"Udah siap berangkat, bocil?" Calandra menaikkan alis saat berhadapan dengan Aluna yang sudah menunggu dirinya di teras.
Aluna mengangguk cepat. "Sudah dong, Nona Cala. Ayo berangkat!" Dia terlihat begitu bersemangat. Sesuai janji Calandra malam itu, ketika Aluna sembuh dari sakitnya, dia akan memberi hadiah spesial.
"Kamu sudah izin sama Papa kan?" Aluna mengangguk, mereka sore ini diantarkan oleh Pak Didi menuju sebuah gedung kesenian. Di sana lagi ada pameran karya seni rupa. "Apa kata Papa? Ada titip pesan nggak sama Aluna?"
"Katanya aku nggak boleh jalan sendirian tanpa Nona Cala, apalagi di jalanan besar. Nanti ketabrak kayak kejadian malam itu kan?"
"Anak pinter. Nanti aku belikan cokelat pulang dari pameran ya."
"Boleh, Nona Cala. Terima kasih banyak ya. Aku sayang banget sama Nona Cala. Makasih udah jagain aku sampai sembuh." Memeluk lengan Calandra, tersenyum lebar. "Nona Cala tau nggak, Tante Fara masih sering marah sama Papa. Katanya dia nggak suka Nona Cala. Padahal kan yang jahat itu Tante Fara!" Menaikkan bahu, bibirnya seketika cemberut.
Calandra tersenyum singkat. Gara-gara Kenny tidak sengaja ketiduran di kamar Aluna malam itu, paginya Faradilla mengamuk habis-habisan. Dia berhasil melihat pemandangan Kenny dan Calandra tidur bersama sambil memeluk Aluna. Persis seperti keluarga kecil yang lagi menyayangi buah hati mereka.
Yang tadinya tidak suka dengan Calandra, kini makin terlihat benci. Bahkan saat berpapasan dengan Calandra, Faradilla selalu membuang muka dan menatap sinis. Kalau saja tidak karena Aluna, mungkin Faradilla sudah mengusir Calandra dari kediaman kekasihnya. Sangat tidak rela kalau Kenny sampai jatuh hati pada Calandra, apalagi melihat kedekatannya dengan Aluna. Menurut Faradilla, Calandra adalah saingan paling berbahaya--kendati kalau soal penampilan tetaplah dia pemenangnya.
"Aluna nggak boleh marahin Tante Fara ya. Biarin aja kalau Tante Fara mengomel, Aluna pura-pura nggak dengar. Mending kamu main sama Keli di halaman. Kesian Keli kalau di dalam kandang mulu, nanti dia nggak bisa lari-larian." Calandra sangat menyayangkan sikap Faradilla yang begitu kekanak-kanakan. Harusnya kalau mau marah, di hadapan Kenny saja--dalam ruangan tertutup. Terserah mau mengamuk atau saling mengumpat kasar, yang penting tidak sampai ke telinga Aluna. Tidak baik jika Aluna mendengarnya, dia masih terlalu kecil untuk memahami masalah orang dewasa.
"Tante Fara ngatain Nona Cala mulu. Aku sebel. Nggak boleh gitu, nanti Tuhan marah kan?" Mendongak, menatap Calandra dengan binar indah pada matanya. "Papa nggak marahin Tante Fara, padahal ngatain orang itu nggak baik."
Lihat kan, anak seusia Aluna saja tahu jika perbuatan Faradilla itu tidak benar. Takutnya nanti malah dicontoh sama anak kecil yang tidak tahu apa-apa. "Udah, nggak pa-pa. Aku nggak marah kok. Mungkin Tante Fara ngambek karena takut kehilangan Papa kamu." Sebenarnya marah itu wajar saja, cuman lihat juga keadaannya seperti apa. Kenny maupun Calandra sama sekali tidak berencana tidur bersama, ini hanya ketidaksengajaan. Padahal Kenny sudah berniat pindah ke sofa, tapi malah ketiduran saking mengantuk dan lelah.
"Nona Cala sabar ya. Nanti kalau aku udah besar, aku bakal belain Nona Cala. Nggak ada yang boleh bentak Nona Cala, bakal aku marahin juga!"
Calandra terkekeh. "Iya, aku ngerti kok. Makasih udah perhatian sama aku ya. Kamu baik banget." Mengecup puncak kepala Aluna, membuat anak itu tersipu malu dan langsung memeluk Calandra. "Tetap jadi anak yang baik, meski sekali pun dunia lagi berperang melawan kamu."
"Oke, Nona Cala." Aluna mengangguk saja, kemudian sibuk menyusun puzzle miliknya. "Nona Cala mau nggak sih jadi Mama aku?"
Calandra sedang menyesap kopi kemasan, langsung tersedak dan hampir saja menyembur. "A-apa?!"
"Tapi Papa suka Tante Fara." Dia masih sibuk menyusun puzzle, santai sekali. Berbeda dengan Calandra yang hampir saja kehilangan nyawa. Untung jantungnya buatan Tuhan, kalau saja hasil olah manusia, sudah jatuh dari tempatnya. "Nona Cala kan baik. Aku suka."
"Jangan ngomong kayak gitu depan Papa kamu ya. Bisa mati berdiri aku."
"Kenapa? Kemarin aku bilang kok kalau Nona Cala sayang Papa juga."
Calandra menganga, langsung menaruh kopinya ke saku jok depan. "Maksud kamu? Astaga, bocil ini!" Mendesah gemas sekaligus putus asa. Ke mana dia menaruh wajah dan harga dirinya kalau ketemu Kenny, huh? Padahal Calandra sama sekali tidak bermaksud beneran menyayangi Kenny. Dia hanya mengiyakan ucapan Aluna, tidak menyangka akan seserius ini obrolannya.
"Papa kaget."
"Untung Papa kamu nggak jantungan."
Aluna terkikik geli, membuat Calandra ingin menyentil kepala anak itu. "Nggak kok. Papa baik-baik aja. Kata Papa, Nona Cala nggak boleh sayang Papa. Kenapa ya?" Dia kembali memusatkan pandangan pada Calandra, pertanda ingin mencari jawaban.
"Ya emang nggak boleh." Aluna mengernyit bingung, seolah bertanya kenapa. "Papa kamu sudah punya Tante Fara, mereka mau menikah. Jangan lagi bilang kalau aku sayang Papa kamu, nanti Tante Fara marah lagi."
"Jadi Nona Cala cuman sayang aku?"
"Iya. Kamu aja cukup, lumayan bikin migren."
Aluna tersenyum. "Oke deh. Nanti aku bilang sama Papa kalau Nona Cala nggak jadi sayang Papa. Yah, jadi nggak adil dong. Harusnya Papa juga sayang Nona Cala, masa Tante Fara doang."
"Wei, anak kecil ini. Bisa-bisanya kamu kelebihan pintar begini. Nggak usah bilang apa-apa lagi sama Papa, diam aja. Nanti Papa kamu marah juga."
"Makasih, Nona Cala. Aku emang pinter." Dia selesai menyusun puzzle, memperlihatkan pada Calandra. "Sudah selesai. Ini puzzle kesukaan aku. Ada cinderella dan peri baik hati. Nona Cala mau nggak jadi Cinderella, kan sama-sama cantik."
"Ada pangerannya nggak?"
"Ada, ini dia pangeran. Biar Papa yang jadi pangerannya."
Calandra menahan napas lagi, geleng-geleng. "Apa nggak ada pilihan lain selain Papa kamu? Aku nggak mau sama duda. Apalagi yang udah punya pacar kayak Papa kamu. Pacarnya galak lagi, nakutin!" gumamnya pelan, tidak terlalu jelas didengar oleh Aluna.
"Nona Cala ngomong apa?"
"Nggak ada. Nah kita sudah sampai, ayo langsung masuk ke dalam aja. Nanti keburu pamerannya tutup, kita udah terlambat."
Aluna mengangguk cepat, segera berkemas mainannya. "Pak Didi jangan pulang ya. Tunggu aku sama Nona Cala." Pak Didi mengangguk paham, mempersilakan Aluna dan Calandra turun dari mobil, memasuki ruang kesenian yang terlihat megah dengan dekorasi penuh lukisan.
"Wow, banyaknya lukisan di sini ya, Nona Cala. Bagus banget. Aku suka!" Aluna berdecak kagum, melompat-lompat kecil kesenangan. "Banyak orang, kayak di pasar." Dia masih memegangi tangan Calandra, matanya menyusuri setiap sudut ruangan yang penuh dengan pajangan lukisan dari para pelukis hebat tanah air dan mancanegara. "Itu cantik, ada gambar rusa!"
Calandra mencari seseorang yang sangat ingin dia temui. Mereka sudah membuat janji bertemu di pameran ini. "Ayo ke sebelah sana, Aluna. Aku sekalian mau nyari temen."
"Nona Cala punya teman di sini?"
"Iya. Aku bisa melukis karena dia yang ngajarin. Orangnya hebat banget, ganteng juga."
Aluna mengangguk. "Ganteng Papa atau dia?"
"Dua-duanya sama. Tapi Papa kamu resek, teman aku ini baik banget orangnya." Kemudian Calandra melambaikan tangan, memanggil seseorang yang kebetulan juga menoleh ke arahnya. Pria itu tersenyum hangat, langsung mendatangi Calandra dengan senang hati. "Aderiyo, lama banget nggak ketemu. Kamu apa kabar?"
Mereka saling memeluk, cium pipi kanan dan kiri juga. "Baik, Cala. Kamu apa kabar juga? Waduh, sekarang udah punya anak eh?" Sedikit kaget melihat Calandra bersama anak kecil. Mereka sudah lama sekali tidak berjumpa, apa beneran Calandra sudah menikah?
"Eh, enggak kok. Aku lagi ngasuh dia, lumayan nyari uang tambahan buat sekolahnya Cilla. Jadi selesai dari pabrik, aku temenin dia main." Calandra menyuruh Aluna berkenalan dengan Aderiyo. Dia dulu cowok paling pinter satu angkatan, dan pernah dinobatkan menjadi cowok paling tertampan satu sekolah. Calandra dan Aderiyo seumuran, bahkan satu kelas. Tidak heran jika keduanya sangat akrab. "Aluna, ini teman satu sekolah aku dulu. Dia pelukis yang pernah aku ceritain sama kamu."
Aluna tersenyum lebar. "Senang mengenal kamu." Malu-malu karena ketahuan mengagumi ketampanan Aderiyo, Aluna langsung berusaha menyembunyikan diri di balik tubuh Calandra.
"Kenapa malu? Aku nggak bakal gigit kamu. Panggil aja Om Riyo ya." Aderiyo berjongkok di hadapan Aluna, memegangi tangan anak itu agar keluar dari persembunyiannya. "Mau beli minuman sambil keliling liat lukisan?"
"Boleh!" Aluna mengulum senyum, mengangguk kecil. Calandra terkekeh, mengacak rambut Aluna gemas.
"Bocil bisa juga salah tingkah liat orang ganteng."
Aderiyo terkikik. "Ngomong-ngomong, kamu masih di kontrakan yang dulu, Cala? Cilla sehat juga kan? Udah lama nggak ketemu kalian berdua, biasanya aku sering main ke sana." Setelah menyelesaikan sekolah menengah atas, Aderiyo dikirim oleh keluarganya ke luar negeri untuk melanjutkan pendidikan seni rupa. Terbukti sekarang, pria itu beneran menjadi seorang pelukis yang hebat. Calandra bangga sekali.
"Masih kok. Aku nggak bakal pindah-pindah, udah nyaman di sana. Kamu sekarang lagi liburan atau udah selesai pendidikannya?"
"Udah selesai. Aku bakal menetap di Indonesia lagi, memulai karier aku di sini. London indah banget, tapi Indonesia tetap di hati."
Calandra bahagia, akhirnya dia bisa mengagumi cowok idaman satu sekolah ini lagi dalam jarak yang begitu dekat. "Semoga sukses dengan segala impian kamu. Aku bangga melihat berdiri di sini, mempunyai beberapa lukisan indah yang terpajang di bagian sana. Apa sudah ada yang menawar lukisannya?"
"Sudah laku semua, Tuhan benar-benar memberiku jalan yang mudah. Aku bersyukur banget, Cala. Ini pameran pertamaku di Indonesia, orang-orang begitu antusias."
"Selamat ya. Kamu emang sehebat itu."
"Terima kasih banyak. Nanti kapan-kapan aku main ke rumah kamu. Boleh kan?"
"Boleh banget, main aja."
Aluna yang sejak tadi diabaikan tampak gelisah. Dia sudah tidak sabar ingin memilih minumannya. "Nona Cala, aku mau minuman cokelat ini. Kasih es krimnya dikit ya."
"Oke, boleh kalau sedikit. Gelas cupnya juga yang kecil aja ya. Sekarang kamu nggak boleh dulu banyak-banyak minum es, nanti pilek lagi. Nggak marah kan?"
"Aku bakal nurut sama Nona Cala. Aku nggak mau sakit lagi. Tapi, jangan lupa tambahkan oreo juga di atasnya. Aku suka oreo."
Aderiyo gemas melihat Aluna, mencubit pipi anak itu. "Kamu anak siapa, kok bisa lucu banget gini?"
"Aku anak Papa."
Calandra ikutan tertawa mendengarnya. "Katanya Aluna juga mau jadi pelukis yang hebat. Coba bilang dulu sama Om Riyo kalau Aluna mau minta diajarin melukis."
Aluna mengerjap polos, kembali tersenyum malu. "Ajarin ngelukis ya, Om?"
"Boleh banget. Nanti aku ajarin kamu di rumah Nona Cala ya?"
"Oke, nanti aku bawa dulu perlengkapan melukisnya. Aku kemarin diajarin Nona Cala, kami melukis banyak. Ada gunung, pelangi, burung, pohon, dan sawah juga."
"Benarkah? Wow, Nona Cala hebat banget ya. Dia bisa semuanya."
"Bener. Aku sayang Nona Cala, dia baik."
Aderiyo mencubit ujung hidung Aluna, menyuruh anak itu duduk sembari menunggu pesanan mereka. "Nanti kalau Aluna udah hebat ngelukis, ikut juga acara pemaran gini. Seru ngelelang lukisan, nanti dapat duit."
"Aku juga suka main piano, Nona Cala yang ajarkan. Dia hebat!" Aluna menatap Calandra, tatapannya benar-benar menunjukkan kekaguman pada wanita itu.
"Terima kasi, bocil. Kamu pinter banget kalau urusan memuji aku. Padahal banyak di luar sana orang yang lebih hebat. Aku cuman bisa dikit." Merapikan rambut Aluna, menyelipkan ke belakang telinga.
"Om, di sini banyak orang. Panas dan bikin haus ya?"
"Ceriwis banget ini anak." Tambah gemas, ingin mengingit Aluna. Kalau urusan dengan anak kecil, Aderiyo memang senang sekali. Dia sering main dengan keponakannya. "Iya, lumayan panas dan bikin haus. Ini masih mending, sebagian orang sudah pulang. Pas acara baru mulai tadi lebih padat dan penuh."
"Rumah Om di mana?"
"Melewati jalan yang sama menuju rumah Nona Cala."
"Wah, nanti aku main ke sana ya? Rumah Om ada tikusnya nggak? Rumah Nona Cala ada tikus, aku liat pas pagi-pagi mau mandi. Besar, aku takut sama tikus. Kaya Papa dia bisa gigit. Lebih nakal dari Keli!"
Aderiyo menaikkan alis, mengangguk memahami satu persatu isi kalimat Aluna. "Nggak ada tikus. Tapi aku punya Bubu."
"Siapa Bubu?"
"Anjing kesayanganku. Dia kecil, bulunya tebal warna cokelat. Ada kalungnya, aku sering ngajak dia joging keliling taman pagi-pagi."
"Wah, benarkah? Nanti ajak aku ke sana ya, aku mau main sama Bubu juga. Dia pasti lucu kayak Keli. Aku nggak boleh bawa kucing atau anjing ke rumah, Tante Fara nanti bersin. Papa marah. Tapi Keli pinter kok, aku sama dia sering main juga di halaman."
Calandra terkekeh. "Keli itu kelinci kesayangan dia. Anak ini super aktif, makanya seru kalau diajak main dan jalan-jalan. Nggak bikin ngantuk. Cilla juga sering gemes, pengin nyubit kalau liat dia ngomong."
Aderiyo memerhatikan Aluna, mengangguk membenarkan. "Ini minuman kamu, cobain dulu. Ada yang mau dibeli lagi nggak sebelum kita jalan-jalan melihat-lihat setiap lukisan?"
"Nggak ada. Aku suka ini, enak minumannya. Makasih, Om." Aluna memegangi tangan Calandra, melangkah bersama sambil melihat setiap lukisan yang terpajang indah.
"Sini aku gendong, biar bisa melihat lukisannya lebih jelas." Aluna menunjukkan senyum lebar, mengulurkan kedua tangannya pada Aderiyo.
"Om Riyo wangi banget, aku suka. Papa juga wangi."
"Terima kasih, cantik." Aderiyo mencium pipi gembul Aluna, masih saja gemas padanya. Ini anak begitu mencuri perhatian Aderiyo sejak tadi, Aluna pasti pinter ketika besar nanti. Masih kecil, tapi cara bicaranya sudah bagus.
***
"Papa, aku datang ...!" Aluna berlarian mendatangi Kenny yang sedang menonton televisi di ruang keluarga. Di sana tidak terlihat ada kehadiran Faradilla, mungkin wanita itu sudah pulang. "Aku sama Nona Cala pergi ke pameran. Banyak banget lukisan di sana. Bagus-bagus, aku suka."
Kenny hanya menatap Calandra sebentar melalui ujung matanya. Dia sudah berjanji pada Faradilla agar tidak saling menatap, apalagi terlalu mengobrol dengan Calandra. "Benarkah, anak Papa? Wah, seru banget dong ya. Capek nggak jalan-jalannya?"
"Enggak. Aku kan digendong sama Om Riyo. Dia ganteng, wangi sama kayak Papa. Nona Cala sudah punya pacar ternyata. Dia nggak jadi sayang sama Papa."
Calandra membulatkan mata, menggerutu dalam hati mendengar kepolosan Aluna. Sejak kapan dia mengatakan kalau Aderiyo pacarnya? Sungguh, anak itu pintar sekali mengarang cerita. Lagian, tahu dari mana arti pacaran. Dia masih terlalu kecil!
Kenny menaikkan alis, kemudian mengangguk saja. "Begitu ya? Papa pikir Nona Cala nggak suka laki-laki, soalnya agak nggak normal sedikit kelakuannya."
Sedetik kemudian, bantal sofa melayang mengenai lengan Kenny. Aluna terkikik melihatnya. "Sembarangan kalau ngomong. Aku normal kok!"
Aluna mencubit Kenny, membela Nona kesayangannya. "Papa nggak boleh nakal sama Nona Cala. Nanti dia nangis. Di mana Tante Fara, apa dia udah pulang?" Kenny menganguk mengiyakan. "Papa, aku nggak suka Tante Fara. Boleh nggak Nona Cala aja yang jadi Mama aku?"
Kenny maupun Calandra sama-sama batuk--keselek ludah mereka sendiri. "Aluna, nggak boleh ngomong gitu. Sudah aku kasih tau di mobil tadi kan?"
"Tapi aku sayang Nona Cala. Papa harusnya sayang Nona Cala juga, biar adil." Tatapannya jadi sendu. "Biar Nona Cala tinggal di sini aja bareng aku. Aku nggak bisa pisah sama Nona Cala."
Helaan napas Kenny terdengar berat. Bahaya sekali kalau sampai Aluna mengatakannya di hadapan Faradilla. Wanita itu bakal mengamuk lagi seperti Singa. Mungkin jika urusan ini, Faradilla akan meminta Calandra tidak datamg lagi dan bermain dengan Aluna. "Papa cuman mencintai Tante Fara. Dia hebat, penyayang, dan satu-satunya wanita yang bakal Papa nikahi, menjadi mama sambung kamu."
Bibir Aluna mengerucut macam. "Papa resek. Ayo kita ke kamar, Nona Cala. Kita berendam air hangat sambil main bebek."
"Nggak bisa, Aluna. Sebentar lagi aku mau pulang. Aku nggak bawa baju ganti ke sini."
"Aku menginap di rumah Nona Cala aja ya? Nanti kan kita mau ke rumah Om Riyo, jalan-jalan sama Bubu." Aluna segera turun dari pangkuan Kenny, tersenyum senang pada Calandra. "Aku juga mau belajar melukis."
"Selalu saja Nona Cala. Apa Aluna juga nggak mau belajar dekat sama Tante Fara? Dia pengin menemani kamu jalan-jalan."
Aluna menggeleng cepat. "Nggak mau. Tante Fara sibuk sama hp, aku nggak disayang. Nanti aku kabur lagi ke pinggir jalan, ketabrak mobil. Papa mau?"
Kenny terdiam, beradu tatap dengan Calandra beberapa saat. Cukup kaget, tapi Kenny sudah pernah melihat situasi seperti ini sebelumnya. Hanya saja dia tetap berpikir positif, mungkin mood Faradilla saat itu memang tidak baik.
"Pantas aja Aluna nggak suka Fara, dia nggak becus jagain anak. Kelihatan sih, dia emang lebih peduli sama kamu doang."
"Jangan asal ngomong kamu, Cala. Kamu ini sok tau banget! Jangan kamu racuni pikiran Aluna sama persepsi kamu sendiri."
"Bener kok. Lihat aja setiap kali dia ke sini, selalu bawain makanan buat kamu doang--makanan pedas. Sementara Aluna nggak dibawain apa-apa. Harusnya kalau mau menikah sama duda beranak satu, yang harus dia curi pertama kali adalah hatinya Aluna. Fara bakal jadi mama sambung, bukan hanya jadi istri kamu. Sampai sini, bagian mana yang belum kamu pahami, Ken? Aku liat kamu pintar kok membaca situasi, cuman pura-pura begoo aja karena udah terlanjur cinta. Jangan kamu korbankan Aluna, kesian dia." Setelah itu Calandra langsung mengajak Aluna ke kamar, meninggalkan Kenny dengan seribu kebisuan.
Sebenarnya Calandra tidak mau bicara seperti ini secara terang-terangan, apalagi di hadapan Aluna. Tapi Calandra sudah gemas sekali, Kenny selalu tutup mata dan telinga untuk kepentingan Aluna.
"Lalu apa aku harus menikahi dia yang sudah terlanjur dekat sama Aluna? Cih, nggak sudi banget!" Mencebikkan bibir, memijat pangkal hidungnya pusing.
Calandra memang berbeda dari wanita lainnya. Beberapa sikap manis Calandra pada Aluna memang sering mencuri perhatian Kenny yang tidak dia dapatkan dari sosok Faradilla. Tapi hal itu tidak sama sekali mengubah rasa cintanya. Kenny sama sekali tidak berniat menikahi yang lain, apalagi modelan Calandra. Mereka bisa menjadi musuh bebuyutan jika tinggal satu rumah.