dengan tenang tanpa kekurangan.
Meski sebenarnya, walau keluarga ayahnya bangkrut sekalipun, kekayaan keluarga ibunya lebih dari cukup untuk hidupnya.
Arsene tidak akan terguncang dengan masalah finansial.
Sayangnya, satu tahun setelahnya, tepatnya saat ia berusia enam belas tahun, sang ibu yang sempat berselisih dalam beberapa kasus hukum harus masuk ke dalam penjara sebelum mendapatkan pembebasan atas putusan tidak bersalah. Ia kemudian pergi dan menjadi relawan di zona perang. Ia belum kembali sejak saat itu, Arsene hanya tahu bahwa ia masih hidup, tidak lebih.
Arsene menjadi kepala keluarga sejak saat itu.
Tinggal di rumah besar itu dengan adik kecil pemberontaknya.
Adik yang muncul secara tiba-tiba. Tidak ada rasa kasih, Arsene membiarkannya tinggal karena gadis itu memiliki darah Adams didalamnya. Rasa tanggung jawab sebagai kepala keluarga yang membuat Arsene menjaga gadis itu.
Ia mengalami depresi setelah kematian ayah dan ibunya.
Hidup dengan seenaknya dan bertingkah menjengkelkan.
Secara tiba-tiba sikapnya berubah, katanya karena seorang teman.
Lalu temannya itu tiba-tiba jatuh sakit dan menghilang…
Sebelum akhirnya kembali muncul setelah beberapa tahun.
“Kak Arsene?” Dia menatap keheranan. Buru-buru melihat nomer kelas dan melihat nama dosen dari kelas yang dimasukinya dari jadwal di ponsel. Tampaknya jadwalnya di atur orang lain, ia bahkan tidak menyadari bahwa kelas yang diikutinya dipimpin oleh siapa.
Menunjukan secara jelas, ketidak tertarikannya pada pendidikan yang tengah dirinya tempuh.
Pertemuan di depan pintu kelas.
Pertemuan biasa…
Tidak ada yang spesial…
Namun…
Caranya memandang Arsene berbeda, retinanya terus memandang bola mata Arsene. Dengan cara yang aneh, seperti perpaduan rasa tidak nyaman dan hal aneh yang sering manusia katakan sebagai rasa rindu.
Jelas, perasaan itu tidak tertuju pada Arsene.
Arsene tidak tahu pasti, ia hanya mengetahuinya saja.
“Masuk” Arsene mengatakan hal itu lantaran Lyn menghalangi jalan. Arsene memperhatikan tingginya, dulu ia hanya sepinggang Arsene, kini tingginya hampir sedada. Kulitnya sangat cerah, sejak dulu dia memang tidak bisa melakukan aktivitas fisik berlebih karena kondisi fisiknya yang lemah.
Dan wajahnya…
‘Cantik…’
Pikir Arsene saat melihat wajah kebingungan itu. Ia langsung menyingkir begitu tersadar. “Ma-maaf” buru-buru masuk sambil duduk di sembarangan kursi yang tersedia.
Anak yang dulu terlihat begitu kecil dan rapuh. Ringkih dengan tubuh sakit-sakitannya dan mata bengkaknya kini menjadi gadis dewasa.
Ia cukup menarik perhatian…
Fisiknya demikian…
Beberapa mahasiswa sering kedapatan curi pandang ke arahnya.
Gadis cantik, tuan putri dari keluarga kaya yang cerdas dan memikat.
Mungkin itulah kesan awal mereka padanya.
Arsene jadi semakin sering bertemu dengannya, hal itu dikarenakan ia yang sudah dipastikan menjadi menantu Nararya. Pembicaraan pertunangan sudah ada sejak ia menempuh pendidikan spesialisnya.
“Aku dengar Lyn juga sempat tinggal di luar negeri, kalau boleh tahu, dimana tepatnya?” Dia jelas merasa bosan karena terjebak dalam pertemuan komunitas ini. Dalam berbagai pertemuan, si putri kedua yang kehadirannya kerap kali tidak terlihat akan menyelinap pergi lebih awal dan menghilang dari pandangan.
Beberapa kali Arsene memergokinya yang berjalan pergi dari pertemuan atau acara yang dihadirinya.
“Dia melakukan pemulihan di berbagai tempat. Tapi Lyn paling suka berada di Swiss, kau bilang pemandangan dan galeri seni di sana sangat indah kan? Lyn pernah belajar seni sebentar, karena itu gambarnya sangat detail dan rapi. Meski begitu dia menyadari tidak begitu berbakat dan berhenti, karena bagaimanapun juga seorang Nararya akan selalu kembali ke jalurnya kan.” Ayn menjawab. Si pewaris yang menjadi pusat perhatian.
Tentu saja…
Karena rumor itu sudah menyebar luas.
Arsene sempat vakum mengajar, dan begitu kembali mengajar sudah berada di pertengahan semester pendidikan S1 Lyn. Ia mendengar rumor dan membuktikan sendiri kebenaran rumor itu.
Pisau cantik yang tumpul, kegagalan pertama Nararya.
Label itulah yang disematkan pada sang putri kedua.
Dia mendapatkan nilai tertinggi dalam teori, namun dalam praktik dia berada di urutan terbawah.
Lyn, pisau cantik tumpul dari Nararya.
“Apa-apaan ini? Jika dia bukan seorang Nararya mungkin sudah dikeluarkan kan? Apa nilai teorinya benar-benar hasil darinya sendiri?” Kesan awal semua orang akan berubah setiap ujian praktik dilakukan.
Gadis cantik, tuan putri dari keluarga kaya yang cerdas dan memikat.
Menjadi, pisau cantik tumpul yang mengganggu pandangan mata.
Mereka kesal karena dia terus mendapatkan nilai tertinggi saat ujian teori, mereka kesal karena tidak bisa melampaui nilai teori dari gadis yang bahkan tangannya selalu bergetar dan berlari keluar ruangan untuk muntah saat ujian praktik.
Mereka mulai menjatuhkan…
Menjelekan…
Menghina…
Menginjak orang yang berada di posisi atas bukanlah hal yang biasa. Saat ada seseorang yang memiliki kedudukan lebih tinggi yang terlihat rendah, manusia tidak akan ragu menyampaikan antusiasme mereka.
Berdemo bagai mengomandakan aspirasi yang sama sekali tidak diminta.
Tertawa begitu cerah, seolah semua kesulitan si putri kedua adalah hiburan murah drama jalanan.
“Tuan Putri, apakah Anda membawa kantong kresek Anda hari ini.” Mereka menyambut saat Lyn datang ke ruang ujian praktik. Gadis itu tetap menuju tempatnya, mengabaikan suara tawa yang terdengar.
Raut wajahnya tidak berubah, ia sudah terbiasa dengan situasi seperti ini.
“Pengurangan 30 poin. Moralitas hina kalian tidak diterima dalam kelasku.” Arsene bertindak demikian bukan demi Lyn, ia hanya tidak suka saat orang lain bertindak seenaknya saat berada di wilayahnya.
Tidak ada yang memprotes.
Mereka tahu bahwa memprotes hanya akan mencari masalah baru.
Seseorang yang akan memegang banyak kendali dimasa mendatang seperti Arsene bukanlah orang yang ingin mereka usik. Dunia kesehatan adalah komunitas kecil, mencari perkara dengan orang yang memiliki kuasa hanya menanam benih untuk kesengsaraan masa depan.
Lyn terlahir di keluarga yang memegang kuasa.
Namun mereka sadar…
Apa yang bisa dilakukan oleh putri kedua yang terbuang?
Terlebih selama ini, Lyn tidak pernah menanggapi dan mengabaikan semua cemoohan yang diterimanya. Bahkan meski raut wajah kusut itu terlihat jelas, ia tidak membalas maupun menjawab sedikitpun hinaan yang diterimanya.
Lyn, selalu seperti itu.
Tuan putri tanpa mahkota.
Gadis yang hanya akan berguna di pasar pernikahan.
Seperti itulah kehidupan si putri kedua…
***
“Berkencan lagi…” Ayn mengeluh saat memasuki mobil, keduanya memang wajib menghabiskan waktu bersama saat akhir pekan setelah resmi bertunangan. Mereka baru saja sarapan bersama, dan akan melanjutkan kegiatan.
Meski enggan, keduanya terpaksa melakukan kegiatan monoton dengan pergi sarapan, berjalan di taman, pergi makan siang bersama, dan menonton theatre, pentas seni atau pergi ke galeri seni dan museum sebelum pulang dan mengakhiri sesi kencan.
“Itu adikku kan?” Ayn menajamkan pandangannya saat melihat Lyn yang turun dari taxi dan melambaikan tangannya pada seorang pria yang juga menatap ke arahnya.
Ayn tertawa kecil melihatnya.
“Adik kecilku bisa tersenyum seperti itu?” Wanita itu bertopang dagu sambil menurunkan kaca mobil dan memperhatikan kedua anak muda yang langsung saling memeluk saat saling menghampiri.
Pria dengan surai kemerahan itu mengangkat sedikit tubuh Lyn saat memeluknya. Keduanya tertawa kecil dan berjalan bergandengan menuju sepeda motor yang dikendarainya.
Pria itu memasangkan Lyn helm pelindung dan memakaikannya jaket tebal sebelum keduanya pergi dengan mengendarai sepeda motor.
“Lucu, memergoki adikku yang berselingkuh dari tunangannya.” Ayn tertawa sambil menarik nafas dalam.
“Pertunangan mereka belum resmi, tidak bisa disebut sebagai perselingkuhan kan.” Komentar Arsene sambil ikut memperhatikan sepeda motor yang semakin menjauh dari pandangan.
“Itu artinya jika kau bersama wanita lain, atau aku bersama pria lain, selama kita belum resmi bertunangan hal itu bukanlah perselingkuhan?” Ayn memastikan.
“Ya.” Arsene menjawab tanpa keraguan.
“Jangan katakan itu di depan orang lain, mereka bisa bergunjing tentang hubungan kita. Padahal hubungan ini cukup normal”
“Ya.” Arsene kembali menjawab.
“Ahh, dibandingkan melakukan kegiatan monoton yang membosankan, bagaimana kalau kita ikuti gaya berpacaran anak muda? Ayo pergi, mereka sudah berkendara menjauh.”
“Mengikuti mereka?” Arsene memastikan.
“Ini akan menyenangkan, ayo jalankan mobilnya. Kita lihat, seperti apa cara anak kecil berpacaran. Bukankah kita berdua sama-sama terjebak di keluarga yang penuh tuntutan sejak usia muda? Kau tidak penasaran? Seperti apa seharusnya anak muda menjalani hidup?”
Jika anak muda lain, Arsene tidak penasaran.
Namun Anehnya, Arsene merasa penasaran pada anak itu. Terlebih saat melihat senyumannya tadi, senyuman mengusik yang membuat rasa tidak nyaman timbul.
“Baiklah…”