Pembalasan Yang Menyenangkan

1176 Kata
Ternyata antara benci dan cinta hanya dipisahkan oleh sehelai benang yang sangat halus. saking halusnya kadang tidak terlihat dan teraba. Juga antara muak dan memuja hanya berbatas selembar kertas yang sangat tipis dan tak berjarak. Tak salah jika ada pepatah yang mengatakan, jangan terlalu benci dan jangan terlalu memuja, karena saat benci berubah cinta atau sebaliknya, tak seorang pun sanggup menolaknya. Yuda tersengal, jantungnya mendadak melompat-lompat tak berirama. Belum pernah dia melihat perempuan sesempurna sosok yang tengah memandangnya dengan tatapan memuja. Tatapan yang bukan hanya mampu membuat jiwa laki-lakinya bangkit, tapi juga sekaligus meruntuhkannya dalam pesona yang memabukkan. "Ha-haifa?" Yudha masih tak percaya jika yang tengah menatapnya adalah Haifa. Istri culunnya yang selama ini lugu dan selalu berpenampilan rapat seperti astronot mau ke bulan. "Tentu saja aku Haifa istrimu." Haifa tersenyum memamerkan lesung pipit yang mempesona "Mas Yuda lupa ya? Kalau di rumah ini masih ada perempuan yang namanya kau sebut dalam ijab suci bernama pernikahan." Yudha menelan ludah. "Mas, lupa kalau di sini masih ada perempuan yang dengan setia menyebut namamu dalam setiap doanya." Haifa lagi-lagi tersenyum dingin. Matanya menatap sendu ke arah pria yang seperti kehilangan keseimbangan tubuhnya, tangannya terlihat berpegangan erat ke pegangan pintu di dekatnya. "Mas, juga lupa kalau di rumah ini masih ada aku, perempuan yang Allah titipkan kepadamu untuk kau cintai sepenuh hati." Yudha makin menegang. "Mengapa Mas lupa, kalau Mas masih menjadi seorang imam dan memiliki seorang makmum, diriku." Haifa terisak. "Mas, mungkin aku tak sesempurna Sekar, mungkin aku juga tak secantiknya, tapi ketahuilah, meskipun aku di matamu hanyalah butiran debu, tapi dihadapan Allah, akulah istrimu. Akulah wanita yang tertulis sebagai takdirmu." "Cukup, Haifa." Yudha tersengal. Nafasnya terasa mendadak sesak. "Kenapa kau baru berteriak dan mengatakannya sekarang? Mengapa setelah dua tahun pernikahan kita, kau baru Mengingatkanku?" tanya Yudha tertahan. "Kenapa, Mas? Katamu kenapa aku baru mengatakannya?' Haifa tertawa pelan. "Dengar, karena selama ini kau tidak pernah ada untukku. Karena dinding yang kau ciptakan begitu tinggi, jangankan untuk mengatakan isi hatiku, mengatakan bahwa aku istrimupun, aku tidak bisa." Haifa terisak. "Begitulah?" Yudha tercekat. "Begitulah, Mas. Aku tak pernah ada dalam hidupmu, bahkan dalam mimpimu sekalipun. Tapi..." "Tapi apa Haifa?" "Tak mengapa, Mas. Kalau cinta yang kau tawarkan padaku tak berwarna dan tak bernyawa, setidaknya izinkan aku menjadi istrimu, sampai Ibu sembuh. Aku berjanji, saat Ibu sudah baik-baik saja, aku akan pergi dari hidupmu." "Haifa?" Yudha terlihat masih terkaget-kaget. Apalagi saat tangan lembut Haifa, menggamitnya ke arah meja makan. "Sayang...aku memasak ini untukmu. Jangan katakan aku tidak boleh mengurus hidupmu, engkau suamiku. Kewajibanku berbakti kepadamu." Haifa mengerling manja. Membuat Yudha sampai mengeluarkan keringat dingin di sekujur tubuhnya. Dengan mesra dan lembut Haifa menuntun Yudha untuk duduk di depan meja makan. Sengaja mendekatkan tubuhnya agar pria itu bisa mencium harum tubuh dan rambutnya yang tergerai indah. Haifa menikmati saat tangan Yudha begitu gemetar mendapati dirinya menggenggam tangannya. Sepertinya laki-laki itu sangat shock menghadapi perubahan sikap dan rayuan Haifa yang mematikan. Semoga kau jantungan juga, Sayang. Haifa mengelus punggung tangan Yudha. "Mas, di makan, ya." Haifa mulai menyendokan nasi dan lauk kesukaan Yudha . "Buka mulutmu, Mas." Yudha terbelalak. Gerakan tangan Haifa begitu menggoda saat mau menyuapinya. Tuhan, ada apa dengan istriku? Gadis pemalu dan bodoh itu kenapa tiba-tiba jadi begitu agresip dan menegangkan? "Setelah sekian lama kau membentangkan dinding diantara kita, aku ingin meruntuhkannya degan memanjakanmu." Seperti mengerti kekagetan Yudha, Haifa menjelaskan tanpa diminta. "Aku bisa makan sendiri ,Fa." Yudha menjawab grogi "Okelah, makanlah yang banyak Mas." Haifa tersenyum, bangkit dan beranjak ke dalam kamar. Berjalan hiliir mudik menunggu suaminya makan. Diam-diam Haifa mengintip Yudha yang makan dengan cukup lahap. Sepertinya pria itu sangat rindu masakan Haifa yang sudah sekian lama hilang dari hari-harinya. Drrrt. Yudha masih makan saat panggilan dari Sekar menjerit-jerit. Haifa yang tengah mengintip langsung menajamkan pandangan. Ingin tahu reaksi Yudha, Biasanya panggilan Sekar adalah hal yang paling menyenangkan bagi suaminya. Yudha membalas panggilan Sekar agak lama. "Kenapa,Sekar?" tanyanya tak acuh. "Tunggu kita bicara besok." "Sekarang? Tak bisa. Aku capek." Haifa sedikit tercengang, mendengar jawaban Yudha yang terkesan enggan. Tak biasanya Yudha sedingin itu. Apakah ini ada kaitannya dengan perubahan penampilan dan serpisku di meja makan? Oh yess. "Oke. Maaf sampai besok ya. Aku capek." "Aku capek Sekar. Capek. Mengertilah." Haifa terbelalak. Nada bicara Yudha terdengar sangat jengkel. Mengherankan. Yudha menutup panggilan Sekar, terlihat wajahnya sedikit acuh saat menghirup jus jeruk yang sudah disiapkan Haifa di depannya. Lanjut, Jubaedah. Haifa siap kembali beraksi. Kita akan membuat suami sombong ini menyesali keangkuhannya tujuh turunan, bisik Haifa dalam hati.Dengan gemulai dan senyum merayu, Haifa kembali menemui Yudha. "Mas, sudah selesai makannya?" Haifa mengerling manja. "Baik, sekarang Mas istirahat dulu. Aku akan siapin air buat mandi, baju bersihnya aku taruh di kamar saja ya?" Seolah tidak pernah terjadi apa-apa, Haifa melayani Yudha dengan penuh cinta. Yudha seperti kerbau dicocok hidung, menuruti semua permintaan Haifa. **** "Sudah, rapih. Silahkan istirahat, Mas." Haifa tersenyum lembut ke arah suaminya yang tengah menatap penampakan kamarnya yang rapih dan wangi, karena Haifa tadi membereskannya. "Haifa, kamu membereskan kamarku juga?" "Tentu saja, aku membereskannya. Mas, pasti capek seharian kerja dilanjut berlibur dengan kekasih Mas yang cantik itu." Haifa menunjuk kasur yang sudah rapi. Yudha tampak salah tingkah. "Mas, dengar-dengar, kalian juga akan secepatnya menikah bukan?" Haifa tersenyum kecut. "Entahlah." "Lho, aku mendengarnya tadi barusan." Haifa lagi-lagi tersenyum, menyindir. "Lupakan, Fa." Yudha terlihat mengalihkan pembicaraan. Entah mengapa rasanya tak nyaman membicarakan tentang Sekar. Atau mengapa nama Sekar tiba-tiba tak menarik, tenggelam oleh pesona Haifa? "Baiklah, Mas. Istirahatlah, aku permisi." Haifa perlahan bangkit. "Haifa, kamu masih tidur di kamar sebelah?" tanya Yudha terlihat canggung. "Tentu saja, Mas. Aku tahu diri, aku tidak pantas tidur bersamamu." "Bukan begitu, aku..." Yudha berulang kali menyeka keringat dingin di pelipisnya. Tuhan kenapa aku begitu tersiksa seperti ini? Ingin rasanya melarang Haifa berlalu, tapi malu. Ingin rasanya meminta istrinya tidur di sisinya tapi lidah nya terasa kelu. Yudha benar-benar tersiksa dengan rasa dan hasrat yang tiba-tiba menggelora, tapi tak tahu harus kemana bermuara. Angin malam yang dingin dan pantulan lampu di kamar Yudha makin menambah suasana yang romantis. "Mas, aku pamit dulu untuk tidur di kamar sebelah. Tidur yang nyenyak suamiku." "Haifa, tetaplah di..." Haifa menggeleng. "Ssst, biarkan Sekar yang akan ada di sisimu. Aku permisi." Haifa melirik Yudha dengan pandangan yang membuat d**a dan jiwa Yudha terasa ...entah. Perlahan Haifa membawa tubuh indahnya berlalu ke luar kamar, meninggalkan seorang Yudha yang tersiksa menahan rasa, merana dan merindu setengah mati. Bibir Haifa menyungging senyum, dengan enteng merebahkan tubuhnya saat samar dia mendengar langkah Yudha yang gelisah menahan hasrat di luar sana. Emang enak, Mas? Baru semalam kau sudah tersiksa, aku bahkan melewatinya begitu panjang dan tak berujung. Mulai sekarang, kau harus terbiasa tak bisa tidur karena merindukanku. Hmmm. Tidak seperti perempuan lain yang akan dengan kalap menghajar suami yang kedapatan selingkuh, Haifa justru membalas dan menyiksa Yudha suaminya dengan senyuman. Kalau bisa membunuh dengan madu, kenapa pula harus membunuh dengan racun? Haifa tahu persis, menyakiti suami angkuh seperti Yudha dengan senyuman dan cinta, itu seribu kali lebih menyakitkan dari tindakan bar-bar yang murahan. Fix, banyak-banyak lah istighfar suamiku, Ini baru permulaan, Haifa tersenyum dalam hati.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN