"Habis akrobat lo jadi luka begini kakinya?" Bella menyenggol lengan Calandra, melangkah bersama menuju ruang ganti pakaian. Pagi ini terpaksa Calandra berangkat ke pabrik menggunakan ojek, kakinya belum sembuh. Kalau bergerak terlalu lama akan terasa sakit dan perih. Tadi pagi saja sempat berdarah lagi karena Calandra terlalu sibuk bolak-balik dari dapur ke ruang depan.
Sebelum waktu subuh Calandra sudah bangun, menyiapkan masakan untuk sarapan mereka, mencuci, menyapu, mengepel, dan menjemur cucian sebelum pergi kerja. Tidak sempat kalau mencuci di waktu sore atau malam, Calandra biasanya sudah terlalu lelah. Tapi mencuci juga tidak setiap hari Calandra lakukan, biasanya tiga sampai empat hari sekali.
"Gara-gara Ken ... gara-gara kucing tetangga yang ngeselin banget. Dia datang ke rumah, sembunyi dekat kamar mandi. Semalam kan mati lampu, dia berhasil ngagetin gue. Lo tahu sendiri gue parnoan, apalagi kalau bicara soal hantu. Takut banget gue!"
"Di rumah sendiri juga takut, Cala?"
Calandra mendesah sebal setiap kali diejek oleh Bella. "Mau gimana lagi, gue hampir jantungan. Untung nggak parah kepelesetnya, jadi cuman jari gue yang belah. Takut banget gigi gue juga kebentuk lantai, bisa ompong satu rahang gue. Nanti ditanya sama orang, Cala yang mana? Itu loh Cala yang nggak punya gigi gara-gara jatuh depan kamar mandi. Lol!" Mencebikkan bibir, menyimpan barang-barangnya ke dalam loker lemari yang ada nama dirinya.
Bella tergelak sambil memegangi perut, memukul dua kali lengan Calandra tidak sadar. "Boleh dicoba, Cala, kali aja lo pengin hidup lo ada perubahan."
"Gilaa aja lo!" Mendesah, siap balas memukul andai Bella tidak menghindar. "Nggak usah lo ngeledek gue, kualat baru tahu rasa!"
"Nggak mungkin, Tuhan kan sayang gue."
"Lo pikir kaki gue berdarah gini karena Tuhan nggak sayang? Ayolah, Bell, lo udah dewasa. Masih aja menganut omongan anak kecil."
Mereka bersama-sama melangkah menuju aula utama. Sesuai jadwal yang tertulis di papan kehadiran pekerja, hari ini Calandra dan Bella bertugas membersihkan aula. Makanya mereka datang lebih awal. Biasanya kepala pabrik akan mengecek jadwal piket, lalu berkeliling hasil kerjaan mereka. Jika ada yang belum beres dibersihkan, mendapat teguran.
"Gue nemu kalimat baru di jalan tadi, Cala. Mau tau nggak?" Mereka menyapu dari bagian ujung kanan dan kiri, membawa debunya ke pintu depan. Aula pabrik sangat luas, ada beberapa bilik ruang ganti pakaian juga di sana. Setiap ada kegiatan di luar ruangan, seperti lomba dan segala macam, ganti bajunya ke aula.
"Apaan? Kalau nggak penting, gue nggak mau denger."
"Penting!"
Calandra menaikkan kening, tampak jengah melihat kelakuan Bella pagi ini. Cukup menguras emosi Calandra di masa kedatangan tamu bulan ini. Pinggangnya sudah nyut-nyutan, ditambah lawakan Bella yang sama sekali tidak lucu. Jadi sensitif perasaannya.
"Kita sudah besar kan? Harusnya sama kayak orang-orang minumnya susuu hamil, kok kita masih minum obat mag?" Bella memegangi permukaan dadanyaa, meringis lebay. "Miris banget nggak sih nasib kita? Mau pacaran, tapi nggak ada cowok yang suka. Apalagi niat mau nikah, kita nggak ada dekat dengan siapa pun!"
"Terus ceritanya lo sakit hati gitu?"
"Ya iyalah! Nenek nggak bisa menemani gue selamanya, kondisi dia kadang mengkhawatirkan. Kalau dia nggak ada gue sendirian. Harus ada temen hidup yang bisa jaga gue kan?"
Sebenarnya Calandra sangat paham dengan perasaan sahabatnya ini, sendirian itu memang tidak menyenangkan. Semua rasa sakit dan lelah selalu ditanggung sendiri. Tidak ada teman berbagi keluh dan kesah, tidak ada juga tempat bersandar paling nyaman. Apalagi jika malam tiba, sedih dalam kesepian itu sangat menyesakkan.
"Gue ngerti. Banyakin berdoa, minta sama Tuhan dihadirkan pria yang bertanggung jawab, baik, dan penyayang. Jangan menikah karena sudah dikejar usia, jangan menikah karena tuntutan orang lain, jangan juga menikah karena lo cuman merasa kesepian. Kita tahu menikah bukan perihal yang gampang, perlu kesiapan mental dan finansial juga."
"Kalau lo merasa sudah siap dengan semua itu, silakan menikah. Nggak ada yang melarang dan bisa menghalangi niat baik lo. Cuman perlu juga dipikirin mateng-mateng, Bell. Hati kita harus seluas lautan, karena yang akan hadapi nanti bukan lagi perihal mudah. Minta yang terbaik sama Tuhan, nggak perlu cepat-cepat yang akhirnya bikin lo tersesat. Perbaiki diri, siapkan bekal yang banyak, nanti jodoh yang berkualitas akan datang kalau waktunya sudah tiba. Menikah bukan soal siapa yang paling cepat, tapi tentang siapa yang berhasil menemukan orang yang tepat. Menikah loh ini, kalau bisa sekali seumur hidup aja."
Bella meringis. "Gue sekarang kayak banyak takutnya gitu. Kadang Nenek itu suka ngomong aneh-aneh. Gue kan takut ditinggalin. Belum siap ngelakuin apa aja sendirian. Gue terbiasa sama Nenek."
"Gara-gara itu pengin cepat nikah? Perbaiki lagi coba niatnya. Nanti biar dapat keduanya. Nenek masih panjang umur, lo juga menikah. Hidup bahagia dengan keluarga lengkap."
"Gue berdoa banget semoga dapat mertua yang baik, penyayang, dan pengertian. Biar gue sayangi juga mereka kayak orang tua sendiri. Pengin banget punya orang tua, Cal, pengin punya tempat cerita. Meski katanya gimana pun baiknya mertua nggak bakal mengalahkan perhatian orang tua kandung, tetap aja kan ada banyak di luar sana yang beruntung. Gue juga pengin menjadi salah seorang di antara mereka."
"Amin, Bell. Doa setiap orang itu sama aja. Untuk kebahagiaan, kesehatan, kenyamanan, dan segalanya yang terbaik."
"Enaknya ngerumpi pagi-pagi ...!" Kepala pabrik bersandar di pintu aula, kedua tangan terlipat di dadaa sambil geleng-geleng. "Apa semua anak cewek begini? Kalau nggak galau soal duit, pasti perihal cowok dan menikah."
"Nguping aja sih, Bapak!"
"Kenapa jadi kamu yang sewot, Cala? Satu lagi ... kenapa dengan kaki kamu? Lagi menguji kekebalan tubuh kah?" Mengerutkan kening heran. "Tapi lumayan kalau kaki kamu lagi sakit, jadi nggak bisa manjat tembok belakang. Kualat kamu sama saya!"
Calandra mengumpulkan sampahh, memasukkan ke dalam tong. "Jangan kepedean ya, Pak. Ini kaki saya luka gara-gara nggak sengaja jatuh di dapur. Ngapain juga saya kualat, kan menentang aturan Bapak emang hobi saya dari dulu." Menaikkan bahu. Dia menunjukkan senyum sebentar, sebelum akhirnya memutar bola mata jengah.
"Dasar kurang ajar mulut kamu, Calandra!" Kepala pabrik yang tadinya berniat baik hati, tidak ingin marah-marah, seketika tersulut. Tidak heran kenapa dia selalu menjadi musuh bebuyutan Calandra, sebab cewek itu juga yang senang mencari masalah.
"Jangan lupa kunci aulanya, Pak. Kita udah telat ini, sampai ketemu nanti. Untung-untung hari ini Bapak traktir kita lagi pas jam makan siang." Melambaikan tangan, melangkah cepat-cepat bersama Bella meninggalkan area aula.
"Bangkrut saya kalau traktir orang pabrik setiap hari. Bukannya cepat kaya, malah melarat seketika!" Mendengkus, lalu tersadar jika barusan dia diperintah oleh Calandra mengunci aula. "Hei, Calandra! Beraninya kamu memerintah saya mengunci aula. Ini kan tugas piket kamu!" Ditambah sapu yang tadi Calandra dan Bella gunakan masih di teras aula, tidak diletakkan ke tempat semula.
Tidak ada yang seberani ini pada kepala pabrik kecuali Calandra. Dia seperti memiliki aturan sendiri di pabrik itu.
***
Sepulang dari kantor, Kenny langsung menuju apartemen Faradilla. Membawakan wanitanya beberapa kue dan roti. Sebagian lagi dia tinggal di mobil untuk dibawa ke rumah. Aluna sangat menyukai roti, kalau Faradilla hanya makan sesekali. Dia suka, tetapi selalu menjaga pola makan agar tetap memiliki postur ideal.
Kenny tidak perlu memencet bell ketika sampai di apartemen Faradilla, bisa langsung masuk sesuka hatinya. Dia dan Faradilla hanya belum memiliki surat menikah dan mengucapkan janji suci di hadapan Tuhan, sementara hubungan yang mereka jalani sudah selayaknya suami dan istri.
"Sayang ...?" panggil Kenny setelah melepaskan sepatu dan menaruh jas kerjanya di lemari depan khusus menyimpanan jaket.
Dia menyimpan makanan ke atas meja ruang televisi, melangkah menaiki undakan tangga yang akan membawa ke kamar utama. Sering kali Kenny tidur di sana, menghabiskan banyak waktu bersama Faradilla.
"Loh, belum bangun dari tadi?" Duduk di pinggiran kasur, mengecup pipi Faradilla--gemas melihat muka bantalnya. "Berapa lama tidur siangnya, Sayang? Dari tadi aku telepon nggak kamu angkat. Begadang semalaman?"
Faradilla menjadikan paha Kenny sebagai pantalan empuk, memeluk pinggang pria itu manja. Wangi Kenny selalu memabukkan, menjadi candu. "Aku nonton film sampai pagi, Sayang. Terus masak dan beberes. Selesainya tadi siang, habis mandi aku langsung ketiduran. Sekarang laper banget."
"Aku bawain kamu kue sama roti. Mau makan apa, nanti aku pesankan."
"Enggak usah. Kita bikin nasi goreng seafood pedas aja yuk, Ken. Lagi kepengen, nanti aku masak habis ini. Bahan-bahan juga lengkap, aku baru belanja persediaan dapur kemarin."
Kenny mengangguk cepat. "Boleh, Sayang. Ayo ke dapur, aku temani kamu bikin bumbunya." Mengecup ceruk leher Faradilla, membuat wanita itu terkekeh geli. Bukan hanya dia, Kenny pun selalu bersikap manja. "Aroma kamu kok beda, ganti parfum ya?" Biasanya aroma Faradilla selalu segar dan menenangkan. Kenny sangat hafal wangi parfum wanitanya. Kombinasi segar buah dan kelebutan aroma dari bunga. Tidak pernah berubah sejak pertama kali mereka kenal.
Faradilla mengernyit bingung. "Aku nggak ganti parfum. Mungkin ini aroma pengharum tempat tidur, Sayang. Aku baru beli kemarin. Nempel sampai ke badan aku. Apa nggak enak ya?"
"Enak, cuman agak beda aja. Lebih kuat aromanya."
"Mau masak sekarang?" Faradilla menggulung rambutnya, tersenyum manis pada Kenny. "Nanti kalau kamu nggak suka aromanya, aku ganti. Nggak masalah."
"Bukan soal itu, Sayang. Nggak pa-pa kamu mau pakai parfum yang mana, terserah aja."
"Terus soal apa?"
"Kamu sempat ganti baju? Kok beda bajunya sama yang difoto kamu kirim ke aku tadi siang."
"Aku tadi pipiss, kesiram air daster bunga-bunganya. Ada tuh aku taruh di keranjang pakaian kotor. Tumben peka banget, biasanya kamu nggak peduli dengan hal sekecil ini."
Kenny menggeleng. "Lupain aja, Sayang. Ayo ke dapur, aku sekalian mau nyemil kue tadi. Aku pilih kue blueberry. Kamu suka juga kan?"
"Suka. Nanti kita cicipi bareng. Kamu mau nasi gorengnya pakai udang doang, atau ditambah cumi, Sayang?"
"Dua-duanya aja biar komplit. Kayak kemarin itu, Sayang, enak banget. Tapi jangan terlalu pedas, nanti kamu sakit perut lagi."
Faradilla terkikik geli. "Oke. Aku sekarang kapok terlalu banyak makan sambel, perut aku berontak. Bolak-balik kamar mandi sampai lemes."
"Sebentar, Sayang, Pak Didi telepon. Mungkin Aluna mau bicara. Aku tinggal ke samping sana." Faradilla mengangguk, dia membersihkan udang dan cumi. Menyiapkan bahan-bahan lainnya juga.
"Halo, anak kesayangan Papa?" Kenny ke teras kolam renang, tersenyum lebar melihat senyum ceria Aluna. "Lagi apa, Sayang?"
"Papa di mana? Kapan pulang? Roti pesanan aku ada kan?"
"Papa lagi di tempat Tante Fara. Satu jam lagi Papa pulang, oke?"
"Lama banget." Cemberut sambil menggaruk pipinya. "Ngapain Papa ke sana? Kok berduaan mulu sama Tante Fara. Sementara aku nggak boleh sering-sering main sama Nona Cala. Curang banget Papa!"
"Beda ceritanya, Sayang. Nona Cala itu kerja, punya kehidupan dan tanggung jawab sendiri. Lagian kamu ngapain temenan sama orang dewasa, cari dong teman seusia kamu. Biar bisa main barbie, main sepedaan, mungkin melukis bareng juga. Nanti kalau setiap hari kerumah dan temenin kamu main, Nona Cala nggak bisa cari duit. Kesian Cilla, dia perlu biaya buat sekolah katanya kan?"
Aluna menghela kasar. "Aku cuman mau melukis dan latihan piano sama Nona Cala. Dia hebat tau, Pa. Bisa semuanya!"
"Tante Fara juga hebat."
"Nggak tuh!" cibirnya cepat. Selalu tidak setuju jika Kenny memuji Faradilla di hadapannya. "Ya sudah, Papa jangan lama-lama. Aku nggak suka Tante Fara, dia mau ambil Papa. Bawain aku roti yang banyak, mau aku kasih buat Nona Cala juga."
"Kiss-nya dulu dong, Sayang. Kok main pergi gitu aja. Papa kangen tau sama Aluna, seharian nggak ketemu."
"Nggak mau, Papa kiss aja Nona Fara sana. Papa kan udah jarang main sama aku. Papa nggak asik, aku nggak mau kiss lagi." Mengembalikan ponselnya pada Pak Didi, kembali sibuk dengan barbie dan istana princess-nya.
Kenny hanya bisa tersenyum. "Maafin Papa, Sayang. Nanti kita main dan jalan-jalan lebih sering. Kesian anak Papa ditinggal terus." Menghela napas, lalu kembali ke dapur.
"Kenapa, Aluna? Merajuk karena kamu main ke sini?"
"Biasalah anak kecil, Sayang."
"Aluna nggak pernah suka aku. Dia selalu menganggap aku musuhnya."
"Kata siapa? Aluna hanya belum terbiasa dengan kamu. Kalian nggak begitu dekat, makanya dia belum bisa merasakan kasih sayang kamu."
Faradilla menaikkan bahu. "Kapan Mami datang, Ken?"
"Mungkin minggu depan. Kita jemput Mami sama-sama ya?"
"Ken, nggak bisa deh kayaknya. Aku takut banget ketemu Mami kamu. Dia nggak suka aku. Nanti malah berantem kalau bertemu."
"Mami udah tua, Sayang. Nggak mungkin dia bersikap kekanak-kanakan kayak gitu. Lagian kamu adalah pilihan aku. Mami nggak berhak melarang hubungan kita. Aku sudah menegaskan beberapa kali, aku akan menikahi kamu. Lagian masalah ini udah lama, mungkin sekarang Mami ngerti kalau kita beneran saling mencintai. Aluna semakin besar, dia butuh sosok seorang ibu di sisinya." Kenny selalu sibuk dengan kerjaan, makanya ingin cepat-cepat memiliki istri yang bisa menjaga dan menyayangi Aluna.
Faradilla mengangguk saja. "Aku bakal berusaha mengambil hati Mami, Ken. Aku nggak mau nyerah gitu aja."
Kenny memeluk pinggang Faradilla, mengecup bahu wanita itu. "Mami bakal menerima dan menyayangi kamu. Percaya sama aku."
"Semoga aja, Ken. Aku juga berharap banget." Lalu mendorong wajah Kenny darinya. "Aku nggak mau acara memasak ini berubah haluan. Ayolah, perut aku lapar banget, Ken. Tangan kamu jangan jahil!"
"Bercanda, Sayang. Hati-hati masaknya, jangan sampai ngiris tangan. Kali aja kamu salah tingkah liat kegantengan aku, jadi salah yang dipotong."
"Makanya jauh-jauh dari aku. Deket kamu otak aku nggak pernah beres."
Kenny tergelak, dia mengambil pisau untuk memotong kuenya. "Sayang mau kue juga? Aku suapin sini." Faradilla mengulum senyum, mendekati Kenny menerima suapan. "Enak kan, lembut kuenya."
"Aluna sama Calandra di rumah kamu, Ken?" Tiba-tiba kepikiran wanita itu, hati Faradilla seketika meremang. Calandra bukan saingannya, tapi tetap saja Faradilla tidak senang. Ada rasa cemas yang sulit dia jelaskan.
"Enggak ada. Kenapa?"
"Nggak pa-pa, nggak suka aja sama dia."
"Jangan khawatir, Sayang. Aku nggak bakal suka dia. Kamu tetap di hati."
"Yakin?"
"Iyalah. Kamu meragukan aku?"
Faradilla menggeleng. "Aku percaya sama kamu, Ken. Makasih udah menyayangi aku." Mengecup benda kenyal milik Kenny, menyesap sisa blueberry di ujung bibirnya.
"Unit sebelah sudah ada orangnya, Sayang? Aku tadi papasan sama seseorang menuju ke sini. Kupikir dia tinggal di unit sebelah."
"Enggak tau, Sayang. Mungkin iya kali, soalnya kemarin juga ada kiriman paket ke sebelah."
"Dititipin di sini paketannya?"
"Enggak. Aku cuman liat kurirnya pas buang sampah ke depan. Cewek apa cowok?"
Kenny mengangguk saja, meminum jus yang baru saja dia ambil dari dalam lemari pendingin. "Cowok." Faradilla hanya ber-oh-ria. Tidak ambil pusing, lanjut memasak saja. "Aneh gitu kelihatannya. Aku jadi khawatir dia tinggal di sebelah. Kamu hati-hati ya."