Setelah membawa Venus keluar dari keramaian, dan berada cukup jauh dari area kafe, pria itu pun mulai melepaskan pergelangan tangan Venus dengan perlahan, membiarkan wanita berambut panjang di sampingnya memperlambat langkahnya, hingga menciptakan ruang hening di antara mereka.
“Kalau lu udah lebih tenang, kita duduk di taman sana, ya? Kaki gue pegel,” ujar pria itu, sembari menunjuk sebuah taman kota yang berjarak empat puluh meter dari posisinya.
Venus mengangkat kepala, sembari menghapus sisa air mata di wajah. “Kamu gak ada niatan beliin aku es krim gitu, Ga, biar mood aku baikan?”
Pria itu menoleh ke sisi kiri dan kanan, lalu kembali menatap Venus. “Di sini banyak orang, jadi, tunggu di sini! Jangan ke mana-mana!”
“Kenapa memangnya kalau banyak orang?” tanya Venus.
“Orang yang lagi kecewa dan sedih, rawan didatengin setan,” jawabnya sembari melangkah pergi menjauh dari Venus.
Wanita itu hanya memandangi punggung sahabatnya yang semakin lama semakin menjauh, sampai ia tak sadar air matanya kembali bercucuran di atas wajah tanpa permisi.
Berat. Semua benar-benar begitu berat untuk Venus jalani. Rasa sedih, rasa kecewa, rasa sakit ... Seolah-olah begitu mendominasi dalam diri atas pengkhianatan yang terjadi. Wanita itu terus meraung dalam hati, meratapi segala yang terjadi.
Mengapa dia yang selalu kuanggap adalah obat, nyatanya malah menjadi pemberi luka paling hebat? Mengapa dia yang begitu aku cintai, nyatanya malah menjadi pembuat sakit yang tak tertandingi? Lantas jika sudah begini, keputusan seperti apa yang harus aku ambil?
Venus kembali termenung, dengan kepala yang terus berdenyut nyeri. Sampai-sampai ia tak sadar, bahwa Saga sudah berdiri di hadapannya membawa dua es krim cone rasa vanilla dan coklat di tangan.
“Kenapa nangis? Sesayang itu lu sama tuh larva jantan?” tanya Saga bernada ketus. Namun, tersirat begitu jelas raut kepedulian di wajahnya.
“Untuk kesekian kalinya hati aku dibikin sakit, Ga. Apalagi lihat dia sebahagia itu di samping Manda, ketimbang aku,” jawab Venus di sela isak tangisnya.
“Bahagia karena cewek murahan gak bakalan bertahan lama, dan hal itu bukan suatu prestasi yang bisa dibanggain. Gue udah ngalamin itu.”
“Tapi bagi Mas Aji, Manda adalah bahagianya, sekalipun dia bukan wanita baik-baik,” balas Venus lirih.
“Ninggalin berlian demi si batu empedu? Bodoh itu namanya!”
Venus mendengkus tipis, teringat kejadian beberapa tahun lalu.
“Takdir percintaan aku gini banget, sih!” gerutu Venus pelan, seakan ia tak peduli pada ocehan Saga.
Pria itu menghela napas dalam. “Allah menempatkan lu di tempat yang sekarang itu, bukan semata-mata tanpa alasan. Bukan juga sebuah kebetulan, atau hal yang gak direncanain. Tapi, Allah itu udah nentuin jalan mana yang terbaik buat lu, sekalipun harus melewati jalan terjal kaya gini. Kita gak pernah tahu, kan, kejutan indah seperti apa yang menanti di depan sana? Allah tuh Cuma lagi melatih, lu bisa kuat dan sehebat dulu, gak?”
Venus hanya bisa bungkam sembari menganggukkan kepala. Masih begitu terbayang dengan jelas kejadian di kafe tadi yang membuat hatinya amat sangat terluka seperti ini, dan untuk kedua kalinya ia merasakan hal yang sama dari orang yang sama pula.
Apa alur kehidupannya selelucon ini? Sampai-sampai, begitu mudah dipermainkan oleh orang lain, padahal ia sudah berusaha menjadi sesabar yang dia bisa, sudah berusaha menjadi sekuat yang Venus mampu, dan sudah berusaha memberi pengertian melebihi kemampuan sendiri.
Tetapi, mengapa di mata Aji seperti tak pernah terlihat? Masih saja orang lain yang jauh lebih sempurna, meski sudah se-effort itu untuk memberikan yang terbaik.
Lantas, jalan takdir mana yang harus Venus pilih?
Sabar ... Atau sadar?
Sembari kembali menghapus sisa air mata di wajahnya, Venus menghela napas dalam, mencoba meluruhkan beban dan luka yang menggelayuti dalam diri.
Menyadari hal itu, Saga malah mengulas senyuman hangat sambil memberikan satu es krim di tangan kanan kepada Venus. “Nangis gak bakalan bisa ngubah takdir apapun. Jadi, jangan pernah melakukan hal yang sia-sia cuma karena si larva jantan dan ulat betina kegatelan itu.”
Venus meraih es krim dari tangan Saga kemudian mendelik tipis. “Gak usah ngejek! Gatel-gatel juga, kan, dia mantan istri kamu,” sindirnya.
Pria itu mulai menjilati es krim miliknya sembari berjalan menghampiri Venus, dan mengacak puncak kepala sahabatnya itu dengan lembut. Penuh perhatian, penuh kasih sayang. “Sekarang udah tahu, kan, alasan gue cere-in dia? Dengan kejadian ini, seenggaknya gue jadi gak perlu lagi ceritain hal apapun sama lu, karena lu bahkan bisa menilainya sendiri.”
“Ya ... Kamu bener, Ga. Semuanya bahkan terbuka dengan sendirinya, sampai bahagiaku pun berhasil dia rebut.”
Saga memandang Venus dengan serius. “Jangan biarin kebahagiaan lu tergantung pada orang lain. Lu punya hak untuk bahagiain diri sendiri, juga Una. Dan, percayalah, kebahagiaan sejati gak akan datang dari orang yang gak pernah menghargai pengorbanan kita.”
Venus sempat merenungkan kata-kata Saga, hingga hening menyelimuti mereka sejenak, sebelum akhirnya mengangguk pelan. “Sejak kapan kamu tahu, kalau mantan istri kamu itu selingkuhan Mas Aji?”
“Sejak di taman belakang sekola tadi,” jawabnya enteng, sambil berjalan hendak menuju kursi taman di bawah pohon beringin.
Venus yang juga berjalan mengikuti Saga seketika mengerutkan dahi. “Tahunya dari mana?” tanyanya lagi.
“Dari isian chat suami kamu sama si emoticon cincin itu,” jawabnya begitu lugas.
“Kok bisa?”
“Sepuluh tahun gue berhubungan sama Manda. Masa gak nyadar hal-hal kecil yang biasa dia lakuin,” jawab Saga.
Venus segera menyusul dan menarik lengan Saga hingga sahabatnya itu menghentikan langkah kakinya, menoleh ke belakang sambil menggigit bagian cone es krim di tangan. “Hal kecil apa yang kamu sadarin?” tanya Venus penasaran.
“Jus strawberry.”
Wanita itu seketika terdiam untuk mengingat-ingat isi pesan antara Aji dan Manda. “Maksud kamu, jus strawberry tanpa gula yang dia mau di jam satu malam?”
Saga mengangguk. “Itu kebiasaannya dari kecil. Dia sering banget minta gue buatin setiap jam satu malam atau jam dua malam. Jadi, kalau dia kebangun dari tidur, atau mimpi buruk, wajib banget minum jus strawberry biar bisa tidur lagi.”
Venus terdiam sambil menatap wajah Saga lekat-lekat. “Jadi, dari situ kamu tahu?”
“Ya,” jawabnya.
“Terus, kenapa kamu bisa datang ke kafe tadi?”
“Feeling gue gak enak. Jadi, gue mutusin buat hubungin Moza untuk nanyain keberadaan lu. Dan ternyata bener, hal yang udah gue duga sebelumnya, bener-bener kejadian.”
Venus menghela napas. “Kejadiannya terlalu mendadak buat aku. Tapi ... Ya ... Mungkin, Tuhan ingin memperlihatkannya dari sekarang supaya aku bisa lebih ikhlas ngejalanin semua ini.”
Sesampainya di tempat yang dituju, Saga segera duduk dan menepuk sisi kosong di sampingnya. Memberi syarat kepada Venus untuk duduk. “Terus sekarang, apa yang mau lu lakuin setelah tahu semua ini?”
Sembari duduk di samping Saga, Venus menjawab, “aku gak tahu, Ga. Aku sendiri cukup bingung untuk memutuskan.”
“Pilihan lu saat ini cuma 2.” Saga yang semula menatap lurus ke depan, tiba-tiba beralih memandang wajah Venus lekat-lekat. Begitu serius dengan sorot mata penuh rasa penasaran. “Bertahan dalam pernikahan dan menerima Manda sebagai istri kedua suami lu, atau mundur dan membuka lembaran kehidupan baru bareng Una tanpa adanya suami lu.” Lanjutnya.
Lagi-lagi Venus terdiam mencerna perkataan Saga. Merenung sejenak, untuk memikirkan opsi yang ada. Sampai akhirnya ia berkata lirih, “aku cuma mau Una bahagia, Ga.”
“Gak hanya Una. Tapi, lu juga mesti bahagia, Ven. Kalau lu bahagia, jelas Una pun akan bahagia,” sanggah Saga.
Venus menatap Saga dengan ekspresi campur aduk. “Walaupun nantinya dia tumbuh tanpa sosok Ayahnya?”
Saga mengangguk. “Awalnya pasti berat, tapi gue yakin lu mampu memberikan yang terbaik untuk Una, sekalipun lu memilih jalan baru tanpa adanya Aji dalam kehidupan kalian,” sahutnya.
“Ga ....”
“Lu harus melibatkan perasaan Una dalam mengambil keputusan besar ini. Karena bagaimana pun, masa depan Unalah yang menjadi korban sesungguhnya dari keegoisan Aji.”
***