Saat jam makan siang, Calandra bersama Bella menuju kantin. Hari ini entah kenapa kepala pabrik begitu baik hati. Semua pekerja di traktir makan sehabis mereka gotong royong membersihkan halaman. Tumben sekali tidak marah-marah, malah terkesan ramah dan sopan. Mungkin kata Bella, kepala pabrik juga dapat bonus besar dari Kenny.
"Lo kenal Pak Kenny itu, Cala? Soalnya dari cara dia ngomong waktu itu, kalian kayak udah kenal sebelumnya. Dia juga natap lo dalam banget." Bella membuka tutup botol air mineralnya, meminum hingga setengah bagian. Gotong royong dilakukan setiap dua minggu sekali. Selalu melelahkan, tapi seru karena bisa mengobrol lebih banyak dengan teman-teman yang lain.
Calandra menaikkan bahu. "Nggak kenal."
"Bohong lo ya!" Bella memicingkan mata. "Kalian kayak dekat gitu. Padahal nggak pa-pa juga kalau beneran saling kenal, cocok kok. Muka lo udah cantik, tinggal dipoles dikit aja, nggak kalah saing sama artis."
"Artis papan lapuk maksud lo?" Bella tergelak, Calandra mencubit tangannya. "Pria kayak dia itu nyebelin. Bikin darah tinggi."
"Tapi hoki loh ya kita gara-gara dia datang ke sini dan lo minta dinaikkan gaji. Apalagi kalau lembur, tambah banyak bonusnya."
Calandra menaikkan bahu. Andai saja Bella tahu dia memang sudah kenal Kenny, entah bagaimana respon sahabatnya itu.
"Anak-anak pada bersyukur lo disuruh maju kemarin. Mereka bahagia karena dapat pemasukan lebih banyak. Pacarin aja Pak Kenny itu, Cala, kali aja lo dijadikan istri sama dia. Kan kata lo kemarin mau cari suami orang kaya. Mumpung pas banget momennya, pemilik pabrik kita punya anak tunggal kaya raya--Kenny Ryder. Pepet pakai jalur pelet!" Menepuk bahu Calandra. "Gue dukung seratus persen!"
Calandra menyentil kening Bella, membuat cewek itu mendesah kesal saling balas memukul. "Omongan gue waktu itu cuman bercanda, ya kali lo anggap serius. Lagian orang kayak Pak Kenny nggak mungkin suka sama cewek kayak gue. Dia punya istri baru tahu rasa lo, diamuk sama bininya."
"Ih, serem juga. Iya ya, nggak mungkin modelan kayak Pak Kenny belum punya istri. Paling enggak, dia udah punya calon kan? Kesian, lo udah terlambat, Cala. Cari aja sultan yang lain, masih banyak. Nanti kalau lo punya suami banyak duit, gue ngutang ya buat modal dagang. Mau punya usaha sendiri." Mengedipkan sebelah mata, lalu tertawa geli.
"Kenapa nggak lo aja sih yang nyari suami orang kaya. Kok gue yang jadi tumbalnya." Menerima pesanan mereka dari ibu kantin, lalapan dengan dua ayam sekaligus. Calandra sangat lapar, sejak tadi pagi belum sempat sarapan. Dia bangun terlambat, untung kepala botak lagi baik hati, jadi Calandra tidak diomeli gara-gara masuk lewat pagar belakang. Tentu saja memanjat.
"Rakus amat lo, Cala, bisa-bisanya pesan ayam dua. Laper atau cuman napsu?"
"Laper, belum makan dari tadi pagi. Mumpung lagi ditraktir, manfaatin aja gratisan ini dengan nggak tau diri." Calandra menaikkan bahu, menuangkan sambal ke dalam nasinya. "Lo niat menikah umur berapa, Bell?"
"Nggak tau, nggak ada yang suka gue kayaknya. Dari lahir gue belum pernah punya pacar, nasib gue apes. Apa gue kurang cantik ya? Jaman sekolah pun nggak kelihatan ada cowok yang deketin gue."
Calandra terkikik. "Ya sama aja kalau gitu, gue juga nggak pernah pacaran. Gue mentok nikah kayanya pas Cilla selesai pendidikan dokter. Fokus dulu gue sama masa depan dia."
"Jadi sekolah dokter si Cilla, Cal?"
"Jadi dong, harus banget. Gue nggak mau Cilla ngikutin langkah gue kerja serabutan. Paling enggak nanti hidup dia lebih baik daripada kita yang sekarang. Biar nggak makan nasi padang nunggu sebulan sekali. Gue berdoa setiap hari sama Tuhan, semoga nasib Cilla bener-bener enak. Gue juga sehat dan bahagia terus."
"Amin. Perjuangan lo patut gue kasih sepuluh jempol, Cala. Lo kakak yang hebat banget. Gue aja kadang sampai mikir, lo nggak capek apa kerja dari pagi ketemu larut, terus mau nyari sampingan lagi. Nggak semua orang sekuat elo, Cala. Gue bangga!"
"Yang jadi pikiran sekarang gimana bayar kebutuhan Cilla selama pendidikan, terus ngelunasin hutang biar nggak dikejar rentenir lagi. Takut banget mereka datang dan ngehancurin barang-barang di rumah. Ini terhitung lumayan lama mereka ngebebasin gue, sekalinya datang langsung bikin kegaduhan lagi. Kesian Cilla, dia pasti malu liat kakaknya kayak gini. Gue khawatir dia dikatain temennya di sekolah."
"Nggak mungkin Cilla malu punya kakak kayak lo, Cala. Dia pasti bangga banget, bahkan sebisa mungkin memberitahu dunia kalau dia bersyukur punya kakak yang baik dan penyayang."
"Gue sayang banget sama Cilla, nggak pengin dia sedih. Apa pun gue lakuin demi kebahagiaan Cilla. Dia prioritas gue."
"Gue tahu, dan itu keren banget. Andai gue punya saudara kayak lo, damai banget hidup gue. Cuman namanya manusia, pasti nggak mungkin sama garis takdir dan nasibnya. Untung kita masih dikasih sehat sama Tuhan, bisa kerja dengan maksimal. Cari uang meski capek, tapi hasilnya ada kan? Nenek gue masih hidup sampai sekarang, kita berdua bahagia meski dari kesederhanaan."
Calandra menjetikkan jari. "Banyakin bersyukur aja. Kita kalau hujan nggak kehujanan, nggak takut juga rumah roboh diterpa angin. Coba lihat orang-orang yang ada di bawah kita, bahkan untuk sekadar makan menu sederhana aja susah. Kadang kalau mau ngeluh, gue suka malu, Bell."
"Bener sih. Gue juga sering tau kalau abis pulang kerja, rasanya capek banget, pengin nangis. Tapi gue mikir lagi, banyak orang di luar sana yang mau kerja kayak gue, dapat gaji tetap. Masa giliran gue udah dapetin itu, malah suka ngeluh?"
"Tuhan baik banget. Kita hanya perlu merasa cukup dengan segala yang kita punya sekarang, udah bener-bener nunjukin rasa syukur yang nggak bikin lupa diri."
Bella mengangguk membenarkan. "Gue bantu doa biar kerjaan lo lancar, rezeki lo dimudahkan, dan Cilla bisa sukses menjadi seorang dokter."
"Terima kasih banyak, Bell. Mumumumu ...!" Bergaya layaknya dia ingin mengecup Bella. Keduanya kemudian tertawa geli.
Bertingkah konyol itu kadang perlu sekali untuk meredakan lelah, apalagi ketika beruntung memiliki sahabat yang baik dan saling mendukung.
***
"Papaaa ... Papaaaa!" Aluna baru saja dari halaman belakang. Sejak tadi bermain dengan kelinci kesayangannya. Mungkin agak sedikit bar-bar Aluna mengejar Keli, hewan itu tiba-tiba saja kebablasan naik ke atas pohon yang tinggi sampai tidak bisa turun kembali. "Papa, tolong ambilkan Keli. Dia lagi di atas pohon, takut jatuh kalau turun sendirian." Berteriak duluan, padahal dia belum tiba di kamar utama. Dasar Aluna!
Menaiki undakan tangga, mengetuk pintu kamar utama dengan tidak sabaran. Bukannya Kenny yang membukakan pintu, malah Faradilla. Wanita itu kelihatannya baru saja mandi dan merias wajah. "Di mana Papa?" ulang Aluna dengan napas tidak beraturan. Dia takut Keli beneran jatuh dan akhirnya mati. Selain Keli, Aluna tidak memiliki teman lagi.
"Papa kamu lagi keluar."
"Ke mana?"
"Kepo banget. Udah sana main aja sendirian di halaman belakang. Aku mau siap-siap, sebentar lagi jalan-jalan sama Papa kamu."
Aluna mengerucutkan bibir. "Jalan-jalan ke mana? Aku kok nggak diajak!" Melihat penampilannya yang kotor dan penuh keringat. "Aku belum mandi, belum bersiap. Gimana dong?"
"Siapa yang mau ajak kamu? Aku mau nonton berdua sama Papa kamu, susah kalau ajak anak kecil, nanti ngerepotin." Faradilla menatap sinis, menyuruh Aluna pergi dari kamar itu. "Mau apa lagi? Udah dibilang Papa kamu nggak ada." Melarang Aluna memasuki kamar utama lebih dalam, menyuruhnya tetap di depan pintu saja.
"Tante Fara ini nakal!" Menepis tangan Faradilla kasar.
"Kamu juga nakal!" balas Faradilla tidak mau kalah. "Sana ke halaman belakang, kamu main di rumah aja. Anak kecil nggak boleh kelayapan nggak jelas. Nanti ilang baru tahu rasa, nggak bisa pulang dan ketemu Papa lagi!"
Aluna menghentakkan kaki, membuat Faradilla kaget. "Tante pulang aja. Ini 'kan rumah Papa!"
Faradilla menggertakkan gigi, sudah sabar sekali dia menghadapi Aluna, tapi anak itu rupanya masih menguji amarahnya. "Ini bakal jadi rumah aku. Kamu jangan ngeyel, nanti aku ungsikan ke panti asuhan baru tahu rasa. Aku nggak suka anak kecil, apalagi pecicilan kayak kamu. Banyak gaya banget!"
"Aku bilang Papa ya!" Aluna melipat kedua tangannya di depan dadaa, mengangkat dagu berlagak dia berani. Saat memberengut, wajah Aluna persis Kenny saat merajuk. "Tante Fara jahat. Nggak boleh nikah sama Papa. Aku bakal aduin biar Papa marah!"
Refleks, Faradilla mencubit lengan Aluna. Membuat anak itu mengerutkan wajah, tidak lama terdengarlah isak tangis darinya. "Sakittttt!" decaknya berhasil balas memukul mengenai bawah mata Faradilla. Untung kuku Aluna baru saja dipotong, jadi tidak sampai melukai kulit wajah Faradilla.
"Nakalnya anak ini!" Faradilla mendorong Aluna sampai anak itu hampir terjatuh dan membentur tembok. "Pergi sana, mau kupukul lagi, huh?" Mengangkat tangan, menggertak akan menampar Aluna.
"Sakit!" Aluna mengusap air matanya, berusaha balas mendorong. Hanya saja tenaga Faradilla lebih kuat darinya, nyali Aluna menciut seketika. "Aku bilangin Papa!"
"Ngadu sana kalau berani. Aku ambil Papa kamu baru tahu rasa." Faradilla memberikan tatapan tajam penuh intimidasi. "Berani kamu ngadu macam-macam, kujual kamu ke orang jahat. Biar sekalian nggak ketemu Papa, Mbok Neni, dan Pak Didi lagi!"
Aluna semakin takut, segera berlari meninggalkan kamar utama. Dia menuruni anak tangga cepat-cepat, kembali menuju halaman belakang. Aluna menangis di bawah pohon, bersembunyi di balik batangnya yang besar. Sesegukan di sana sendirian, sampai Keli muncul di hadapannya tanpa diduga.
"Sayang, ada apa?" Kenny keluar dari kamar mandi. Handuk selutut melingkar di pinggangnya. Yap, benar sekali. Faradilla tadi berbohong pada Aluna. Sebenarnya Kenny sedang bersih-bersih setelah melakukan percintaan di sore yang cerah ini. "Perasaan tadi aku dengar teriakan Aluna. Dia ada datang ke sini?"
"Enggak ada. Ayo kamu cepetan bersiap, nanti keburu tutup toko jam tangannya. Aku nggak mau sampai kehabisan. Kamu janji bakal beliin aku jam keluaran terbaru itu kan? Sebagai hadiah udah manjain kamu."
Kenny mengecup pipi Faradilla. "Tentu saja, Sayang. Apa pun untuk kamu."
Faradilla tersenyum lebar. Mencuri kecupan singkat pada bibir Kenny. "Sangat menyayangi kamu."
"Kita ajak Aluna sekalian ya?"
"Ih, kata kamu cuman berdua aja. Sehabis dari toko jam, kita nonton dan dinner romantis. Aku mau menghabiskan waktu berdua. Nanti jalan-jalan selanjutnya kita ajak Aluna. Boleh kan?"
Kenny akhirnya mengangguk saja. "Boleh. Aluna juga nggak cengeng kalau ditinggal sebentar. Ada Mbok Neni yang temenin dia main. Nanti pulangnya kita bawakan mainan, dia pasti senang."
Faradilla bersorak, memeluk Kenny dengan riang. Apa pun yang dia lakukan pada Aluna, tidak merubah apa pun mengenai cinta Kenny. Pria itu tetap menyayangi dan akan memilihnya. Faradilla sangat menyesal kenapa dia baru bertemu Kenny setelah pria itu menjadi duda anak satu. Faradilla sungguh tidak menyukai anak kecil. Apalagi yang berisik seperti Aluna, mengganggu kenyamanan Faradilla.
Setiap kali jalan bersama, Aluna selalu membuat perhatian Kenny teralihkan darinya. Faradilla tidak suka itu. Persetann dengan ego, dia memang sulit membiasakan diri dengan Aluna. Faradilla tidak senang hidupnya direcoki oleh tangis dan banyak permintaan.
Usai bersiap, Kenny dan Faradilla melangkah bersama menuju lantai dasar. "Aku panggil Aluna dulu, bilang kalau kita mau keluar sebentar."
"Nggak usah, Ken, Aluna lagi main sama Keli di halaman belakang. Kita udah telat loh."
"Sebentar aja, Sayang." Kenny mengecup pelipis Faradilla, kemudian memanggil Aluna dari teras samping. "Ke sini dulu, Sayang."
Di belakang Kenny, Faradilla sedikit takut jika wajah Aluna ketahuan habis menangis. Tidak lucu jika Kenny marah dan membatalkan jalan-jalan mereka karena dia ketahuan mencubit Aluna kan?
Aluna berlarian dengan Keli, mendatangi Kenny. "Apa?" tanya Aluna tidak bersemangat. Dia berusaha mencuri tatap pada Faradilla yang sedang menatap murka padanya.
Saat Keli datang, Aluna langsung menghentikan tangis. Malu kalau sampai kelihatan Keli dia bersedih.
Kenny berjongkok di hadapan Aluna, mengusap puncak kepala anak itu. "Papa mau keluar sebentar sama Tante Fara. Kamu mau titip apa, Sayang?"
"Enggak."
"Loh, kenapa? Aluna baik-baik aja kan, kepalanya pusing lagi?" Memeriksa suhu tubuh Aluna, normal. "Tangannya kok merah. Habis kena ranting pohon atau digigit semut, Sayang?" Mengusap bekas cubitan Faradilla tadi.
Aluna terdiam sebentar, kemudian menggeleng saat ingat ancaman Faradilla di kamar tadi. "Di gigit semut," jawabnya pelan sambil menunduk sedih.
"Aduh kesiannya anak Papa. Nanti minta dibalur minyak penghangat bayi sama Mbok Neni ya, biar merahnya ilang." Aluna mengangguk saja, berusaha mengulas senyum tipis. "Aluna mau dibeliin mainan apa?"
"Enggak. Aku mau main sama Keli aja." Aluna hanya anak kecil, sekali mendapat ancaman jahat dari orang dewasa, tentu saja membuat dia ketakutan. "Kalau bisa aku mau menginap di rumah Nona Cala."
Kenny tersenyum singkat. "Nggak boleh dulu, Sayang. Nona Cala juga sibuk kerja. Aluna jangan ngerepotin Nona Cala terus dong. Apa nggak kasihan?"
"Aku suka Nona Cala." Kembali menoleh pada Faradilla yang menatap malas padanya. "Keli, tunggu aku!" Berteriak melihat Keli lari menjauh darinya.
"Habis ini minta mandikan Mbok Neni. Kamu berkeringat banyak banget. Bau asem anak Papa."
"Iya. Aku kejar Keli dulu." Setelah itu Aluna meninggalkan Kenny, mengejar Keli yang sudah duluan bersembunyi di balik pohon.
Melihat Aluna tidak berani padanya, Faradilla tersenyum miring. Tentu saja dia akan menjadi pemenang di rumah ini bukan?
"Ayo, Ken, nanti toko jamnya keburu tutup."
Kenny mengangguk. "Kesian juga Aluna main sendirian. Takut dia jatuh kalau lari-larian terus."
"Enggak bakal jatuh, tenang aja. Aluna udah sering lari kayak gitu kok. Anak kecil nggak terlalu boleh dimanja, nanti jadi cengeng dan penakut. Aluna itu aktif, biarkan dia bergerak bebas melakukan yang dia sukai."
"Makasih udah ngertiin Aluna, Sayang." Mengusap pinggang Faradilla, terlihat semakin menyayangi wanita itu.
Sebelum mereka benar-benar pergi, Kenny memanggil Mbok Neni yang sedang merapikan tanaman di halaman depan. Menyuruh wanita itu menemani Aluna bermain. Takut anaknya jatuh dan terluka.