Seperti biasa, setiap pagi Willy akan sarapan di meja makan dan mengamati Laura yang ditemani oleh Anna sarapan juga. Dari hari ke hari, Laura makin pintar memegang makanan dan sendok dengan kedua tangannya, meski makannya masih berantakan, tapi berat badan Laura terus bertambah tiap bulan dan makanan yang disediakan oleh Anna selalu habis dimakan oleh Laura walau harus membutuhkan waktu lebih dari satu jam lamanya.
Willy akui kalau Anna sangat perhatian dan sabar dalam merawat Laura, bahkan mengajari anak bayinya itu untuk mandiri sejak kecil.
“Mama, mam …” panggil Laura seraya menunjuk kentang yang jatuh dan menatap dengan pandangan polos serta imutnya ke arah Anna yang terkejut dan terdiam karena Laura memanggilnya Mama. Tak hanya Anna saja yang terkejut mendengar kata pertama yang keluar dari Laura, melainkan juga Willy yang sedang mengamati mereka berdua.
“A-apa , sayang?” tanya Anna pada Laura yang menatapnya polos.
“Mam-a, mam,” panggil Laura lagi seraya masih menunjuk potongan kentang rebus yang ada di lantai.
“Ohh, gak papa, nak, kotor itu sudah,” kata Anna pada Laura yang kemudian melanjutkan makannya. Willy merasa cemburu karena bukan dirinya yang dipanggil pertama kali oleh sang anak, melainkan Anna yang hanya pengasuhnya saja.
Willy menyudahi makannya dan sisa makanannya masih sangat banyak sekali. Willy menghampiri Anna dan Laura yang sedang makan. Laura mendongak ke arah sang ayah.
“Pap-pa,” kata Willy mengajari Laura menyebut dirinya Papa. Laura hanya memandangnya tak mengerti lalu mengalihkan pandangannya ke arah Anna dengan tersenyum manis sembari memincingkan matanya dan Willy merasa sang buah hati sedang mengejeknya ke Anna.
“Laura, jangan mengejek Papa seperti itu, tidak baik,” kata Willy yang malah disambut gelak tawa oleh Laura. Anna hanya tersenyum kecil dan menunduk melihat tingkah lucu majikan dan anaknya.
“Ba-baaa,” sahut Laura tak jelas yang membuat Willy mengerutkan kening heran.
“Dia bilang apa?” tanya Willy pada Anna.
“Bahasa bayi, pak, saya juga gak paham,” kata Anna berbohong, jika Anna bilang kalau Laura baru saja mengatakan “babah,” bahasa ngokonya penduduk Malang yang berarti tidak peduli dengan orang lain atau ucapan oang lain padanya.
“Kenapa dia mau panggil kamu mama sedangkan saya yang ayah kandungnya tidak dia panggil papa?” protes Willy pada anak.
“Saya tidak tahu, pak. Itu murni naluri dari Laura saja,” kata Anna takut-takut, “saya tidak pernah membahasakan diri saya sebagai mama untuk Laura,” kata Anna lagi. Willy hanya memandang Anna tanpa mengatakan apapun padanya, ia mengalihkan pandangannya ke Laura dan mencium kening anaknya.
“Ajarin anak saya panggil saya papa,” perintah Willy dan Anna hanya mengangguk saja, “papa berangkat dulu ya, sayang,” ujar Willy dan Laura hanya diam saja lalu melanjutkan acara sarapannya.
Anna kemudian mengangkat tubuh Laura dan membawanya ke kamar mandi, ia membasuh kedua tangan mungil Laura dan gegas menyusul langkah kaki Willy ke depan.
“Laura, ayo salim sama papa dulu,” kata Anna pada Laura yang langkah kakinya sudah dekat dengan Willy, mendengar itu Willy menoleh ke arah Anna dan pengasuhnya di teras rumah. “ayo sayang, papa mau berangkat kerja, salim dulu, mana tangannya,” kata Anna. Laura hanya memandang Willy dan Anna bergantian dengan tatapan polos serta lucunya itu. Laura tak paham apa maksud Anna, ia malah memainkan kedua tangannya dan tertawa melihat tangannya sendiri.
“Kita harus praktek di depan Laura, pak,” kata Anna yang membuat Willy tak paham apa maksud ucapan dari pengasuh anaknya tersebut.
“Apa maksud kamu?” tanya Willy.
“Laura akan merespon jika saya memperagakannya,” kata Anna seraya mengulurkan tangan kanannya ke arah Willy yang terkejut melihatnya dan dadanya makin berdesir-desir melihat tingkah pola pengasuhnya itu. Belum pernah sama sekali Judith menghormatinya seperti itu sebelumnya, makanya Willy sekarang menjadi tertegun.
“Pak,” panggil Anna lagi sembari memberi kode bahwa Laura memperhatikan Anna yang tangannya terulur ke arah Willy. “Mau segera dipanggil papa, kan?” tanya Anna lagi. Willy kemudian mengulurkan tangannya dan Anna menciumnya yang diamati oleh Laura. Saat Anna mencium punggung tangan Willy, hati Willy terasa carut marut tak karuan, dia terdiam dan hanya memerhatikan senyum cantik Anna di matanya yang terasa bergerak melambat. Dunia di sekitar Willy seolah tak ada, hanya ada dirinya, Anna dan Laura yang memerhatikan bagaimana Anna berbicara padanya.
“Nah, sekarang gentian sama Laura, ya,” ajak Anna pada Laura yang diam saja, “salim dulu sama papa sebelum papa berangkat kerja,” kata Anna menginteruksi Laura. Laura memandang Willy dengan wajah polosnya untuk sekian lama ketika Anna menunjuk Willy. Cukup lama Willy menunggu Laura dengan d**a berdebar-debar dan perasaan tak menentunya sampai akhirnya Laura mungil yang pintar menangkap sesuatu dan cepat belajar itu, mengulurkan tangannya pada Willy yang membuat Willy terperangah dan memandang takjub ke arah putrinya yang belum genap berusia setahun tersebut. Willy sampai tak bisa berkata apa-apa saat Laura mengulurkan tangan mungilnya dan Willy menjabatnya serta membantu Laura mencium punggung tangannya.
Anna tersenyum melihat kejadian manis itu.
“Anak pintar,” kata Anna memuji Laura yang tersenyum saja. “Hati-hati di jalan, pak,” kata Anna pada Willy yang hanya mengangguk dan mulai canggung di hadapan Anna yang tersenyum sangat cantik di hadapannya. Hati Willy terus berdebar-debar tak karuan dan menentu, ia tak mengerti ada apa dengan dirinya sekarang ini.
Tanpa menjawab ucapan Anna, Willy berlalu dari hadapan Anna dan Laura begitu saja sebelum Anna tahu bahwa mungkin saat ini wajahnya telah merah padam karena merasa malu bukan main.
“Daag daag, Papa,” kata Anna pada Laura yang mengajari Laura mengucapkan kata selamat jalan pada papanya. Willy berusaha mati-matian tak menoleh ke belakang karena wajahnya benar-benar terasa panas sekali sekarang ini, seperti direbus. Willy terus melangkah berjalan kaki tanpa ia sadari membuat sang sopir yang sudah berdiri di samping mobil di depan teras heran melihat majikannya itu.
Pak Supri dan Anna saling memandang dengan pandangan heran karena Willy terus berjalan kaki sampai hampir tiba di gerbang utama rumahnya.
“Pak! Pak willy!” panggil Anna sedikit berlari mengejar Willy bersama Anna di gendongannya.
Buat apa dia memanggilku sih?
“Pak! Mau ke mana?” teriak Anna yang membuat langkah kaki Willy akhirnya terhenti dan ia baru sadar bahwa ia telah keluar dari rumahnya dan sudah melewati gerbang rumahnya, Willy menoleh ke arah kanan dan kiri, seperti orang yang sedang menunggu taksi online atau ojek online di luar rumahnya. Willy benar-benar tak sadar sampai berjalan sejauh itu dari rumahnya.
“Pak, mau ke mana? kok tidak berangkat sama-sama pak Supri?” tanya Anna dengan napas terengah-engah saat ia sudah sampai di samping Willy. Willy bisa merasakan wajahnya semakin memerah karena malu luar biasa di hadapan pengasuh anaknya yang mengejarnya karena ia tak sadar sudah berjalan jauh dari rumah sampai ke tepi jalan di luar gerbang rumahnya. Bahkan saat satpam penjaga rumahnya tadi menyapanya, Willy tak menyahut dan diam saja, seluruh pikirannya hanya terfokus pada Anna saja.
“Aku ….”
Mobil yang dikendarai oleh pak Supri akhirnya berhasil menyusulnya dan sekarang berhenti di dekatnya dan Anna, “aku jarang olah raga, jadi tadi sengaja olah raga sedikit,” jawab Willy gugup, Anna hanya mengangguk kecil saja, tak berani bertanya-tanya lagi, “sudah sana masuk! Kasihan Laura kepanasan!” titah Willy seraya masuk ke dalam mobilnya.
“Iya, pak, hati-hati di jalan,” kata Anna yang hanya ditanggapi dengan anggukan kepala saja oleh Willy sebelum ia masuk ke dalam mobilnya dan menghembuskan napas berat.
Ya Tuhan, apa yang terjadi padaku?
Bagaimana bisa aku bersikap konyol seperti tadi?