Kencan dan Perjalanan Bisnis

1309 Kata
‘Jangan lupa hari ini kita ada kencan!’ Bunyi pesan aplikasi hijau masuk ke gawainya. Vanesha mengerjap melihat nomor asing yang mengiriminya pesan. Lalu, bunyi panggilan telepon masuk. Tertera nomor cantik yang mengiriminya pesan itu berusaha menghubunginya. “Hahhalo...” jawabnya ragu, ia takut nomor itu dari seorang penipu, tapi ia juga penasaran nomor siapa yang berani mengajaknya kencan. Terdengar suara kekehan dari ujung panggilan telepon. “Wah, ternyata kau bisa gugup juga.” Canda suara bariton yang sangat Vanesha kenal. “Kau...!” Seketika amarahnya meledak. Bisa-bisanya Leon menghubunginya di kala ia sibuk berkutat dengan pekerjaannya. Apakah pria itu tidak punya pekerjaan lain selain mengganggunya. Tawa pria itu terdengar semakin keras. “Aku tutup, ya...?” “Hei, jangan...!” Respon Leon, cepat. Ia tak menyangka gadis yang kini menjadi kekasihnya sama sekali tidak tertarik dengan panggilan teleponnya. Biasanya Leon selalu diganggu dengan dering telepon dari para mantan kekasihnya, tapi Vanesha berbeda. Ia bahkan tidak tertarik dengan dirinya termasuk pesonanya. “Apa kau tidak ingin tahu darimana aku tahu nomormu...?” “Tidak!” Jawab Vanesha singkat. Oh Tuhan, jawaban Vanesha membuat Leon semakin penasaran. Bagaimana bisa gadis yang bahkan bukan kriteria cewek idamannya sama sekali tidak tertarik padanya...? Ya... setidaknya Leon masih harus berkencan dengannya, ia akan membuat gadis itu menyesal karena menolaknya. Hal ini terlihat seperti tantangan baginya. Sebuah permainan baru. Ya, tidak bisa dibilang permainan baru, sih. Disaat banyak wanita memainkan peran tidak tertarik padanya. Sedangkan para wanita itu terang-terangan memujanya. Untung saja, Vanesha memiliki kelebihan yang tidak dimiliki para wanita itu. Vanesha membuat hidupnya sedikit lebih b*******h. Malam itu merupakan malam yang tidak terlupakan. Karena itu, ia terjebak dalam hubungan platonis ini. Walau sejujurnya ia tampak menikmati peran barunya dengan menjadi kekasih Vanesha. “Kalau tidak ada yang mau dikatakan, kumatikan, ya...?” “Baiklah. Kujemput kau di kantor jam 5. Kau pulang jam 5 kan?” “Jangan...! Aku lembur hari ini.” Seru Vanesha mendadak. Ia belum siap bertemu pria itu malam ini, setelah janji kencan mereka. “Aku akan bilang pada adikku, kau tidak usah lembur.” “Kubilang jangan...! Kumohon jangan campur aduk kencan singkat kita dengan pekerjaanku.” “Hmm...” Leon tampak berpikir keras. “Kenapa kau harus tetap kerja keras, padahal kau bisa mendapatkan satu juta dollar dengan mudah...?” Bukankah semua wanita akan melakukan itu...? Hanya kencan dengan dirinya, mereka bisa mendapatkan apapun yang mereka inginkan dengan mudah. Vanesha tertawa garing. Jadi, seperti ini pikiran pria playboy. “Kau pikir aku wanita yang sering kau booking, hah?” Gerutu Vanesha merasa tersindir. Bukannya merasa bersalah, Leon justru terbahak-bahak. Tawanya yang keras membuat Vanesha semakin jengkel. “Jadi, kau lebih baik dari mereka?” “Aku tidak bilang begitu!” Sergah Vanesha. “Aku cuma bilang aku bukan wanita yang kau pikirkan selama ini.” “Oke, oke, putri. Apapun itu, aku akan mengiyakan.” “Oh, satu lagi! Jangan pernah panggil aku putri.” “Kenapa? Kau mirip banget sama putri tidur! Apa kau tahu suara dengkuranmu merdu... aku menyukainya. Kapan aku bisa mendengarnya lagi?” Mendengar itu wajah Vanesha memerah seketika. Ia pun segera menutup panggilan telepon itu dan membanting ponselnya. “Dasar cowok m***m!” Makinya kesal. Ia tak mengira bos besarnya yang tak lain kembaran pria yang ia maki berdiri di depan meja—memperhatikan dirinya. “Eh, bapak... maaf aku,” gumam Vanesha salah tingkah. “Kau harus fokus bekerja.” Vanesha merasa bersalah, ia pun berdiri dan meminta maaf. “Maafkan saya pak.” Lian mengabaikan permintaan maafnya. “Apakah laporan yang kuminta sudah selesai?” “Sudah, pak!” “Bagus. Kosongkan jadwal kita hari ini. Aku ada rapat, dan kau siapkan pakaianmu karena aku akan ke luar kota malam ini.” Mata Vanesha membelalak, “ke luar kota, pak?” “Iya. Kenapa?” “Apa aku juga ikut?” “Ya tentu saja, apa aku harus menjelaskan apa saja pekerjaanmu sebagai sekretarisku?” Gumam Lian sambil berlalu pergi dan menghilang dari balik pintu. Vanesha termenung sejenak. Pergi ke luar kota bersama bosnya sama sekali tidak ada dalam pikirannya. Ia bergegas mengambil surat kontrak kerja dan membaca tiap klausul yang tertera dalam lembar tersebut. Bingo! Ia tidak teliti membaca tiap poin di surat tersebut yang menyatakan : Pasal 2 ayat 2 : pihak pertama berhak memberikan pekerjaan apapun terhadap pihak kedua tanpa batasan waktu dan jam kerja. Termasuk dinas ke luar kota, rapat dengan para rekan bisnis pihak pertama. Vanesha duduk merosot di kursi putarnya. Ia tak mengira hidupnya akan serumit ini menghadapi dua kakak beradik kembar yang menyusahkan. *** Vanesha meminta tolong ibu kos mengirimkan pakaian ke kantornya sore itu. Karena pukul lima mereka harus pergi ke Bandara. Walau pesawat mereka take off pukul sembilan malam. “Apa kau sudah siap?” Tanya Lian melihat Vanesha sudah mengganti pakaian kerjanya dengan pakaian kasual. Rambut panjang gadis tergerai bebas menutupi punggungnya yang mungil. Vanesha menganggukan kepala. “Apa kau akan memakai pakaian itu?” Tanya Lian memindai penampilan Vanesha dari ujung rambut hingga ujung kaki. Gadis itu hanya mengenakan kaos oblong biru sederhana yang entah kenapa membuat penampilannya semakin menarik. Begitu juga dengan celana jeans murahan yang menonjolkan lekukan tubuhnya yang sempurna. Lian memandangi wajah sekretarisnya yang polos tanpa riasan yang biasa dikenakannya sehari-hari. Entah kenapa, wajah halus milik gadis itu terlihat manis. Apalagi ketika gadis itu tersenyum gugup ketika ia memandangi dirinya. “Apa saya harus mengganti pakaianku?” Tanya Vanesha merasa insecure ketika melihat penampilan bosnya yang masih mengenakan pakaian formal. “Saya pikir, kita hanya akan bermalam dan mulai bekerja besok.” “Terserah! Kau bisa kenakan pakaian apapun yang kau suka!” Gumam Lian, merasa enggan jika Vanesha harus mengganti pakaiannya. Walau sejujurnya malam ini setibanya mereka di Singapura, ia harus bertemu dengan klien penting mereka di sana. Tapi, Lian sudah tidak punya banyak waktu. Ia pun berjalan cepat menuju lift, sedangkan Vanesha tergopoh-gopoh berusaja mengimbangi langkah bos-nya yang cepat. Setibanya di lobby utama, Lian menyuruh asisten pribadinya memuat kopernya ke bagasi, begitu juga koper kecil milik Vanesha. Lian membuka pintu mobil, “masuklah!” Ketika hendak masuk ke mobil, lengan Vanesha tertahan. “Kau mau kemana?” Suara itu amat Vanesha kenal. Ia menoleh, Leon sudah berada di sana menghentikannya. “Jangan lupa, kau ada janji kencan denganku!” Gumam Leon dengan suara dingin. Lian mendesah melihat sosok kakaknya di depannya. “Jangan bilang, kau juga mau menculik sekretarisku kali ini, kak?” Ejeknya dengan nada dingin. Leon tersenyum miring, “kurasa ini sudah bukan jam kerjanya.” Leon menarik Vanesha mendekati ke arahnya. Lian pun, tak mau kalah. Ia menarik Vanesha ke belakangnya. Digenggamnya jemari Vanesha erat-erat, ia bersikeras mempertahankan Vanesha. “Dia ada urusan kerja denganku, kak! Jadi sepertinya kau harus gigit jari malam ini. Karena pacarmu harus pergi denganku!” Leon menggeram marah, ia menatap adiknya tajam. “Lepaskan dia!” Lian melepaskan genggamannya, “sudah...” ujarnya sambil tertawa miring. “Dia akan resign dari kantormu sekarang!” Ujar Leon tiba-tiba. Vanesha terkejut mendengarnya, tapi tidak Lian yang memang mengharapkan respon kakaknya. “Apa kau mau resign...?” Lian bertanya pada Vanesha. Gadis itu menggelengkan kepala. “Kau lihat? Dia tidak ingin resign. Jadi sebaiknya kau menyerah, kak!” Gumam Lian tersenyum penuh kemenangan. Leon menghela napas panjang, berusaha menahan diri. “Kurasa kau sudah semakin melewati batas, adikku sayang.” Lian malah tersenyum sinis, “sepertinya kau yang melewati batas, kakakku sayang. Kau bahkan sudah lupa, kalau kau memiliki tunangan. Tapi sekarang kau ingin menculik sekretarisku.” “Tunanganku, bukan urusanmu! Kau bisa mengambilnya jika kau ingin!” Lian tertawa miris, “aku...? Mengambil tunanganmu...? Tidak! Aku bukan laki-laki serendah itu, kak. Jadi, jaga baik-baik tunanganmu dan biarkan aku mengurus sekretarisku.” Lian mendorong Vanesha masuk ke dalam mobil. Leon terdiam menatap mobil melaju pergi meninggalkannya. Tidak ada yang bisa dia lakukan untuk menghentikan kekasihnya pergi bersama adiknya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN