Bab 5: Gara-Gara Sambal Terasi

1240 Kata
“Bapak sedang demam?” tanya Ruby pada Willy yang wajahnya masih terlihat memerah karena sepanjang perjalanan ke kantor, Willy teringat bagaimana Anna memperlakukannya dengan sangat hormat seperti seorang istri kepada suaminya, mencium punggung tangan sang suami saat suaminya akan berangkat kerja. “Nggak, kamu tahu gak siapa pecentus pertama kali adat istiadat cium tangan?” tanya Willy aneh pada Ruby, sang sekretaris yang menatapnya bingung dan tak mengerti apa maksud ucapan Willy barusan. “Pecentus adat istiadat cium tangan?” “Iya, di Indonesia ini kan umumnya seorang istri mencium tangan suaminya sebelum berangkat kerja dan saat suaminya pulang kerja, sang istri juga menyambutnya dengan mencium punggung tangannya, kan?” tanya Willy dan Ruby mengangguk saja, “itu kamu tahu gak siapa pecentus ide itu?” tanya Willy yang sangat aneh. “Tentunya nenek moyang kita, pak,” jawab Ruby yang membuat Willy menatapnya dengan melongo dan mengangguk kemudian. Ini bos makin hari kenapa makin aneh sih pertanyaannya? Setelah memberi tahu Willy apa saja jadwalnya hari ini dan meminta Willy menandatangani dokumen yang ia bawa, Ruby pamit keluar ruangannya. Wajah Anna yang tersenyum sangat cantik saat mengajak Laura berbicara kembali melambai di benaknya. Aku pasti sudah gila. Willy berusaha bekerja keras untuk mengalihkan perhatiannya dari bayangan-bayangan Anna yang berseliweran di otaknya. Saking berusaha fokus sekali dalam pekerjaannya, ia sampai mengabaikan jam makan siangnya hari itu, padahal tadi pagi ia makan sedikit saja dan semalam tak makan malam juga. Usai bekerja, Willy lantas pulang ke rumah dan kaget saat Anna dan Laura sudah menunggunya di teras rumah seperti seorang istri yang menunggu suaminya pulang kerja. Tenang, Willy, Anna hanya menjalankan perannya sebagai pengasuh yang baik untuk Laura. Willy turun dari mobil dan disambut hangat oleh Anna dan Laura yang melambai ke arahnya. Willy berusaha berjalan seperti biasanya dan saat sampai di hadapan keduanya, Anna kembali menginteruksi kepada Laura untuk salim kepada Willy. “Ayo sayang, salim dulu ke papa,” kata Anna tanpa ia memperagakannya lebih dulu di hadapan Laura. Laura hanya diam saja, menoleh bergantian ke arah Anna dan papanya seraya menatap keduanya dengan tatapan polos sekali. “Ayo, nak,” kata Anna membujuknya. “Dia menunggu kamu melakukannya dulu,” kata Willy akhirnya. Sebenarnya Willy yang berharap Anna kembali mencium punggung tangannya, entah mengapa, rasanya ia sangat senang saja kala Anna melakukannya padanya. Anna menatap ke arah Laura yang balik memandangnya, sebenarnya Anna merasa canggung karena tadi pagi setelah Willy berangkat bekerja, Anna langsung disambut dengan wajah malu-malu para asisten rumah tangga yang lainnya saat ia memasuki rumah bersama Laura. “Bapak sepertinya salah tingkah sama non Laura,” kata salah satu asisten rumah tangga Willy saat Anna sarapan tadi pagi. “Salah tingkah kenapa?” tanya Anna tak paham. “Ya salah tingkah sampai gak sadar kalau mau diantar pak Supri ke kantor seperti biasanya, malah jalan kaki,” kata asisten rumah tangga itu pada Laura yang hanya menanggapinya dengan senyum tipis dan tak peduli. “Ayo, Anna,” kata Willy tak sabar. Anna melihat ke kanan dan kiri, memastikan tak ada orang yang melihat tingkahnya. Kemudian dengan cepat Anna mencium punggung tangan Willy di hadapan Laura yang kemudian tersenyum melihat tingkah Anna dan papanya itu. “Ayo sekarang giliran Laura, ya,” kata Willy yang lebih percaya diri sekarang ini. Willy mengulurkan tangannya lebih dulu di hadapan sang putri yang menyambutnya dan mencium punggung tangannya. Hati Willy merasa sejuk diperlakukan seperti itu oleh sang putri. Anna kemudian buru-buru membawa Laura masuk ke dalam rumah. “Laura, kamu katanya pintar masak ikan asin, sambal terasi dan lalapan? Tolong buatkan saya makanan yang katanya Toni bisa menghabiskan tiga piring nasi itu,” kata Willy yang membuat Anna tertegun kaget. “Bapak suka ikan asin?” tanya Anna. “Saya gak pernah makan, makanya penasaran, gimana bisa ikan asin bisa membuat kita makan sampai tiga piring nasi?” tanya Willy heran. Anna mengangguk saja. “Saya cek ke dapur dulu ya, pak,” kata Anna dan Willy mengangguk lalu berjalan menuju kamarnya yang ada di lantai dua rumahnya. Kalau kamar Laura memang berada di bawah agar Anna tidak lelah naik turun tangga saat mengasuh Laura. Anna gegas menuju dapur dan bertanya pada asisten rumah tangganya soal ikan asin dan terasi. “Ikan asin dan terasi? Bapak gak pernah makan seperti itu, non, dia kan besar di luar negeri jadi makannya yang kebanyakan yang kayak saya masak biasanya. Pagi sarapan roti bakar atau bubur ayam, kalau siang dan malam jarang makan di rumah. “Iya,” jawab Anna meyakinkan asisten rumah tangga Willy. “Kalau ikan asin dan terasi saya punya di kamar, tapi kalau di sini ya gak ada,” kata asisten tersebut kepada Laura yang mengangguk paham. “Minta punya bibi saja, ya,” kata Anna dan bibi mengangguk seraya pamit mengambilkan ikan asin dan terasi di kamarnya. Anna lantas menerima ikan asin itu, mencucinya sampai bersih dan lantas menggorengnya kemudian. “Memang bapak berapa tahun di luar negeri, bi?” tanya Anna. “Katanya sih dari kecil, terus pulang dan tinggal di rumah mewah ini karena menikah dengan bu Judith saja,” kata bibi menjelaskan. “Lalu apa mereka sudah resmi berpisah?” tanya Anna lagi dan bibi hanya mengangguk kecil. Merasa kasihan pada majikannya karena Judith tega meninggalkan majikannya dengan Laura yang masih bayi dan berusia sekitar tiga bulan. Anna tak lanjut bertanya saat melihat wajah asisten rumah tangga Willy yang terdiam itu, ia tahu ada sesuatu buruk yang terjadi sampai-sampai Willy berpisah dari istrinya. Anna fokus menyambal terasi lalu memenyet tempe dan memberikan ikan asin di samping tempe penyetannya. Tak lupa Anna juga memberikan sayur lalapan seperti kacang panjang, timun dan kubis di cobek tersebut. Tak berselang lama, Willy turun ke bawah karena perutnya sudah keroncongan minta diisi. Aroma ikan asin yang aneh dan terasi itu menggelitik hidungnya tapi ia masih bisa menerimanya. Willy duduk di meja makan dan dengan ragu-ragu Anna menyajikan cobek berisi sambal terasi dengan lauk pauknya serta nasi dalam piring dengan porsi besar. “Terlalu banyak nasinya, Anna, kurangi sampai tiga perempatnya,” perintah Willy dan Anna mematuhinya. Ia pikir mungkin Willy nanti juga tak akan bisa menerima ikan asin di cobek sambal tersebut. Willy mulai makan, ia sudah browsing soal ikan asin dan sambal terasi dan melihat beberapa creator memosting cara makan mereka saat menikmati ikan asin dan sambal terasi. “Uhuk! Uhuk!” Willy terbatuk-batuk karena rasa pedas yang menggugah lidahnya. Anna gegas mengambilkan air putih dan memberikannya pada Willy yang menerimanya. Tapi sayang, satu gelas air putih belum bisa menghilangkan rasa pedas di mulutnya. Willy menyuapkan nasi kembali ke mulutnya dan menikmati makan sambal dengan ikan asin dan tempe itu lagi, kali ini Willy makan dengan sedikit sambal. “Tambah lagi nasinya, Anna,” kata Willy yang menikmati sekali ikan asin yang dihidangkan oleh Anna itu. Anna tak menyangka sama sekali kalau Willy bisa menerima makanan sederhana itu, “Anna! Kamu gak dengar saya?” tanya Willy yang membuat Anna gegas mengambil piring kosong Willy dan merefilnya kembali. Willy tak hanya menghabiskan tiga piring nasi, tapi lima piring nasi karena ia tambah sebanyak empat kali. Willy merasa kenyang dan sangat puas menikmati masakan Anna, setelah itu ia pamit ke atas untuk tidur karena sudah mengantuk. Anna dan asistennya hanya mengangguk. Malam harinya, perut Willy yang semula kosong terkejut karena sambal yang dikonsumsinya, jadinya Willy tak bisa tidur dengan baik karena ia harus bolak balik dari kasur ke kamar mandi karena perutnya terus mulas sampai ia geram bukan main.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN