Setelah cukup puas menenangkan diri bersama Saga sampai senja mulai menyambut malam, Venus memutuskan untuk kembali ke rumah walau hati malah semakin tak karuan. Langkah kakinya terasa begitu berat, bagai membeku di tengah semilir angin malam yang dingin, membawa beban yang tak terlupakan.
Sampai akhirnya, ia berhasil menguatkan hati untuk menarik handle pintu rumah–yang entah kenapa suasananya tiba-tiba terasa begitu hening dari biasanya. Padahal ia tahu, Aji sudah sampa di rumah lebih dulu, jika dilihat dari mobil yang terparkir di halaman rumah
Dan benar saja. Setelah berjalan melewati ruang tamu, kini sosok Aji pun terlihat sedang duduk di atas sofa tengah rumah dengan tatapan yang mencerminkan penuh kebimbangan. Namun hal itu malah membuat Venus semakin sakit hati.
“Sayang, kita perlu bicara!” ucap Aji dengan tidak tahu malu.
Venus yang semula hendak berjalan masuk ke kamar seketika menghentikan langkahnya. “Panggil aku Venus! Aku jijik mendengar panggilan itu keluar dari mulutmu, Aji!”
Pria itu tersentak mendengar jawaban istrinya. “Ve-Venus ....”
Dengan meyakinkan diri untuk semakin menguatkan tekad, Venus menoleh, menghadap suaminya dalma jarak yang cukup jauh. “Apa lagi yang mau kamu bicarakan? Semuanya bahkan udah jelas di mata aku!” Wanita itu menjawab pertanyaan sebelumnya.
Aji mencoba mendekat dengan melangkah maju beberapa langkah. Namun sayangnya, Venus malah berjalan mundur beberapa langkah, hingga jarak keduanya semakin jauh. “Jangan mendekat! Atau aku benar-benar angkat kaki dari rumah ini sekarang juga!”
Mendengar ancaman Venus ... Dengan perasaan takut, pria itu seketika mengangkat kedua tangannya, menandakan dia menyerah dan akan mengikuti semua permintaan Venus. “Oke, aku akan bicara dari sini,” kata Aji.
Venus bersidekap di tempatnya, memperlihatkan wajah angkuh penuh kebencian. “Silakan!”
“Maaf. Aku benar-benar minta maaf untuk semuanya. Aku juga minta maaf karena udah buat kamu terluka.”
“Maaf ... Semudah itu kamu bilang maaf setelah menghancurkan semuanya? Ha! Yang bener aja kamu!”
Aji mencoba menjelaskan. “Oke, aku tahu ini kesalahan besar, dan bahkan menjadi kesalahan paling fatal dalam hubungan rumah tangga. Tapi, Ven, bisakah kamu mendengarkan penjelasanku sebentar?”
“Penjelasan? Apa lagi yang mau kamu jelasin? Semuanya udah jelas! Bahkan sangat jelas, jika kamu merayu cewek murahan seperti Manda di belakangku! Lalu, pembelaan seperti apa yang akan kamu berikan” Venus meledak dengan kata-kata pedas, sampai-sampai ia tak segan lagi menunjuk wajah Aji.
Pria itu sempat tertegun beberapa detik, sebelum akhirnya menjawab, “aku sayang sama kamu, Venus! Aku cinta sama kamu. Jadi aku mohon, jangan bersikap seperti ini.”
Venus hanya tertawa sinis. Bisa-bisanya Aji masih berkata demikian setelah ketahuan tingkah busuknya. “Cinta? Sayang? Ha! Apa arti cinta yang kamu maksud? Apa arti sayang yang kamu maksud? Merayu wanita lain di belakang istrimu? Iya? Dasar gila!
“Ven–“
“Kalau kamu bener-bener sayang dan cinta sama aku, seharusnya kamu bisa menjaga hati dan pandangan mata kamu dari wanita lain! Bukan malah menyakiti hati aku dan merusak rumah tangga yang udah mati-matian kita bangun bersama! Kamu–“
Belum sempat Venus melanjutkan perkataannya, Aji sudah lebih dulu memotong dengan nada tinggi. “Aku mencintai kamu, dan aku pun mencintai Manda! Apalagi sekarang posisinya Manda sedang mengandung darah daging aku, calon adik untuk Una. Aku gak bisa lepasin kalian berdua. Tapi, aku pun tahu, aku gak bisa memiliki kalian secara bersamaan. Jadi aku mohon, beri aku waktu untuk berpikir dan memutuskan! Aku perlu–“
Plak!
Satu tamparan yang begitu keras tiba-tiba mendarat tepat di atas pipi kiri Aji hingga mulut pria itu tertutup rapat dalam sekejap merasakan perih dan panas yang menjalar. Matanya memerah, kepala berdenyut nyeri, sampai jantungnya berdetak lebih cepat.
Ya, untuk pertama kalinya Venus melakukan hal ini setelah hampir sepuluh tahun kebersamaannya dengan Aji. Emosinya sudah tak dapat ia tahan lagi, apalagi setelah mendengar pengakuan dari pria di hadapannya itu.
“Dasar pria b******k!!! Menjijikan! Rendahan!” umpatnya begitu jelas, penuh penekanan, juga kekecewaan.
Melihat itu, Aji pun berjalan mendekat hendak memeluk tubuh istrinya yang bergetar karena diluputi emosi. Namun Venus menolak dan segera berjalan mundur untuk menjauh, lalu melemparkan cincin pernikahan yang tiba-tiba ia lepaskan dari jari manis tangan kanannya, tepat ke atas d**a bidang sang suami. “Aku bener-bener muak melihat wajah munafikmu!”
“Venus ....”
Dengan suara bergetar dan mata yang mulai memanas, Venus pun berkata, “aku akan mengurus surat perceraian kita! Sampai nanti semua urusan di antara kita selesai, jangan pernah datang untuk menemuiku ataupun Una!”
Di sisi lain, tanpa mereka sadari, seorang anak kecil berpiyama merah muda, yang sedang bersembunyi di belakang pintu kamar, nyatanya ikut mendengarkan perdebatan Venus dan Aji setelah kedua mata kecilnya yang polos tanpa sengaja menyaksikan detail pertengkaran antara ibu dan sang ayah. Jantung mungilnya berdetak semakin cepat, kala teriakan demi teriakan terus meluap-luap menyusuli emosi yang tak dapat tertahan, hingga ia tak mampu lagi menyembunyikan kebingungan dan kekhawatiran di dalam hatinya. Padahal, niat awalnya keluar dari kamar adalah untuk menyambut kedatangan sang ibu yang sebelumnya sudah berjanji akan mengajaknya pergi berbelanja kebutuhan bulanan. Namun sayangnya, anak kecil itu malah mendapatkan pertunjukan yang tidak seharusnya ia lihat dan ia dengar.
Sementara Venus–sambil menahan air mata–terus melangkah menjauh, meninggalkan Aji yang tengah berdiri sendirian dengan penuh kebimbangan. Raut wajah wanita itu mencerminkan kemantapan diri dalam keputusan yang telah diambil, meskipun hatinya harus semakin dipenuhi oleh luka. Dia tidak ingin putri semata wayangnya melihat lebih banyak kehancuran dalam rumah tangga ini, ataupun kebohongan-kebohongan yang begitu menyesakkan d**a.
Hingga langkah kaki itu tiba-tiba berhenti, dan menatap pintu kamar putrinya yang nampak terbuka beberapa senti. Perasaan Venus seketika berkecamuk, memikirkan kemungkinan terburuk tentang Neptuna. Sampai akhirnya Venus pun kembali melanjutkan melangkah, dan masuk ke dalam kamar tersebut untuk melihat keadaan putri kesayangannya itu.
Tersenyum, kemudian berjalan menghampiri Neptuna, dan duduk di samping anak perempuan yang sedang memeluk boneka kesayangannya di samping meja belajar. “Una sayang, kan, sama Mama?” tanyanya.
Gadis kecil itu hanya bisa mengangguk, tidak sepenuhnya memahami, namun merasakan bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi. Apalagi saat melihat mata sembab sang ibu yang masih dipenuhi sisa-sisa air mata. “Ya, Ma.”
Lagi-lagi Venus tersenyum. “Sekarang, Una bantu Mama beresin semua barang-barang Una, ya? Masukkan semua pakaian di lemari ke dalam koper Una, juga barang-barang Una yang mau Una bawa. Dan Mama beresin barang-barang Mama, juga pakaian Mama.”
Neptuna terdiam, menatap pada ibunya. “Kita mau ke mana, Ma?”
“Ke rumah Nenek.”
“Kenapa malam-malam begini? Apa Papa ikut?”
Kini giliran Venus yang terdiam, berusaha merangkai kata yang tepat sebelum disampaikan kepada Neptuna. “Enggak, Sayang. Papa gak ikut. Hanya kita berdua.”
“Kenapa?”
“Karena ada hal-hal yang perlu Mama dan Papa pikirkan. Jadi, kita akan tinggal bersama Nenek untuk sementara waktu, oke?” Venus mencoba memberikan jawaban semampunya tanpa menyakiti perasaan Neptuna.
Namun, belum sempat gadis kecil itu menjawab, Venus sudah lebih dulu membuang muka ke sisi kiri ketika air matanya tiba-tiba menetes di atas wajah, hingga membuat Neptuna berhambur untuk memeluk tubuh sang ibu yang bergetar, hingga lambat laun isak tangis Venus mulai terdengar, kala belaian lembut dari tangan mungil putrinya mengusap punggung perlahan-lahan.
“Mama jangan nangis, Mama gak boleh sedih lagi. Una ada di sini. Una sayang Mama.”
***