"Banyak gaya sih, makanya jatuh." Kaki Calandra terluka akibat tidak sengaja tergelincir di dapur dan tergores seng gelombang yang dia letakkan tidak jauh dari kamar mandi. Tadinya ingin Calandra keluarkan, hanya saja lupa saat Aluna datang. "Tahan sedikit, ini bakal perih." Menghentikan pendarahan dengan sebuah cairan bening, membuat Calandra menjerit kesakitan.
"Ken, sakit!" Menutup wajahnya, berusaha menahan agar tidak berteriak meski air mata sudah mengambang di pelupuk. "Perihnya. Ini gara-gara kamu nakutin aku. Habis aku jatuh!" Calandra kebelet buang air kecil di tengah gelapnya ruangan, meminta Kenny menemani ke dapur untuk memberikan penerangan lebih banyak menggunakan senter ponsel.
Kenny jahil, dia menakuti Calandra dengan mengatakan ada kuntilanak di dekat kamar mandi. Berniat ingin lari, malah terjungkal dengan mengenaskan. Akhirnya Calandra menangis, Kenny kelimpungan sendiri.
Sebenarnya Kenny ingin tertawa saat Calandra jatuh, tapi melihat ada darah yang mengotori lantai, rasa panik seketika terpancing dari dalam diri.
"Sudah terlanjur jatuh, jangan main salah-salahan. Siapa suruh kamu penakut banget. Ini rumah kamu, kok bisa berpikiran macam-macam. Kayak anak kecil. Malu kamu kalah sama Aluna, dia pemberani banget."
"Bodo amattt! Aku beneran takut, nggak bisa ditawar kalau urusan yang satu ini." Wajahnya cemberut, membiarkan Kenny mengobati lukanya sampai tertutup dengan obat pereda nyeri. Darah Calandra cukup banyak keluar, seng itu tajam sekali.
"Sudah selesai, luka dikit doang. Masih jauh dari kematian, Cala. Nggak usah lebay!" Saat Kenny berdiri dari kursi, lampu tiba-tiba menyala. Semua ruangan menjadi terang kembali, terlihat jika ada beberapa bercak darah yang menempel di lantai saat Calandra melangkah dari dapur ke ruang depan tadi.
"Lihat darah kaki aku, banyak. Kamu pikir ini nggak sakit? Gimana aku berangkat kerja besok, nggak bisa pakai sepatu."
"Bilang aja kakinya luka gara-gara saya, kepala pabrik nggak bakal berani marahin kamu. Kalau dia nekat, nanti saya kasih teguran tegas. Nggak ada yang berani dengan saya."
"Ogah banget. Jangan sampai orang pabrik tau kalau kita saling kenal. Najissss!" Calandra memeletkan lidah, membuka pintu depan. "Hujan sudah reda, waktunya pulang. Aku bakal bantu membangunkan Aluna."
Lihat bukan, hanya Calandra yang tidak bangga berkenalan dengan Kenny. Berbeda dengan wanita di luar sana, malah banyak yang mengemis cinta dan meminta perhatiannya. Sampai rasanya Kenny geli sendiri melihat wanita kurang belaian seperti itu.
"Apa kamu nggak berniat menahan saya di sini dan kita tidur bersama? Banyak di luar sana wanita yang memerlukan kehangatan---"
"Kepedean! Sayanganya aku bukan wanita gatel itu. Sana gih tidur sama siapa pun, aku nggak peduli. Jangan samakan aku dengan orang lain. Kita punya cara masing-masing mencari kebahagiaan hidup."
"Jual mahal banget. Nanti saya cicil baru tahu rasa kamu!"
"Kamu pikir harga diri aku kreditan mau dicicil? Mulutnya kurang ajar, minta ditabok!"
Kenny tersenyum miring. "Minta dicipokk aja boleh nggak?" Pada detik selanjutnya, bibir Kenny dipukul oleh Calandra. Sekejap mata, sampai tidak sempat menghindar. "Sakit, Calandra. Kamu baru aja aku tolongin. Mau aku injak luka kamu biar berdarah lagi?"
Calandra tidak sempat menjawab ucapan Kenny, Aluna sudah berteriak di dalam kamar mencari dirinya. "Nona Cala ... di mana, Nona Cala?"
"Aku di sini." Calandra tersenyum, melangkah pincang mendatangi Aluna. "Kenapa teriak-teriak? Mimpi buruk ya?"
Aluna memeluk Calandra, menyandarkan kepalanya pada bahu wanita itu. "Aku pikir Nona Cala pergi. Aku takut sendirian."
"Aku ada di sini."
"Wangi Papa." Aluna mengernyit, lalu tersenyum lebar saat melihat Kenny di ambang pintu kamar. "Papa datang jemput aku?" Mengulurkan kedua tangannya pada Kenny, meminta dipeluk. Ritual wajib ketika bangun tidur, tapi sering diabaikan karena Kenny selalu sibuk.
"Kesayangan Papa!" Mengecup pipi Aluna menggendong anak itu sambil menepuk-nepuk pantatnyaa. "Nyenyak banget tidurnya, sampai nggak sadar tadi mati lampu dan Nona Cala jatuh di dapur."
"Nona Cala jatuh?" Kesadaran Aluna terkumpul penuh, dia menatap Calandra dan Kenny bergantian.
"Lihat kaki Nona Cala, berdarah."
Aluna menoleh pada kaki Calandra, lalu meminta diturunkan dari gendongan Kenny. "Yah, Nona Cala berdarah. Sakit banget kah? Kok bisa jatuh sih, Nona Cala. Harusnya hati-hati. Jangan lari-larian, nggak boleh."
Calandra menghela napas, tidak mungkin dia mengatakan jika lukanya hasil kejahilan Kenny kan? Nanti Aluna marah pada Papanya sendiri.
"Tadi kepeleset dekat kamar mandi, kakinya kena seng. Sobek dikit."
Tatapan Aluna berubah sedih, langsung mengusap lengan Calandra. "Jangan sedih ya, Nona Cala. Nanti cepat sembuh kok. Gimana kalau Nona Cala mau jalan, apa nggak sakit?"
"Sakit. Aku juga bingung, besok kan kerja harus pakai sepatu."
"Yah sekian banget Nona Cala. Bawa ke rumah sakit, Pa."
Kenny mengecup puncak kepala Aluna, dia seperti membela ibunya yang sedang terluka. Seperhatian itu Aluna pada Calandra. "Sudah Papa obati, Nona Cala baik-baik aja. Sebentar lagi sembuh kok. Besok Nona Cala bisa ke pabrik pakai sendal dulu."
"Boleh, Pa?"
"Boleh kok."
Aluna mengangguk. "Cilla belum pulang ya?" Calandra menggeleng. "Kesian Nona Cala sendirian. Kita menginap di sini aja ya, Pa? Tidur bareng Nona Cala, seru. Dia wangi."
Calandra membulatkan mata, menggeleng cepat. "Nggak bisa, Aluna. Nanti digrebek Pak RT dan para tetangga sini, bisa-bisa Papa kamu langsung dinikahkan sama aku!"
"Nyolot banget nadanya. Nggak kepengin kamu nikah sama saya?" Kenny menautkan alis, merasa benar-benar tertolak oleh Calandra. Harga dirinya seujung kuku jika bersama wanita matre satu ini.
"Ogah!" Calandra menaikkan bahu. "Cilla bentar lagi pulang kok. Aluna sama Papa harus segera pulang, udah malam."
"Besok kita main lagi ya?"
"Nggak janji, soalnya kerjaan aku banyak banget. Kalau main terus, aku bisa dipecat. Kerja siang-malam gini aja aku masih hidup susah, gimana kalau nggak kerja sama sekali. Bisa mati kelaparan."
"Kan ada Papa."
Calandra mencubit dahu Aluna. "Kehidupan aku dan Cilla bukan tanggungan Papa kamu. Kalau aku masih bisa kerja, aku bakal berusaha sendiri. Nggak mau ngerepotin orang."
"Baik banget Nona Cala." Mengusap pipi Calandra, berakhir dengan menoel ujung hidungnya. "Jadiin Nona Cala Mama aja, Pa. Nggak kerja, nggak pa-pa. Tante Fara juga nggak kerja, dia suka di rumah."
Kenny tersedak air liurnya sendiri, mengerjap bingung menanggapi permintaan Aluna. "Waktunya pulang. Udah malam, Sayang. Nona Cala juga perlu istirahat." Menggendong putrinya, membawa kembali barang-barang yang Aluna bawa tadi siang. "Makasih udah temenin Aluna main, nanti hitung saja semua biaya yang perlu saya bayar."
"Oke." Calandra tersenyum singkat, lalu melambaikan tangannya pada Aluna. "Hati-hati di jalan. Sampai ketemu nanti!"
Senyum Calandra belum pudar, bariton seseorang dari sebelah kirinya terdengar kejam. "Cengar-cengir aja, bayar utang kapan?!" Sedikit membentak dan mimiknya nampak tidak bersahabat. "Kasih kita uang, setidaknya satu juta dulu!"
"Nggak ada!" Calandra ingin menutup pintu, tapi preman itu duluan menghalangi. Dia menghentakkan pintu kayu dengan kasar, untung tidak mengenai wajah Calandra. "Aku bilang nggak ada kalau sekarang. Cilla mau ujian akhir sekolah, perlu banyak biaya."
"Satu juta dulu!"
"Nggak ada!"
Preman itu masuk tanpa Calandra persilakan, masih menggunakan sepatunya yang kotor. "Ambil uangnya atau gue cari sendiri?"
"Dua ratus ribu gimana?"
"Lo pikir kita anak kecil dikasih uang segitu? Udah dua minggu ya kita bebasin lo cekikikan di luar sana. Bayar, sebelum kesabaran gue habis!" Preman itu mengamuk dengan pandangan yang beringas. Dulu pernah dia sampai merusak pintu Calandra, membuat para tetangga takut.
Melihat Calandra sama sekali tidak bergerak, dia berniat langsung ke kamar. Calandra berdecak murka, segera menghentikan. "Oke, oke! Jangan merusak dan mengambil apa pun dari rumah ini. Nggak ada barang berharga yang bisa kalian jual. Satu juta, aku bakal kasih satu juta dulu!" Tubuh Calandra bergemetar takut, sakit pada kakinya seketika tidak terasa.
Uang untuk biaya kelulusan Cilla habis, diambil semua oleh preman berbadan gempal itu. "Siapin uang lebih banyak, gue bakal datang lagi. Hutang lo itu beranak-anak setiap bulannya, jangan seneng-seneng aja kerjaan hidup lo!" Beranjak dari kontrakan Calandra, tanpa berterima kasih atau basa-basi apa pun setelah mendapatkan yang dia mau.
Sudah sering Calandra menerima perlakuan begini, bahkan tadi tidak begitu kejam seperti kedatangan sebelumnya. Pernah hidung dan bibir Calandra sampai berdarah akibat kena pukulan atau lemparan kursi. Menyakitkan, tapi apalah daya ... Calandra duluan yang membuat masalah dengan mereka melalui sebuah hutang.
"Jangan nangis. Lo kuat, Cala." Berusaha menguatkan diri, mengusap permukaan dadaanya sambil berucap yang baik-baik. Perasaannya selalu tidak tenang saat bertemu para preman, takut mereka menyakiti Cilla ketika Calandra tidak membayar hutang.
Sebelum Cilla datang, Calandra cepat-cepat membersihkan jejak sepatu preman tadi. Tidak akan dia biarkan Cilla melihat kesedihannya. Uang bisa dicari besok, yang penting Cilla tetap fokus pada ujian dulu.
***
Aderiyo sedang menghadap kedua orang tuanya, duduk bersama di ruang keluarga. "Ada yang mah diomongin, Pa?"
"Masih menyukai gadis yang sama sejak jaman kamu sekolah dulu?" tanya Tuan Jovandra sambil menyesap kopi buatan istrinya. Dia melihat dari kejauhan bagaimana keseruan Aderiyo bermain dengan Calandra dan Aluna tadi sore di halaman kediaman mereka.
Tuan Jovandra sangat mengerti jika putranya sedang berbahagia dengan sang pujaan hati. Mereka telah lama berpisah, akhirnya kembali bertemu untuk mengurangi rasa rindu.
"Iya, Pa." Aderiyo tersenyum, tidak sulit menanggapi pertanyataan seperti ini. Dia memang menyukai Calandra, sejak dulu perasaannya tidak pernah berubah. Meski dia sekolah di luar negeri, bertemu dengan banyak wanita di sana, tetap saja hatinya tahu tempat berpulang paling nyaman.
Calandra itu sosok wanita paling sederhana yang pernah Aderiyo temui. Hidupnya tidak ribet seperti kebanyakan wanita. Mandiri, pekerja keras, dan penyayang pastinya. Hal kecil yang Calandra lakukan, selalu berhasil mencuri perhatian Aderiyo. Calandra baik, jujur, selalu tampil apa adanya. Semua yang ada pada diri Calandra, Aderiyo menyukainya. Kagum, bangga, dan jatuh dalam pesonanya.
"Papa tahu Cala anak gadis yang baik dan sopan. Dia ramah sekali setiap kali main ke sini. Tapi kamu tahu bahwa dia tidak akan pernah menjadi menantu di rumah ini kan?"
Senyum Aderiyo seketika lenyap. "Kenapa, Pa? Jaman sudah maju, harusnya pemikiran kita juga jadi lebih luas. Kenapa kita harus mengikuti perintah Nenek? Calandra memang nggak punya orang tua, tapi dia wanita yang baik. Aku menyukainya, sudah jatuh hati sama dia sejak dulu. Persetann dia mau punya keluarga yang utuh atau enggak, aku tetap akan memilih dia."
"Riyo, jangan meninggikan nada bicara kamu sama Papa. Nggak sopan banget!" Nyonya Jovandra angkat bicara. Menyuruh putranya lebih mengontrol emosi. Setiap kali membahas masalah ini, mereka selalu berdebat.
"Aku cuman nggak paham sama jalan pikir keluarga kita. Memangnya kenapa sama orang yang nggak punya orang tua, Ma? Apa itu kemauan dia? Andai Calandra bisa memilih, dia juga pengin punya orang tua yang utuh." Aderiyo menghela napas kasar, mencoba sabar dan tetap tenang meski sangat lelah jika membahas masalah ini.
"Nggak ada yang mau hidup susah tanpa orang tua. Begitu pun dengan karier, semua orang juga pengin sukses. Tapi kembali lagi pada kuasa Tuhan, Dia menggariskan takdir setiap manusia itu berbeda-beda. Malahan lucu kalau di dunia ini kita semua hidup bahagia, sukses, tanpa ujian apa pun. Bahkan dalam dunia mimpi dan dongeng pun, nggak ada kisah kehidupan sesempurna itu. Jangan bercanda, Pa, kehidupan aku bukan lelucon yang hanya bergerak saat mendengarkan perkataan Nenek. Aku yang punya kuasa, aku yang lebih tahu, aku yang bakal memutuskan sebuah pilihan."
"Keputusan Nenek nggak bisa diganggu gugat, Riyo. Sejak dulu kami selalu menurut sama Nenek kamu. Terbukti sampai keluarga kecil kita hidup bahagia, selalu tercukupi apa pun yang kita butuhkan." Memang benar, keluarga Jovandra tidak ada yang gagal kalau urusan karier. Semuanya sukses dalam bidang masing-masing. Tapi ini bukan semata-mata hanya karena Nenek, tapi mereka belajar dan berusaha untuk mewujudkannya bukan?
"Lalu kenapa Om Delon bisa cerai dengan istrinya? Hubungan rumah tangga mereka nggak baik-baik aja. Istri Om Delon ketahuan selingkuh, terus kabur sama pria lain. Apa dengan dia berasal dari keluarga yang utuh, memiliki kedudukan, dan berduit bisa menjamin kebahagiaan mereka? Enggak, Ma, Pa. Cinta, kasih sayang, dan bahagia nggak melulu soal itu. Aku tahu gimana Calandra, siapa pun akan beruntung memiliki dia."
"Sampai kapan pun Nenek nggak bakal setuju. Kamu jangan bikin keluarga kita terpecah karena satu orang baru. Cari wanita lain, berusaha membuka hati lagi. Mama paham kalau ini nggak mudah, tapi dicoba dulu. Andai Calandra punya orang tua, Nenek bisa aja mempertimbangkannya meski mereka bukan dari keluarga berada."
Masalah Calandra komplit di mata keluarga Jovandra. Dia tidak memiliki orang tua, jangankan untuk mempunyai kedudukan, hidupnya saja pas-pasan.
"Semoga cepat sembuh pemikiran sakit kayak gini di keluarga kita, Ma. Dari dulu aku nggak pernah mau dengar kata Nenek. Ini hidup aku, orang lain nggak berhak menakar kebahagiaan aku dari segi apa pun. Aku bakal tetap mencintai Calandra, meski Nenek dan seluruh dunia nggak setuju." Aderiyo bangkit dari tempat duduknya, menuju kamarnya yang ada di lantai atas.
Aderiyo mengunci pintu, tidak memberikan kesempatan kepada siapa pun mengacaukan pikirannya. Dia kembali tinggal ke Indonesia untuk mengejar mimpi, bukan terjerat oleh perintah Neneknya.
Andai keluarganya tidak serumit ini, mungkin sudah sejak dulu Aderiyo menyatakan perasaannya pada Calandra.