"Panasnya di sini, Nona Cala!" Aluna melepaskan jaketnya, menaruh peralatan melukis di ruang depan yang ada di kontrakan Calandra. Tidak ada sofa mewah dan empuk, hanya terdapat tiga kursi dan meja bundar dari rotan. Itu pun bukan Calandra yang beli, tapi dikasih oleh Aderiyo saat dia berulang tahun. Dulu mereka sering mengerjakan tugas di lantai, jadi lelaki itu berinisiatif membelikannya. "Kapan Om Riyo datang? Aku udah nggak sabar nih mau latihan melukis." Tersenyum ceria, meminta Calandra menguncirkan rambutnya.
Sesuai rencana mereka kemarin, di akhir minggu kali ini Aluna akan belajar melukis bersama Aderiyo di kontrakan Calandra. Anak itu antusias sekali.
"Kamu sudah izin sama Papa belum kalau mau main ke sini?" tanya Calandra menyisir rambut Aluna terlebih dahulu, baru menguncirnya dengan rapi.
"Udah. Kata Papa boleh, asal jangan menginap. Nanti aku pura-pura tidur aja ya, biar nggak pulang ke rumah."
Calandra tersenyum, menangkup wajah Aluna yang lucu. "Siapa yang ngajarin kamu pinter bohong, huh? Nggak baik kayak gitu. Kalau kata Papa nggak boleh menginap, ya nggak usah dipaksain. Nanti Papa marah, kamu dilarang main lagi ke sini gimana?" Menoel hidung Aluna, saling menatap hingga beberapa saat. Calandra menyukai bulu mata Aluna yang lentik, begitu pun sebaliknya.
"Enggak kok. Aku kan suka sama Nona Cala, jadi Papa bolehin." Menaikkan bahu, lalu memeluk Calandra secara tiba-tiba. "Aku sedih," katanya pelan. Ingin cerita, tapi dia tidak berani. Sebenarnya Aluna masih kepikiran dengan ancaman Faradilla, sampai dia merasa tidak tenang. Jika Faradilla ada di rumah, Aluna selalu menyibukkan diri di kamar dengan mainannya. Jangankan untuk mengobrol, saling menatap pun Aluna masih takut. Sudah sering Faradilla mempelototi dan mengomeli Aluna, tapi baru sekali kebablasan mencubit.
"Sedih kenapa?" Aluna menggeleng, hanya menunjukkan senyuman tipis. "Ada cerita apa selama aku nggak main ke rumah kamu? Keli pinter kan?" Terhitung beberapa hari belakangan Calandra memang sibuk di pabrik, tidak sempat bertemu Aluna. Pulang kerja dia merasa sangat lelah dan pusing, makanya lebih memilih istirahat di rumah saja.
"Nggak asik di rumah, aku cuman main berdua sama Keli." Menaikkan bahu, bibirnya cemberut masam. "Nona Cala, aku laper. Boleh minta makan? Udah lama nggak disuapi Nona Cala."
Mau tidak mau, Calandra tertawa akhirnya. Gemas, dia mencubit pipi Aluna. "Boleh dong. Masa iya aku biairin kamu kelaperan. Ayo, ke dapur dulu sambil nunggu Om Riyo datang."
Aluna meminta digendong, selalu bersikap manja jika bersama Calandra. "Aw, jangan sentuh di sini, Nona Cala. Tangan aku lagi sakit." Mengusap lengan atasnya, tidak sengaja tersentuh oleh Calandra.
"Bekas apa? Coba aku lihat sebentar." Calandra mendudukkan Aluna, lalu menyingsing lengan bajunya perlahan. Betapa kagetnya Calandra ketika melihat memar pada lengan Aluna. "Loh, ini kenapa? Siapa yang cubit kamu, Aluna?" tebaknya tepat sasaran. Calandra tidak buta, itu pasti bekas cubitan seseorang.
"Enggak kok, ini aku bekas jatuh. Aku kemarin main sama Keli."
Calandra menyipitkan mata. "Aku nggak pernah ngajarin kamu bohong. Nanti lidahnya dipotong malaikat!"
"Ih, jangan gitu dong, Nona Cala. Aku kan takut." Menundukkan kepala, memilin ujung bajunya dengan tatapan sendu.
"Papa yang cubit Aluna?"
Aluna menggeleng cepat. "Enggak, ini digigit semut." Masih mencoba berkilah, takut mengadukan perbuatan Faradilla.
Calandra memegangi bahu Aluna, tersenyum. "Bocil, kamu kok nggak konsisten ngomongnya. Tadi bilangnya habis jatuh, kok sekarang digigit semut lagi? Udah dua kali bohong, sekali lagi bohong dimarahi Tuhan."
"Jangan tanya aku lagi, aku nggak mau jawab!" Menutup mulutnya, memalingkan wajah. "Aku mau makan Nona Cala, laper banget. Papa sibuk, Oma mau datang."
"Seneng Omanya mau datang?"
"Entah, aku nggak pernah ketemu Oma." Menaikkan bahu, duduk dengan pintar sembari menunggu Calandra mengambilkan makanannya. "Nona Cala juga makan ya, jangan kurus. Nanti ditiup angin melayang."
Calandra mengulum senyum. "Nemu kalimat kayak gitu dari mana?"
"Pak Didi yang kasih tau."
"Ayo makan ke ruang depan, sambil anginan dekat jendela. Aku suapin, harus habis makannya ya?" Aluna mengangguk cepat, melangkah sambil menggenggam tangan kiri Calandra. "Duduk yang bener, botol minumnya jatuh aja ke atas meja, nanti tumpah airnya."
Aluna menaruh botol minumnya ke atas meja, duduk menghadap Calandra dengan polos. Dia penurut sekali, Calandra sangat gemas melihat sikapnya. "Hem, ayamnya enak Nona Cala. Aku suka banget!" Mengacungkan jempol, makan dengan lahap menu sederhana yang Calandra masak hari ini. Ayam mentega, capcay, dan perkedel kentang.
Sambil menyuapi Aluna, Calandra pun ikut makan--mereka sudah beberapa kali menikmati makanan sepiring berdua. Kalau kata orang, biasanya hal seperti ini mudah mengukir kerinduan jika sedang berjauhan.
"Masakan Nona Cala selalu enak, aku suka. Makasih udah suapin aku ya." Calandra mengangguk, menyuapi Aluna lagi. "Cilla mana? Aku nggak liat dia."
"Cilla lagi nggak di rumah dari tadi pagi, dia ada kerja kelompok di rumah temannya. Paling sore baru pulang, soalnya Cilla mau ujian akhir semester. Dia sebentar lagi lulus sekolah."
"Cilla udah makan siang?" Aluna menaruh kembali botol minumnya, membuka mulut menerima suapan yang kesekin kali.
"Tadi pagi udah aku siapin bekal buat makan siang, paling nanti sisanya dia jajan bareng temannya."
"Kamu lahap banget makannya, selalu habis kalau aku suapin." Aluna tersenyum, mengangguk. Makanannya tinggal beberapa suap lagi. "Nggak boleh buang-buang makanan ya. Kalau kamu makan, jangan banyak-banyak dulu ambil nasinya. Nanti seandainya kurang, bisa nambah lagi. Lebih baik kayak gitu daripada nggak habis. Masih banyak di luar sana orang yang kelaperan--susah nyari sesuap nasi, kita harus bersyukur bisa makan enak, punya tempat tinggal yang nyaman biar nggak kehujanan dan kepanasan."
"Oke, Nona Cala. Aku nggak bakal buang-buang makanan." Calandra mengusap rambut Aluna, berkali-kali mengatakan bahwa anak itu pintar. Tanpa sadar, kalimat kecil dari Calandra ini begitu membekas dalam ingatan Aluna. Dia selalu merasa senang, akhirnya jadi motivasi untuk melakukan yang terbaik. "Mau perkedelnya lagi, Nona Cala. Lembut, suka!"
"Hari ini Mbok Neni masak apa? Kok tadi kamu belum makan."
"Nggak tau. Aku buru-buru ke sini. Nggak sabar mau ketemu Nona Cala."
Calandra mengecup pipi Aluna gemas. Sejak tadi anak itu ceriwis sekali, seperti mengobrol dengan Bella.
Tidak disangka Calandra bisa sedekat ini dengan Aluna, padahal pertemuan mereka malam itu sangat tidak disangka-sangka.
"Pinter, makannya beneran habis. Tunggu di sini, aku taruh piring ke belakang dulu." Aluna mengacungkan jempol, memeluk botol minumannya.
Merawat anak kecil seperti Aluna susah-susah gampang, memang butuh kesabaran extra. Kadang dia cerewet, menyenangkan, bisa jadi teman yang menggemaskan, dan tidak menutup kemungkinan dia juga akan melakukan banyak hal yang membuat emosi tersulut. Namanya anak kecil, selalu ada yang ingin dia lakukan dan mencoba hal baru adalah kesenangannya. Sebagai orang yang lebih tua, kita bisa menasehatinya dengan baik--tanpa bentakan apalagi ancaman, tanpa perlu menyakiti fisiknya juga. Mental anak itu harus dijaga sejak usia dini, jangan biarkan dia takut menghadapi apa pun.
***
Aluna tertawa lepas saat kuas kecilnya mengenai ujung hidung Aderiyo. Cat warna hijau memberikan tanda di sana. "Lucu, kayak badut!" komentarnya cekikikan geli.
Siang ini mereka belajar melukis dari yang paling mudah dulu, yaitu pohon. Tadi Aderiyo sudah membuatkan sketsanya di sebuah kertas khusus cat air, Aluna dan Calandra tinggal mewarnai sendiri sesuai petunjuk darinya.
Hasil lukisan Calandra sangat rapi, tidak berbeda jauh dari milik Aderiyo. Sementara punya Aluna sedikit berantakan pada bagian daun--tidak beraturan warnanya, kemudian warna cokelat pada bagian batang yang menyebabkan pohon itu miring. Ada beberapa warna yang juga keluar dari sketsa awal. Alhasil lukisan Aluna kurang sempurna.
"Yeay, punyaku bagus. Aku hebat!" kata Aluna menunjukkan hasil lukisannya dengan percaya diri. Untuk pemula seusia Aluna, ini sudah sangat bagus. Daya tangkap anak itu lumayan tinggi. Dia mengerti jika Aderiyo suruh menggabungkan beberapa warna agar terlihat indah pohonnya. Tinggal diasah lebih sering, kemampuan Aluna pasti akan bertambah. "Beri nilai dong, Om." Dia menggaruk pipinya, menambah warna lain di sana.
Calandra geleng-geleng keheranan. Bukan hanya baju dan kedua tangan yang penuh warna, pipi sampai kening Aluna pun cemong jadinya. Hampir semua warna mau dia coba, melukis sendiri di kertas berbeda. Tidak jelas bentuknya apa, hanya semacam coretan asal-asalan.
"Om kasih nilai delapan puluh. Hasil lukisan kamu sudah cukup bagus. Nanti latihan lagi di rumah ya, biar dapat nilai lebih tinggi."
Aluna mengangguk paham, menyuruh Calandra menyimpan hasil lukisannya ke atas meja, nanti akan dia bawa pulang untuk ditunjukkan pada Kenny.
"Karena tangan Aluna udah terlanjur kotor, sekalian aja kita bikin coretan baru menggunakan telapak tangan. Biar lukisannya lebih hidup." Aderiyo memberikan warna pink pada seluruh permukaan telapak tangan Aluna. Menempelkan pada kertas yang tadinya hanya menjadi coretan abstrak. "Tangan kamu juga, Cala. Nanti yang terakhir baru aku."
Calandra tersenyum senang, membiarkan Aderiyo menambahkan warna kuning pada telapaknya. Menempelkan di sisi kanan telapak Aluna. Sementara di sisi kirinya lagi telapak tangan Aderiyo dengan warna biru.
"Cantik kalau dikasih nama." Calandra mengusulkan, lalu Aderiyo menuliskan nama mereka di masing-masing telapak tangan. "Wah, jadi cantik ya lukisannya. Padahal tadi cuman coretan warna."
"Kadang lukisan abstrak kayak gini yang banyak mencuri perhatian. Nggak tanggung-tanggung, lukisan abstrakku pernah ditawar dengan harga yang lumayan tinggi."
"Wow, tapi kamu mah emang hebat banget!" Calandra mengacungkan jempol, Aluna ikut memberikan tepuk tangan. "Kadang malah yang abstrak itu lebih susah ya?"
"Bener. Aku dulu belajar dari temen, dia sehebat itu bikin lukisan abstrak. Hasil akhirnya beneran bagus banget."
"Kasih nilai lagi, Om." Aluna mengedipkan mata, menatap polos. Dia senang jika hasil jerih payahnya mendapatkan nilai yang memuaskan, nanti akan dia simpan di kamarnya. "Asik, delapan puluh lima. Makasih, Om Riyo."
"Sama-sama, Aluna. Jangan malas latihan melukis di rumah ya, biar makin hebat."
"Oke, nanti aku melukis bareng Nona Cala." Membereskan semua peralatan melukisnya, bertanggung jawab dengan apa yang sudah dia lakukan. "Nona Cala, tolong ambilkan kuas yang itu. Punyaku kan?"
"Iya. Makasih ya, aku tadi pinjam."
Aderiyo gemas melihat Aluna. "Siapa yang mengajari kamu sepintar ini, hum? Habis selesai ngelukis, bisa membereskannya juga."
"Nona Cala yang ajarkan. Sehabis main juga aku masukin lagi mainannya ke dalam keranjang. Kalau habis makan, harus cepetan dibuang bungkusnya. Nanti ada semut dan kecoak, aku takut." Menaikkan bahu, sibuk mengemas dan memasukkan ke dalam tas.
"Hebat kamu bisa ngedidik anak seusia Aluna dengan baik, Cala. Dia paham apa yang kamu kasih tau, ditiru dan jadi kebiasaan dia. Aku sampai kagum, dari pertama kali ketemu sampai hari ini Aluna nurut terus sama kamu. Udah cocok jadi Mama." Aderiyo menaikkan alis, Calandra malu sendiri jadinya.
"Nggak nyangka juga kenapa bisa sedekat ini sama Aluna. Padahal ketemunya juga nggak sengaja, aku nolongin dia waktu mau ketabrak mobil. Terus ketemu berikutnya juga nggak direncanain, sampai akhirnya nih bocil ngintilin aku mulu. Ke mana pun aku pergi, maunya ikut. Kalau orang nggak tau, dikira beneran anak aku."
Aderiyo tertawa. "Nggak pa-pa, sekalian belajar, biar nggak kaget lagi kalau udah punya anak di masa akan datang." Lalu menatap Aluna yang sudah selesai beberes. "Bersihin tangan dulu, cat warnanya sampai ke muka kamu. Kayak badut."
Aluna memeletkan lidah. "Hidung Om Riyo juga ada warnanya, aku yang kasih tadi. Ayo, Nona Cala, bantuin aku ngehapus cat warnanya. Aku juga mau mandi ah, udah keringetan. Biar wangi."
"Ayo sekalian aja bersihinnya sambil mandi. Biar Om Riyo tunggu di sini dulu."
"Om mau tunggu aku mandi dulu kan? Setelah itu baru kita jalan-jalan ke rumah Om, aku mau liat Bubu."
"Oke, boleh. Mandi yang bersih, biar wangi." Aluna menganggum cepat, mengacungkan jempolnya.
Calandra menggendong Aluna, membawa anak itu ke kamar mandi. "Kamu belum tidur siang hari ini, nanti kelelahan."
"Aku nggak ngantuk. Nanti habis main dari rumah Om Riyo, aku tidur. Oh iya, Nona Cala suka sama Om Riyo ya? Dia ganteng."
"Hutss, nggak boleh bilang macam-macam. Aku sama Riyo cuman temenan. Nggak pacaran, nggak ada hubungan lebih juga. Kamu ini masih kecil, nggak boleh tau ngomong pacaran gitu. Denger dari mana sih?"
"Tante Fara. Biasanya dia bilang mau pacaran dulu sama Papa."
Calandra menghela napas kasar. "Kalau sekiranya kata-kata yang kamu denger nggak bermanfaat untuk kemajuan kamu, jangan ditiru. Lagian kamu nggak tahu pacaran itu apa kan? Masih kecil, belum boleh ikut omongan orang dewasa."
"Tau kok!" Calandra membulatkan mata. "Sayang-sayangan kayak Papa sama Tante Fara kan? Berduaan di kamar."
"Astaga!" Mau tidak mau, terpaksa Calandra menjerit kaget. Bisa-bisanya Aluna paham jika Kenny dan Faradilla sering berduaan di kamar. "Pokoknya nggak boleh lagi bilang pacaran, nanti dimarahi Tuhan."
"Oke, Nona Cala. Jangan marah ya, aku minta maaf." Mengulurkan tangan, meminta digendong lagi setelah selesai mandi. "Nona Cala tetap mau temenan sama aku kan?"
"Iya, tapi janji nggak boleh ngomong sembarangan ya?" Aluna mengangguk cepat, memeluk leher Calandra.
"Sudah mandinya? Wangi banget!"
Aluna cekikikan. "Sudah dong, aku pakai baju dan cantik-cantik dulu ya. Nona Cala hebat loh ngerapiin rambut aku. Aku mau dikepang hari ini. Boleh kan, Nona Cala?"
"Boleh aja. Tapi tunggu kering dulu rambutnya, basah gini digerai aja."
"Aku ke kamar dulu sebentar, kamu nyemil aja."
"Iya, santai. Kayak sama siapa aja. Urus Aluna dulu, aku bisa tunggu di sini. Nggak bakal ilang diculik orang kok, tenang aja kamu." Calandra tertawa geli, Aderiyo berusaha menggodanya.
Hanya membutuhkan waktu sekitar sepuluh menit, Aluna sudah rapi dan cantik. "Aku sudah wangi, Om." Duduk di pangkuan Aderiyo, tersenyum malu-malu.
Aderiyo mengecup pipi Aluna. "Tunggu Nona Cala bersiap dulu, baru kita berangkat."
"Rumah Om Riyo jauh nggak?"
"Enggak, deket kok dari sini."
"Kita jalan kaki?"
"Enggak. Mobil aku ada di depan gang, parkir di sana."
Aluna mengangguk. "Bubu nakal nggak?"
"Enggak, dia lucu. Biasanya kalau diajak main dia suka banget. Aktif, sama kayak kamu."
"Benarkah? Aku juga punya kelinci kesayangan, namanya Keli. Dia suka main dan lari-larian. Kami sering main di halaman, sampai aku capek kejar dia. Keli ada kalung warna pink, Bubu ada kalung juga nggak?"
"Ada dong. Kalungnya warna abu-abu, karena dia cowok."
"Nanti main ke rumah aku, ajakin Bubu. Kali aja dia mau lari-larian sama Keli, lucu kan?"
Aderiyo mengusap puncak kepala Aluna, mengangguk mengiyakan. "Kamu sayang sama Nona Cala ya?" bisiknya secara tiba-tiba. "Dia baik kan?"
Mata Aluna langsung berbinar. "Iya, aku sayang Nona Cala. Dia baik dan cantik." Cekikikan geli sambil berbisik. "Om Riyo suka Nona Cala ya?" tanyanya to the point.
"Rahasia dong!" Menoel hidung Aluna, lalu memeletkan lidahnya gantian. "Jangan bilang Nona Cala kalau aku tanya soal dia ya?"
"Oke, aku bakal pegang rahasia. Nona Cala baik, nanti jadi Mama aku aja."
Senyum Aderiyo seketika memudar. "Maksudnya gimana?"
"Tapi Papa sama Tante Fara. Aku nggak suka dia, karena orangnya nggak asik. Aku mau Nona Cala aja, tapi kata Papa nggak bisa."
"Biar Papa kamu sama Tante Fara itu aja. Nona Cala buat aku." Masih saling berbisik pelan.
"Haaa, ketahuan!" Aluna mengulum senyum, menutup mulutnya biar tidak kedengaran ketawa. "Om Riyo suka Nona Cala."
"Rahasia, oke?"
"Oke. Tapi Nona Cala punya aku. Jangan ambil ya."
"Kamu boleh main sepuasnya sama Nona Cala, aku nggak bakal ngelarang."
Aluna memeluk Aderiyo. "Om Riyo baik, Nona Cala juga baik."
"Aduh-aduh ... ada momen apa nih, kok main peluk-pelukan nggak ngajak aku?"
"Ayo sini, Nona Cala. Pelukan juga sama Om Riyo. Wah ... Nona Cala wangi banget!"
Calandra menoel pipi Aluna. "Lucu banget sih. Ayo berangkat, biar kamu pulangnya nggak telat. Nanti kesian Pak Didi jemput, kamu masih di rumah Om Riyo."
"Aku menginap di sini aja, boleh kan Nona Cala?"
"Kata Papa tadi belum boleh menginap dulu. Jangan ingkar janji, nggak baik kayak gitu."
"Ish, Nona Cala nggak asik. Aku digendong sama Om Riyo aja. Ayo, Om. Bawa aku melihat Bubu."
***
"Aluna ketiduran, ada di kamar. Gendong aja kalau mau balik sekarang. Tadi habis main ke rumah temen aku." Calandra mempersilakan Kenny masuk, ternyata bukan Pak Didi yang menjemput Aluna. Cuaca menjelang maghrib ini begitu mendung, mungkin sebentar lagi akan turun hujan.
Kenny mengedarkan pandangan melihat setiap sudut kontrakan Calandra. Tidak banyak barang, semua terlihat rapi dan bersih.
"Kontrakannya emang sempit, tapi nyaman kok. Aluna aja betah di sini." Calandra bersandar pada dinding, melipat kedua tangannya di depan dadaa. Dia tahu jika Kenny sedang mengomentari kediamannya dalam diam. Terlihat dari tatapannya. "Awas aja kalau ngatain yang enggak-enggak. Aku pukul kamu!"
"Kejamnya." Kenny geleng-geleng, menatap Calandra beberapa saat. "Berduaan aja sama Aluna di rumah?"
"Kenapa? Kamu nggak berniat melakukan yang macam-macam kan? Omesss! Aku teriak ya, biar kamu digebukin orang satu gang ini!"
Kenny terkekeh. "Kamu takut banget. Tenang aja, saya udah kenyang sama Faradilla, nggak minat sama kamu. Kecil!"
Calandra mengangkat tangannya, namun urung memukul saat Kenny berusaha menghindar duluan. "Terserah mau ngatain fisikku gimana, yang penting aku sehat. Lagian aku juga nggak pengin seksi kayak Faradilla. Kesian gunung kembar dan pahanya jadi santapan semua orang yang liat." Menaikkan bahu, membalas kalimat Kenny dengan santai tapi tepat sasaran. Memang benar yang Calandra ucapkan, Faradilla senang sekali menggunakan pakaian serba terbuka.
"Kok malah ngatain Fara. Kamu punya dendam kesumat atau gimana sama dia?"
"Kamu juga suka banget ngatain aku. Heran! Sekalinya aku balik mengatai Fara, kamu langsung ngamuk. Kan aneh!"
Sibuk berdebat, tiba-tiba badai turun sangat lebat. Calandra menganga, langsung menuju ke dapur menyiapkan beberapa wadah untuk menadah air hujan yang rembes agar tidak banjir ke mana-mana. Setiap kali hujan, bagian dapur Calandra selalu jadi permasalahan. Genteng yang bocor belum sempat dia perbaiki.
"Kalau hujan pasti begini?" tanya Kenny memerhatikan kecemasan Calandra. "Kenapa nggak pindah kontrakan aja sih?"
Calandra menghela kasar, melipat kedua tangannya ke pinggang. "Segampang itu bilangnya? Ini kontrakan udah nyaman banget buat aku dan Cilla tinggali selama bertahun-tahun. Suka dan duka kami lalui di sini."
Kenny akhirnya hanya ber-oh-ria. "Mau liat Aluna dulu, di mana kamar kamu?"
"Jangan masuk, aku nggak mau kamu melakukan yang enggak-enggak di sana!"
"Cuman mau melihat anak saya. Jangan cari masalah, saya lagi capek."
Calandra akhirnya mengalah, menunjukkan Kenny kamarnya yang berada paling depan. "Jangan diganggu, dia nyenyak banget tidurnya. Kesian kalau kebangun, nanti cerewet."
Pertama kali Kenny masuk, dia kembali menyusuri setiap sudut ruangannya. Meski kamar Calandra kecil, semua barang-barang tertata rapi pada tempatnya. Tidak ada ranjang dan lemari mewah seperti di kediaman Ryder, tapi enak dipandang. Sama sekali tidak berantakan, bersih, dan wangi. Sempat sedikit mencuri perhatian Kenny aromanya saat masuk tadi. Manis vanilla!
"Mau ngapain?" tanya Calandra cepat, menahan Kenny yang tiba-tiba membuka jas kerjanya. "Sumpah, aku takut banget sama kamu. Kalau mau ngelakuin hal kotor, jangan di sini, Ken. Rumah aku kontrakan kecil, kedengeran kalau kita berantem, nanti diusir sama Pak RT."
Kenny mendorong kening Calandra. "Otak kamu yang mesumm banget. Setiap kali liat saya, bawaannya pasti saja takut dan takut. Saya nggak bakal perkosaa kamu, kecuali kamu mau. Boleh juga kita coba nant---aw, sakit Calandra!" Mengaduh saat kakinya diinjak kasar. "Kdrt mulu!"
"Punya mulut dijaga dong!"
"Suka-suka saya mau bilang apa."
"Tapi ini rumahku!"
"Oh sombong ya sekarang kamu?"
Calandra membuang muka. Tidak berniat menanggapi hal yang menurutnya tidak benar.
"Saya baru pulang dari pertemuan bisnis. Capek, mau istirahat sebentar." Meski hari libur, Kenny tetap sibuk dengan pekerjaan. Terbukti jika dia tidak memiliki waktu untuk menemani Aluna bermain. "Hujan belum reda, biarin saya tidur bareng Aluna dulu."
"Ken, jangan bercanda. Ini kasur aku. Nggak ada yang pernah nyentuh tempat tidur aku selain Cilla, Aluna, sama Bella!"
"Ya sudah, biar saya jadi pria yang pertama!" Langsung berbaring di sisi Aluna, tanpa merasa berdosa sama sekali. "Kalau mau mengulang kejadian pagi itu, tidurlah di samping sana. Paling nanti yang liat Cilla."
"Ogah!"
Kenny tertawa kecil. "Kalau hujan sudah reda, bangunkan saya."
"Ken, aku takut dimarahi Pak RT. Aku nggak pernah bawa teman cowok lama-lama ke sini. Apalagi sampai main ke kamar. Aderiyo aja kalau main cuman di ruang depan, pintu aku buka lebar. Kamu jangan bercanda gini, aku takut orang sekitar berpikiran yang nggak baik tentang aku."
"Saya cuman numpang istirahat sebentar. Sensi banget tetangga kamu kalau sampai berpikiran yang macam-macam. Suruh aja tinggal di hutan."
"Nggak lucu, Ken."
"Jangan banyak omong kamu, nanti saya kekepin baru tahu rasa!"
Calandra bergidik ngeri, kemudian langsung saja meninggalkan Kenny ke ruang depan. Dia duduk di kursi, sembari menunggu hujan reda. Berharap sekali Cilla cepat datang, biar dia ada teman di rumah. Berduaan dengan Kenny dalam keadaan seperti ini seram juga.
"Astaga, Ken. Mati lampu!" Calandra langsung melompat dari kursi depan, mencari pertolongan. Dia sangat takut kegelapan. "Ken, tolong nyalakan senter. Aku takut, aku nggak bisa napas kalau gelap gini." Karena melangkah buru-buru dalam gelap, Calandra tidak sadar jika Kenny berdiri di hadapannya. Menabrak pria itu hingga keduanya sama-sama terjatuh ke lantai.
Sentar ponsel Kenny menyala, menerangi keduanya yang masih nampak bingung. "Kapan rencananya mau bangun? Posisi kamu bikin saya panas dingin." Meski berkali-kali mengatakan tidak tertarik dengan Calandra, Kenny tetap pria normal. Kucing mana yang menolak jika dikasih ikan bukan?
Calandra memukul dadaa Kenny, langsung duduk dan menutup wajahnya. Bibir mereka hampir bersentuhan, untung tidak terjadi sesuatu yang berlebihan. "Aku takut gelap, lilin ada di dapur."
"Ayo saya antar nyari lilin. Udah besar kok takut gelap, heran!"
Mau tidak mau, Calandra melangkah bersisian dengan Kenny, memegangi ujung kemeja pria itu. "Hati-hati licin, Ken, atap bocor kalau hujan gini. Takutnya kepleset kamu."
Calandra mengambil lilin, menyalakan beberapa untuk di dapur, di ruang depan, dan di kamar tempat Aluna tidur.
"Tutup pintu, kunci. Mati lampu gini kesempatan orang mau berbuat kejahatan. Siapa tahu ada orang nggak dikenal masuk, ngelakuin yang enggak-enggak. Saya nggak bakal ngapa-ngapain kamu. Nggak usah berpikiran buruk mulu."
"Iya, tunggu di sini dulu. Aku beneran takut gelap, Ken." Calandra menutup pintu dan cendela, menguncinya sampai rapat. "Jangan pulang, aku takut sendirian kalau mati lampu."
"Iya, di luar masih hujan juga."
Calandra akhirnya mengangguk. "Saya mau temenin Aluna di kamar, kesian ditinggal sendirian. Kamu kalau takut sama saya, duduk di sini aja. Nggak bakal bolong digigit hantu."
"Ish, ngomongnya!" Langsung was-was menatap sekelilingnya.
Kenny menaikkan bahu. "Ikut apa enggak?"
"Kamu nggak bakal jahil kan?"
"Nggak mungkin saya jahilin kamu, nanti Aluna bangun. Kecuali pelan-pelan sambil bisik-bisik."
Calandra berdecak sebal. "Nggak lucu bercandanya. Aku beneran takut."
"Takut aja kamu banyak gaya. Mau tetap di sini atau ikut ke kamar?"
Tanpa bicara, Calandra duluan menuju jamar. Kadang Kenny gemas sendiri dengan sikap Calandra, ada saja tingkah konyolnya.
"Di kamar kamu nggak ada sofa, terpaksa saya duduk di kasur juga. Dingin kalau ngemper di lantai."
"Jangan banyak ngomong, Ken, nanti Aluna bangun."
"Kamu yang duluan ngomel mulu. Padahal saya sudah ngomong baik-baik. Nanti kamu darah tinggi, emangnya mau?"
Calandra menaikkan bahu, mengabaikan Kenny--memilih diam dan berharap lampu segera menyala. Tidak nyaman sekali berduaan dengan Kenny begini, jantung Calandra tampaknya tidak begitu bersahabat.