Penolakan

684 Kata
“Aku tidak menerima penolakan, Nona Vanesha...” “Vanesha, tanpa nona,” Vanesha mengoreksi. “Jadi, mulai besok kau siap?” Awalnya Vanesha memang tidak punya pilihan selain menerima tawaran bosnya tersebut. Tapi, kejadian di kantornya pagi ini mengubah niatnya. Ia memilih untuk tidak menerima tawaran tersebut, karena entah bagaimana ceritanya, hati kecilnya seolah memperingatkan dirinya agar tidak terlibat dengan pria ini lebih jauh. Belum lagi satu kembarannya yang juga akan membuat masalah baru di kehidupannya. Vanesha sudah membayangkan serumit apa hidupnya nanti. “Gimana?” “Boleh saya pikirkan lagi, pak?” “Tidak!” sergah Lian dengan nada tegas. “Jadi, Bapak tidak memberiku pilihan?” “Tidak...!” Kenapa sih pria ini harus memaksakan kehendaknya. “Aku sudah menyuruh staf memindahkan semua barang-barangmu yang banyak itu!” “Apa?” Vanesha nyaris tidak percaya. “Mulai sekarang kau bekerja di ruangan yang sudah kusiapkan. Jadi, kau tinggal keluar dari sini dan bekerja di sana.” “Ini pemaksaan!” “Aku hanya memberimu kesempatan untuk meningkatkan kariermu. Harusnya kau bersyukur padaku.” Lian berkata dengan nada datar, membuat Vanesha merasa kesal. Kenapa dia harus berurusan dengan pria menyebalkan ini?, batinnya mengomel. “Terimakasih banyak atas tawaran bapak. Tapi saya lebih baik bekerja menjadi staf biasa.” Ujar Vanesha sambil membungkukkan badannya. “Kalau begitu, kutunggu surat pengunduran dirimu besok!” Mata Vanesha membelalak tidak percaya, “Bapak, mengancam saya?” “Tidak!” “Terus, maksud bapak apa?” “Hanya memberi peringatan.” Jawab Lian, santai. “Sudah kukatakan padamu, bukan? aku tidak menerima penolakan.” Lanjut Lian dengan wajah serius. Sejenak Vanesha tak mampu berkata-kata. Ia tidak bisa kehilangan pekerjaan ini. Sesulit apapun, ia harus tetap bertahan. Banyak orang yang bergantung padanya. Setidaknya itu yang harus ia pikirkan jika ia menolak tawaran ini. “Kuberikan gaji dua kali lipat dari yang biasa kau terima. Apa itu adil?” Vanesha hanya tercekat. Bukan masalah uang, tapi pekerjaan jenis apa yang memberinya gaji dua digit lebih. “Terima atau tidak?” Sejenak Vanesha terdiam, memikirkan tawaran ini. Akhirnya ia pun menyerah, “baiklah.” *** Leon menunggu wanita itu keluar dari ruang kerja adiknya. Matanya sibuk membaca database perusahaan yang tampak di depan layar laptop miliknya. Tidak sulit bagi Leon membobol jaringan milik perusahaan ayahnya. Tidak ada seorang pun yang tahu siapa dia dan apa yang ia kerjakan, termasuk keluarganya. Suara derit pintu mengambil alih perhatiannya. Wanita itu keluar dari sana sambil menghela napas panjang. Ia tersenyum tipis, “Vanesha Anastacia. Usia 26 tahun, single, tinggal 160cm, hobi baca buku.” Leon sengaja membaca data yang tertera di laman pribadi perusahaan yang baru saja dibobolnya. Wanita itu membelalakkan mata—terkejut, ketika mendengar Leon menyebutkan detail tentang dirinya. “Apa yang kau lakukan di sini?” Vanesha bergegas menghampirinya. “Bisa kau tebak?” Leon bertanya sambil menutup layap laptopnya. “Dengar tuan...” “Leon. Kau bisa panggil aku Leon.” Potong Leon, menginterupsi. Vanesha menarik napas dalam—menenangkan diri. “Baik, Tuan Leon.” “Leon saja! jangan ada kata ‘tuan’.” Ujar Leon, mengoreksi. “Oke, Leon. Kurasa kau salah paham di sini. Kejadian malam itu anggap saja tidak pernah terjadi. Lagipula aku sudah melupakannya.” Ujar Vanesha, berbohong. Bagaimana bisa ia melupakan peristiwa yang terjadi di malam itu?, walau dalam pengaruh alkohol sekali pun ia masih bisa mengingatnya dengan jelas. “Melupakannya, katamu?” Leon tertawa sinis. “Biar kuberi tahu, aku masih ingat jelas bagaimana bentuk tubuhmu walau dalam kegelapan saat ini. Seperti apa suara desahmu malam itu, dan bagaimana kau bisa lupa apa yang kau lakukan padaku saat itu, hah?” kali ini sorot mata Leon menajam. “Ingat cantik, aku bahkan menyimpan anak-anakku di dalam sana.” Tatapan Leon tertuju pada perut Vanesha yang datar. Seketika Vanesha merasa malu. Ia menutupi perutnya dengan kedua tangannya. “Kau meninggalkan uang lima ratus ribu waktu itu. Cek rekeningmu, aku sudah mengirimkannya kembali beserta bonusmu. Tidak ada penolakan, Putri... mulai sekarang kau akan menjadi pacarku sampai kupastikan bayi itu tumbuh baik di dalam rahimmu.” “Apa...?” Vanesha hanya bisa terperangah mendengarnya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN