Ponsel di samping nakas berbunyi. Calandra menggeliat pelan, sebelah tangan mengambil benda itu dan langsung menempelkan ke telinga. "Halo, siapa?"
"Ini saya, Kenny--Papanya Aluna."
Kedua mata Calandra langsung membelalak, segera mengubah posisinya menjadi duduk sembari mengumpulkan kesadaran. "Ini jam satu malam. Ngapain kamu ganggu aku? Apa nggak ada hari besok?" Menguap, meminum segelas air untuk membasahi kerongkongan dan meredakan kantuk. "Kamu mabuk ya?"
Untung malam ini ponsel ada di kamar Calandra, karena kebetulan semalam dia habis berbalasan pesan dengan Bella. Hei, tunggu dulu. Dari maan Kenny mendapatkan nomor ponselnya? Bahkan saat Aluna meminta, Calandra belum memberikannya.
"Sembarangan aja kalau ngomong! Aluna tiba-tiba demam. Suhu badannya tinggi. Dia cerewet banget. Kamu bisa ke sini temenin dia? Orang rumah nggak ada yang bisa tenangin."
"Kamu bercanda? Ogah, ah. Aku besok kerja, nanti ngantuk di pabrik bisa dipecat si kepala botak. Kamu kan punya Faradilla, minta dia tenangin Aluna. Belajar dong, katanya mau jadi Mama sambung anak kamu!" decak Calandra sebal. Dia bersandar lemas pada dinding, menutup mata saking mengantuknya.
"Nggak bisa. Dari tadi Fara udah berusaha menenangkan Aluna, tapi dia tetap merengek nggak tenang. Kamu nggak bakal dipecat, nanti saya yang hubungi kepala pabrik. Saya bayar kamu, tenang saja."
Calandra mencebikkan bibir. "Giliran begini, kamu cari aku!"
"Jangan banyak omong kamu. Saya jemput sekarang!"
"Eh, kata siapa aku setuju? Aku takut ini akal-akalan kamu aja. Aku nggak percaya sama pria mesumm kayak kamu ya, Kenny! Kamu mau culik aku dan berbuat yang enggak-enggak kan? Ogah, aku nggak mau!"
Kenny mengusap keningnya, pusing. "Simpan omong kosong kamu, Aluna lagi demam. Kamu bukan selera saya, jangan kepedean. Nyulik kamu itu ngerepotin, nggak ada gunanya!"
"Urus sendiri anak kamu Pak Kenny si mulut kurang ajar!" Calandra langsung mematikan sambungan telepon mereka, kembali menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya. Napas Calandra tidak beraturan, menghentakkan kedua kaki untuk meluapkan amarah.
Beberapa menit dalam keheningan, Calandra menyingkirkan selimut tebal itu. Pengap dan terasa panas. "Andai Papa kamu nggak nyebelin, aku senang hati menemani kamu terus, Aluna. Masalahnya Papa kamu ini sumber masalah, pengen kutendang sampai Gurun Sahara!"
Calandra menoleh pada ponselnya, tidak ada lagi telepon yang masuk. Apa Kenny tersinggung dengan kalimat kasarnya?
"Ah, bodo amattttttt!" gerutu Calandra emosi tengah malam buta begini. "Apa gunanya Faradilla kalau nggak bisa ngurus Aluna? Dia akan menikah dengan duda anak satu, tapi urusan segampang ini nyerah. Dasar wanita menye-menye!"
"Cantik doang, akhirnya nggak bisa apa-apa!" Memikirkan Aluna, Calandra seketika tidak tenang. "Kesiannya anak lucu satu itu. Andai nggak dosa, sudah kupukul kepala Papa kamu sampai dia pingsan!"
Lama mengomel sendirian, ponsel Calandra kembali berdering. Masih dari orang yang sama. "Nggak bakal kuangkat!" Lantas menolak panggilan itu, membalik layar ponselnya menjadi telungkup.
Sebuah pesan masuk, Calandra sempat mendiamkannya beberapa saat. Tapi karena penasaran, akhirnya dia membaca pesan singkat yang ternyata dari Kenny. "Saya ada di depan rumah kamu!"
"Astaga, pria gilaa!" katanya dengan menggertakkan gigi, Calandra langsung melompat dari tempat tidur. Mendatangi Kenny sebelum pria itu membuat keributan di depan sana. Bisa saja Kenny menggedor pintu kontrakannya sampai para tetangga bangun kan?
"Ikut saya, Aluna beneran lagi sakit. Tenangkan dia."
Calandra menatap Kenny dari ujung kepala sampai ujung kaki. Pakaiannya santai sekali. Celana kain hitam panjang, kaos putih longgar. Dia juga hanya mengenakan sandal jepit. Dari raut wajahnya, Kenny terlihat sangat cemas. "Kamu beneran nggak berniat macam-macam kan? Sumpah, aku takut banget. Kamu enak udah duda, nyosor sana sini pun nggak masalah dan nggak ada bekasnya. Kalau aku gimana? Nanti hamil di luar nikah. Selain dibenci Tuhan, aku juga bakal ditendang dari kontrakan ini."
Kenny menghela napas kasar, menatap Calandra dengan cerocosannya yang tidak masuk akal. "Sudah ngomelnya? Aluna lagi demam, keadaan dia lebih penting sekarang. Saya memiliki Fara yang punya segalanya daripada kamu. Wanita saya cantik dan seksi, ngapain saya macam-macamin bocah prikk kayak kamu?"
"Kamu ngatain aku mulu!" Calandra refleks memukul dadaa Kenny. "Tadi aja kamu bilang mau bercintaa sama aku. Bikin aku takut. Kamu kayak pemangsa segalanya!"
Seketika Kenny terkekeh. Lucu melihat Calandra ketakutan padanya. Apa dia semengerikan itu?
"Terserah kamu. Mau jalan sendiri atau saya seret ke mobil? Kamu resek banget!" Sebelum Calandra menyela ucapannya, Kenny duluan membekap mulut cewek itu. "Berisik, Cala. Mau saya cium sampai kamu kehabisan napas?"
Calandra membulatkan mata, segera menjauhkan tangan Kenny darinya. "Bau ikan asin!" decaknya mengibaskan tangan.
Kenny menatap jengah. "Lupa cuci tangan, tadi emang habis makan ikan asin." Menaikkan bahu cuek, tidak merasa berdosa sama sekali.
"Tunggu di sini, aku ambil tas dulu."
"Jangan lupa pakai bra, Cala. Daritadi saya salah fokus sama dadaa kamu!"
Calandra menghentikan langkahnya, menganga sambil menatap pada permukaan dadanyaa yang hanya terbalut kaos longgar. "Sialan, Kenny mesumm!" umpatnya ingin menendang dan memukul dinding. Andai tidak malam, Calandra sudah meneriaki pria itu dengan kata sekebun binatang. Otak Kenny memang tidak pernah sehat!
Hanya membutuhkan waktu lima menit, Calandra sudah bersiap. Dia tidak mengganti baju, hanya merapikan rambut dan memasukkan barang ke tas kecil miliknya. Sebelum pergi, Calandra ke kamar Cilla dulu. Terpaksa membangunkan adiknya, menyuruh menutup pintu dan bangun lebih awal nanti pagi. Takutnya Calandra pulang agak siang.
"Bawa aja ponselnya, Kak. Besok nggak kepake juga di sekolah. Nanti pagi gampanglah aku masak telur aja. Semoga Aluna cepat sembuh."
"Maaf ya udah bangunin kamu. Hati-hati di rumah, jangan buka pintu kalau ada orang asing yang ngetuk. Hati-hati masaknya nanti pagi. Kakak usahain pulang lebih awal ya." Mengusap puncak kepala Cilla.
Setelah pintu kontrakannya terkunci, barulah Calandra meninggalkan teras.
"Jangan deket-deket aku!" Calandra mendorong Kenny dari sisinya, melangkah berjauhan menuju depan gang. "Andai nggak karena Aluna, aku nggak mau banget nolongin kamu. Pria mesumm kuadrat!"
"Siapa suruh kamu nggak pakai bra. Sudah saya bilang, kalau ada pemandangan gratis, apalagi bikin enak mata, mubazir kalau nggak diliat."
"Bisa tutup mulut nggak?"
Kenny terkekeh. "Masuk, jangan banyak omong kamu. Sudah terlanjur saya lihat, nggak bisa dikembalikan lagi."
Calandra mendesah kesal, wajahnya memberengut. Memalingkan pandangan dari Kenny. "Awas aja kalau bohong Aluna lagi demam, aku pukul kamu sampai nggak ada ampun!"
"Kamu pikir saya hilang akal menggunakan kesehatan Aluna untuk membodohi kamu? Dia anak saya, nggak mungkin saya sekhawatir ini kalau keadaannya baik-baik aja."
"Sayang juga ya kamu sama Aluna. Aku pikir cuman sayang sama Faradilla itu."
"Jangan ucapan kamu!"
"Kamu kok nyari istri yang cuman hebat di kasur, rugi banget."
"Terus maksudnya saya harus cari istri kayak kamu gitu--yang bisa menemani dan menenangkan Aluna? Kamu sendiri hebat dan bisa diandalkan nggak kalau di kasur?" Kenny menaikkan kening, lalu tanpa bisa dicegah dapat pukulan tepat mengenai mulutnya. "Sakit, Cala!"
"Makanya punya mulut dijaga!"
"Kamu yang mulai duluan mengatai Fara."
"Aku bener kok. Dia nggak bisa menyayangi Aluna, nggak cocok jadi Mama sambung. Pantas Aluna nggak suka, ngasih rasa nyaman buat anak kecil aja nggak jago!"
"Dia belum terbiasa."
"Katanya kalian berhubungan sudah lama, kok masih belum terbiasa juga? Itu namanya emang nggak niat ngerawat anak kamu!"
"Cukup, kamu nggak udah sok pinter menilai Fara kayak gitu. Kamu juga nggak jauh lebih baik dari dia. Setiap orang punya kekurangan masing-masing, nggak usah saling membandingkan."
Calandra menaikkan bahu. "Mending Aluna buat aku. Daripada nanti nggak ada yang ngurus dia setelah kalian menikah."
"Kamu pikir anak saya barang yang bisa dikasih seenak jidat ke orang?"
"Berisik. Intinya kamu sama Fara itu sama. Sama-sama mendekati hilang akal!" Menutup telinga dan matanya berusaha tuli dengan apa yang Kenny ucapkan setelah ini.
***
"Aluna, kok bisa sakit? Ya ampun, panas banget badan kamu. Udah minum obat?" Mendengar suara Calandra, Aluna sedikit lebih tenang. Dia meminta digendong, menyandarkan kepalanya yang pusing pada bahu Calandra. "Nggak boleh cerewet, nanti nggak cepat turun panasnya. Tutup mata kamu kalau pusing ya, sebentar lagi sembuh kok." Mengusap punggung Aluna, anak itu tidak lagi bersuara.
Mbok Neni bisa bernapas lega. Tangannya sampai kebas menenangkan Aluna, tapi anak itu tetap tidak mau diam. Sekali Calandra yang datang, bahkan suara rengekan Aluna pun tidak terdengar lagi.
Faradilla melihat Aluna nyaman dengan Calandra, menatap tidak senang. "Anak kamu pilih kasih banget. Aku dari tadi berusaha gendong, tapi dia nggak mau. Jangan salahin aku yang nggak bisa ngurus anak kecil, Aluna yang susah dibilangin. Maunya sama si Nona Cala mulu, bosan aku dengernya."
Kenny mengusap bahu Faradilla, menenangkan wanita itu. "Anak kecil kalau lagi demam emang susah dibujuk, Sayang. Jangankan sama kamu, sama aku aja nggak mau. Makasih udah berusaha tenangin Aluna ya, aku tahu kamu capek banget. Mau istirahat sekarang?"
"Iya, temenin aku bobo di kamar. Pegel leher sama tangan aku."
"Ayo. Ini sudah malam, aku harus tidur. Besok pagi ada kerjaan kan?" Faradilla mengangguk, melangkah bersisian dengan Kenny yang merangkul pinggangnya. "Makasih udah rela begadang demi Aluna. Maaf kalau dia cerewet dan bikin kamu ikutan pusing." Mengecup pelipis Faradilla, turun ke bibirnya.
"Jangan keluar, tunggu sampai aku tidur dulu ya. Aku nggak suka juga liat kamu dekat-dekat sama Calandra, takut dia berniat ngerebut kamu. Dia udah berhasil ambil hati Aluna, bisa saja nanti kamu yang kena peletnya."
Kenny tersenyum singkat. "Aku sudah cukup dengan adanya kamu. Jangan khawatir soal apa pun ya. Mimpi indah, Sayang." Mengusap-usap puncak kepala dan lengan atas Faradilla, sampai wanita itu benar-benar terlelap dalam tidurnya. "Sangat menyayangi kamu." Mengecup kening Faradilla, selalu gemas dengan wanita itu. Meski kekasihnya tidak jago mengurus anak kecil, Kenny tetap mencintainya. Dia yakin nanti Faradilla akan terbiasa dengan Aluna, begitu pun sebaliknya. Apalagi jika Faradilla sudah menjadi istrinya, mau tidak mau ... Aluna akan setiap hari bersama dengan Faradilla. Rasa nyaman dan kasih sayang akan tumbuh seiring berjalan waktu.
Sekitar jam tiga dini hari, Kenny turun ke lantai bawah. Dia sempat ketiduran sebentar, sampai lupa jika Aluna sedang sakit. Kenny menyeduh kopi untuknya dan Calandra sekalian, membawa ke kamar Aluna.
Pemandangan yang pertama kali dia lihat saat tiba di kamar putrinya ialah Calandra yang ketiduran sambil menggendong Aluna. Cewek itu duduk di sofa, sementara Aluna masih menyandarkan kepala pada bahunya.
Calandra terlihat begitu lelah. Ini sudah terhitung hampir dua jam Aluna dalam gendongan Calandra, pasti pegal sekali bahunya.
"Cala, kalau Aluna sudah tidur, pindah aja ke kasur. Jangan sampai pagi begini, bisa lepas bahu kamu."
Calandra terkesiap, memijat pangkal hidungnya. Dia mengantuk sekali. "Tadi udah aku coba, Aluna tetap nggak tenang tidurnya. Kebangun lagi. Kesian, aku nggak tega liat dia merengek kayak tadi."
"Kamu minum kopi dulu, biar saya yang gantian gendong. Setiap kali Aluna sakit, dia emang manja begini. Mungkin kepalanya pusing banget, ditambah pilek. Dari dulu selalu saya yang menenangkan, tapi kali ini dia tetap nggak nyaman meski sudah saya gendong."
Calandra meminum kopi bikinan Kenny, mencuci wajahnya ke kamar mandi juga.
"Nona Cala," gumam Aluna kembali terbangun. Pipi dan ujung hidung anak itu memerah. Bibirnya cemberut, kembali ingin menangis.
"Aku ada di sini, Aluna. Kamu lagi digendong Papa. Tenang ya, aku nggak ke mana-mana."
"Nona Cala."
Calandra mendekati Kenny, meminta Aluna lagi. "Biar aku yang gendong." Kenny akhirnya mengiyakan, mengusap pipi Aluna kasihan. "Mau ke kasur? Kita tidur sama-sama ya?"
"Pusing, Nona Cala." Aluna batuk, memeluk leher Calandra dengan suhu tubuhnya yang masih di atas rata-rata. Padahal Calandra sudah mengompresnya, tapi panasnya belum turun juga.
"Nona Cala capek kalau minta gendong terus, Sayang. Mau rebahan ya, ditemani Nona Cala juga."
Aluna mengangguk kecil.
"Janji nggak bakal nangis kalau tidur di kasur ya? Sama aja kok rasanya digendong sama tidur sambil dipeluk."
"Iya."
Calandra membaringkan Aluna perlahan. "Mau minum dulu?" Aluna menggeleng, memegangi tangan Calandra seolah takut ditinggalkan. "Aku nggak ke mana-mana, aku bakal tidur di sebelah kamu sampai besok pagi. Kamu harus cepat sembuh, biar bisa melukis dan main piano bareng aku lagi."
Aluna mengangguk, lalu meminta dipeluk sambil diusap punggungnya oleh Calandra. "Nanti kalau sembuh aku kasih hadiah."
"Hadiah apa?" tanya Aluna dengan suara pelan.
"Rahasia. Kamu pasti suka."
Kenny hanya mendengarkan obrolan singkat antara Calandra dan putrinya. Sedikit tersentuh dengan kasih sayang yang Calandra berikan. "Dia tidur lagi?" tanyanya dari sofa.
"Belum."
"Mbok Neni aja nyerah tenangin dia. Nggak ada yang berhasil dari tadi."
"Anak kecil kalau lagi demam, dia emang mau digendong terus. Kayaknya nyamannya dia kayak gitu. Kalau dibiarin terus-terusan nangis, demamnya bisa makin tinggi."
"Tadi Aluna udah minum obat, mungkin sebentar lagi turun demamnya. Kamu sambilan terus aja, saya di sini jagain sampai besok pagi."
Calandra mengangguk, memejamkan matanya sambil menepuk pelan pantatt Aluna.
"Nona Cala, mau minum."
"Biar saya yang ambilkan." Kenny langsung beranjak, menyuruh Aluna duduk sebentar untuk meminum air hangatnya. "Jangan cerewet lagi, Sayang, kesian Nona Cala kalau terus-terusan gendong kamu. Yang ada nanti dia jadi ikutan sakit juga."
"Papa tidur di sini."
Kenny mengernyit, saling menatap dengan Calandra beberapa saat. "Nggak bisa, Sayang. Biar sama Nona Cala aja ya tidurnya ya. Ada Tante Fara di sini, nanti dia salah paham liat Papa tidur bareng sama Nona Cala juga."
Aluna memajukan bibir, segera menangis. "Papa jahat!" Tidak lama, terdengar isak tangis. Aluna menyembunyikan wajahnya pada dadaa Calandra, sesegukan.
"Turuti aja, nanti kamu bisa bangun lebih awal. Aku nggak nyaman dengar anak kecil nangis, apalagi dia sakit begini."
Mau tidak mau, akhirnya Kenny mengiyakan saja. Dia mengambil tempat di sisi kiri Aluna, berusaha menenangkan putrinya. "Papa tidur di sini, berhenti nangis. Nanti kalau sembuh dikasih hadiah sama Nona Cala. Mau kan?"
Aluna mengangguk, memeluk Calandra dengan sayang. "Aku ngantuk."
"Tidurlah. Nanti libur dulu sekolah sampai kamu bener-bener sehat ya. Besok pagi kubikinkan bubur."
"Makasih, Nona Cala."
"Sama-sama, Sayang." Mengusap rambut Aluna, mengecup pelipis anak itu layaknya anak sendiri.
Sungguh, sejak tadi perhatian Calandra tidak lepas dari perhatian Kenny. Kalau dilihat dari segi memenangkan hati Aluna, Faradilla emang tertinggal jauh. Bahkan menggendong Aluna saja Faradilla tidak betah. Selalu mengeluh berat dan pegal.
"Kamu tidur saja. Aku akan berjaga sampai mengantuk juga."
Calandra mengangguk. "Aku ngantuk banget. Kalau ada apa-apa, bangunkan aja."
"Ngomong-ngomong, makasih udah datang dan berhasil menenangkan Aluna. Saya lega liat dia bisa tidur begini."
"Iya, sama-sama. Tapi ini nggak gratis, besok bayar aku!"
Kenny yang tadinya tersentuh dengan kebaikan Calandra, seketika rasa ibanya hilang ditelan angin. "Cih, dasar wanita matre ngeselin!"
"Biarin!" Tanpa di duga, Calandra malah memeletkan lidah, meledek Kenny yang tengah sebal.
"Manusia nggak jelas!"
"Kamu mengataiku terus, nanti Aluna bangun lagi. Baru aja rasa terima kasih kamu aku terima, udah ngelunjak lagi."
"Diam sebelum saya bungkam mulut kamu." Calandra menganga, menutup mulutnya secepat kilat. "Bungkam pakai tangan, kamu pikir pakai apa? Bibir gitu? Ogah banget!" Menirukan nada bicara Calandra pada kalimat terakhirnya dengan sedikit mengejek.
"Omesss!"
"Wajar, saya pria normal."
"Kelebihan normal, nggak baik."
"Apa kamu nggak berniat melepas bra lagi kayak tadi?" Menghadap Calandra, menopang kepala dengan tangan yang ditumpukan pada bantal. Malam-malam begini, pembahasan Kenny sedikit horor.
Calandra menyepak tulak kering Kenny, membuat pria itu mengaduh dan hampir terjatuh dari kasur. "Cala, sakit. Kamu menyiksa saya terus dari tadi!"
"Mampus!"