Saat asik bermain sekuter dengan Aluna di sebuah taman, tiba-tiba dua orang preman kembali datang dan mencegat Calandra. Aluna tampak ketakutan, langsung bersembunyi di balik tubuh Calandra. "Apa-apaan kalian. Lepasin nggak. Jangan buat anak ini takut!" Menepis tangan salah seorang preman yang memegangi sekuter milik Aluna. Wajahnya sudah bak seorang devil.
"Bayar utang lo, cepat!" Baritonnya meninggi. Wajah dengan kumis kasar itu mengerang, mata yang sedikit memerah terlihat tajam dan menghunus. Dari aroma mulutnya, kedua pria itu habis minum alkohol. Gelagatnya juga beda, sudah sekian persen akal sehatnya melayang. "Dua juta. Cepat keluarin uang lo!"
"Nggak ada. Aku nggak punya duit lagi. Kemarin kan udah satu juta. Bulan depan lagi baru aku cicil. Cilla lagi perlu banyak uang, apa kalian nggak punya hati sedikit saja?"
Preman itu menepuk bahu Calandra sedikit kasar, membuat Aluna marah. "Jangan pegang-pegang Nona Cala. Kalian jahat, aku bilangin Papa nih!" teriaknya sambil menghentakkan kaki. Sebentar lagi dia akan menangis karena takut dan cemas. Bahkan sekarang tubuh Aluna bergetar, dia bingung ingin melakukan apa untuk menyelamatkan Calandra.
Begitu perhatian sekali.
"Berani banget bocah ingusan ini."
Calandra kembali memukul tangan preman, tidak membiarkan pria itu menyentuh Aluna walau seujung kuku. "Kalau sekarang aku beneran nggak punya duit. Mau kalian paksa gimana pun tetap nggak ada."
"Lo pinjam uang nangis-nangis ke bos kita, giliran ditagih, susah amat bayarnya!"
"Aku tahu, aku minta maaf. Aku beneran nggak punya uang, gimana lagi biar kalian percaya?" Dengan sekali gerakan, preman merebut tas kecil milik Calandra. Talinya sampai putus. Calandra ingin merebut, tapi preman yang satu lagi menghentikan dengan sebuah ancaman. Tidak mungkin Calandra mengeluarkan kalimat kasar, di sisinya ada Aluna.
"Jahatnya!" Aluna maju, lalu memukul salah seorang preman yang tadi mengambil tas Calandra. Berusaha membalas dengan menginjak kakinya juga. "Pergi, nggak?!"
Preman tidak menghiraukan Aluna, tetap mengeluarkan semua barang Calandra, lalu menemukan uang dua ratus ribu. "Cih, sialan wanita ini. Kalau miskin itu, miskin aja, nggak usah ngutang. Nggak mampu bayar gini kita yang repot!" Melempar kembali tas Calandra. Lalu menatap Aluna marah. "Lo ini kecil-kecil berani banget teriak di depan gue. Gue lelepin ke kolam juga lo ya!"
Aluna memeletkan lidahnya, memberengut masam. "Aku bisa berenang dan menyelam, nggak bakal kelelep!"
"Pergi, aku bakal bayar bulan depan."
"Awas ya lo. Jangan sampai kesabaran gue habis, sakit lo nanti!"
"Kalau aku punya uang, aku juga bakal bayar. Ini keadaannya aku juga lagi susah dan perlu duit. Aku tahu kalian nggak sejahat itu, jadi tolong kasih waktu sedikit lagi."
Preman tersenyum jahat, lalu mencengkram rahang Calandra. "Lumayan cantik. Kenapa lo nggak jadi istri keempat bos aja? Hutang lo bakal lunas, urusan kita selesai. Nggak capek-capek lagi gue nyari dan nyiksa lo begini!"
Calandra menganga, langsung menepis tangan pria itu. Mendorongnya dengan amarah memuncak. "Amit-amit jadi istri si tua bangka itu. Aku nggak bakal sudi!"
"Si tua bangka itu yang pernah nyelamatin hidup adik kamu. Kalau nggak pakai duit dia, Cilla sudah mati!"
Ucapan preman itu ada benarnya. Dulu Cilla pernah sakit dan harus dirawat inap karena kekurangan darah juga. Calandra memerlukan banyak biaya untuk pengobatannya. Untung bos tua itu meminjamkan uang, Cilla akhirnya bisa disembuhkan.
Aluna mendorong sekuternya, mengenai tulang kering si preman sampai sang empunya mengaduh. "Pergi, nggak!"
"Anak siapa sih ini?" Preman yang satu lagi mulai geram dengan kelakuan Aluna. Mendorong anak itu hingga terjungkal dan menangis.
"Aluna!" Suara serak Kenny dari kejauhan terdengar, buru-buru mendatangi ke arah Calandra dan putrinya. "Apa kalian gilaa memperlakukan anak kecil sebegitu kasar?!" geram Kenny dengan rahang mengetat tajam. "Mabuk, saya akan laporkan kalian ke polisi!"
"Lo pacar dia? Bantu bayar utangnya, cepat!" Meski diancam oleh Kenny, rupanya dua preman tidak gentar. Mereka sudah terbiasa dengan kekerasan, masuk penjara bukan lagi hal baru yang menyulitkan.
Kenny menatap Calandra, wanita itu menggeleng. "Bulan depan kubayar, aku janji!"
"Kita maunya sekarang. Dua juta!"
Aluna sesegukan dalam gendongan Kenny, lututnya berdarah. "Jahat. Mereka jahat, Papa!"
Tidak mau ambil pusing, Kenny mengeluarkan sejumlah uang untuk preman itu. "Dua juta. Tinggalkan tempat ini sekarang!"
Preman tersenyum penuh kemenangan, menepukkan kertas bernominal itu pada pipi Calandra sebelum berlalu pergi.
Senyap beberapa saat, Calandra tidak tahu apa yang akan dia katakan pada Kenny. "A-aluna, sini ikut aku. Kita obati lutut kamu."
"Biar saya yang gendong Aluna. Ikuti saya!" Melangkah duluan menuju mobil, mendudukkan Aluna di jok tengah sembari mengambil kotak obat. Calandra menunduk, rasa sedih dan takut campur aduk. Takut setelah ini Kenny akan memakinya karena berhasil membuat Aluna terluka.
"K-ken ... a-aku minta maaf. Aluna jadi luka." Mau tidak mau, Calandra harus mengutarakan rasa bersalahnya. Persetann dengan ego yang menentang Calandra mengucapkan itu, Kenny sudah baik hati mau membayarkan hutangnya. "U-uang tadi ... nanti aku ganti ya. Aku lagi nabung buat kelulusan Cilla di sekolah, perlu uang yang banyak juga."
"Berapa kali kamu ketemu preman itu depan Aluna?"
"Baru sekali ini, Ken. Aku nggak tau kapan mereka datang dan mengikuti aku."
"Mereka bisa bersikap lebih parah dari ini pada Aluna. Kamu jangan main-main dengan saya."
Calandra mengangguk cepat. "Aku minta maaf, Ken."
Aluna mengusap air matanya, masih terdengar sisa tangis. "Mereka jahat, mau sakitin Nona Cala. Aku sedih jadinya. Nona Cala ada luka nggak?"
"Hei, Sayang. Sekarang lihat kaki kamu, preman itu membuat luka. Kenapa masih mencemaskan orang lain?"
"Kesian Nona Cala." Menaikkan bahu, memegangi tangan Calandra--berusaha saling menguatkan. "Aku nggak pa-pa, Nona Cala. Lumayan sakit, tapi aku nggak pusing kok. Nanti kita balas ya mereka, mungkin kita dorong sampai nyungsep."
Calandra mengecup pelipis Aluna, mengangguk paham. "Makasih udah khawatirin aku, maaf bikin kaki kamu luka. Aku janji nggak bakal berurusan lagi sama preman itu kalau main sama kamu."
"Uang Nona Cala diambil, barang-barangnya juga dibuang. Gimana nanti kalau Nona Cala mau jajan?"
Kenny mengusap rambut Aluna, terheran-heran kenapa putrinya begitu menyayangi Calandra. Entah apa yang sudah wanita itu lakukan, tapi Aluna terlihat sangat bahagia. Bahkan saat bersama Calandra, Aluna tidak pernah mencari sosok dirinya. "Sayang, ayo kita pulang. Lain kali aja main sekuternya bareng Nona Cala."
"Nona Cala menginap yuk?"
"Sayang, Nona Cala punya rumah sendiri."
"Kalau gitu aku aja yang menginap di rumah Nona Cala."
"Kita menginap di apartemen Tante Fara aja gimana?"
Aluna menggeleng cepat. "Enggak mau!" tolaknya mentah-mentah. "Papa aja menginap sama Tante Fara, aku mau sama Nona Cala. Iya kan, Nona Cala?"
"Aluna, turuti kemauan Papa aja ya? Besok kamu juga sekolah."
"Enggak kok, besok kan libur. Tanggal merah."
Calandra mengerutkan kening. "Iyakah? Berarti aku libur kerja juga dong. Asik, besok aku mau ke rumah Bella ah."
"Ikut, Nona Cala!" Aluna mengangguk cepat. "Ajak aku main ke rumah Bella."
"Eh, nggak bisa."
"Kenapa? Papa bolehin kok. Iya kan, Pa?"
"Nggak boleh." Kenny menggeleng singkat.
"Papa nakal!" Memukul tangan Kenny, menolak di peluk oleh pria itu. "Diam-diam aja Nona Cala menginap, jangan ketahuan Tante Fara. Boleh kan, Pa?" bisiknya mengedipkan sebelah mata.
Kenny menghela napas. "Baiklah. Nona Cala akan menginap di rumah kita." Calandra menganga, menoleh pada Kenny kaget. "Apa? Kamu nggak bisa protes, saya sudah keluar duit dua juta hari ini untuk menyelamatkan kamu dari preman tadi."
Aluna bertepuk tangan. "Horey, Papa baik!"
"Sun Papa dulu, Sayang." Aluna langsung mengecup pipi Kenny. "Kamu nggak sun saya juga kah?"
Calandra refleks memukul dadaa Kenny. "Stress!"
Kenny hanya tertawa, menyuruh Calandra masuk ke mobil, waktunya pulang.
***
"Kamu lagi kurang belaian, huh?" Calandra mendorong Kenny, menjaga jarak dengan pria itu. Sangat berbahaya, tidak baik untuk kesehatan jantung Calandra. Entah kenapa sekarang kalau berdekatan dengan Kenny, ada sesuatu yang bergemuruh di dadanyaa. Sulit dijelaskan, makanya Calandra berusaha menjaga jarak. "Ini Aluna baru mau tidur, kamu jangan cari gara-gara. Nanti bangun lagi, kita baku hantam aja!"
Kenny terkekeh. Aluna kembali bertingkah. Cuman mau tidur dalam pelukan Calandra, makanya saat ini mereka sedang duduk di sofa sembari menidurkan Aluna. Terlihat seperti keluarga kecil yang harmonis. "Di sini banyak hantu---"
"Ken, jangan mulai!" Bahkan luka kaki Calandra kemarin baru saja mengering, Kenny ingin membuat ulah lagi. "Aku nggak selera mau dijahilin kamu!" Memutar bola mata malas, masih mengusap-usap punggung Aluna. Anak itu sudah tidur, cuman belum pulas. Nanti kalau dibaringkan ke kasur, cepat bangun lagi.
"Saya nggak bercanda. Kediaman saya memang selalu sepi kalau malam. Banyak hantu yang berkeliaran di sini. Nanti bakal ada yang ngetuk pintu kamar Aluna, manggil-manggil kamu minta keloni tidur juga."
"Cih, pinter banget membual!"
"Mau membuktikannya? Bangunlah jam dua belas nanti."
"Ken, nggak lucu. Aku pulang nih, ya!" Calandra meringis takut, mulai cemas.
Kenny mendekati Calandra, semakin jahil dengan membisikkan beberapa kalimat menakutkan. "Di samping kamu sekarang ada yang liatin!"
Calandra memukul Kenny, langsung beringsut kepada pria itu. Persetann dengan rasa malu, Calandra sekarang takut sekali. Apalagi ruangan lain sudah dipadamkan lampunya. "Bangun Aluna nanti, Ken. Kamu ini jahil banget. Kemarin kaki aku yang luka, habis ini kamu mau buat kepala aku bocor kah? Kupukul ya kamu!"
"Taruh gih Aluna ke kamar, kita ngobrol di sini. Saya belum mengantuk."
"Ogah!"
"Sana kamu sendirian di kamar Aluna, saya pastikan kamu nggak bisa tidur sampai nanti subuh. Biarin aja ditelan hantu."
"Nggak ada tuh orang mati ditelan hantu!"
"Ada, nanti kamu yang mulai duluan."
"Ken!" Calandra mencubit pria itu, tidak memperbolehkan Kenny jauh-jauh darinya. Dia sudah mulai was-was. "Antar aku ke kamar Aluna. Nggak mau tahu ya, aku teriak nih!"
Semakin Calandra takut, semakin senang Kenny menjahilinya. Melihat wajah cemas Calandra, menjadi hiburan tersendiri. Nampak menggemaskan mungkin?
"Ayo saya antarkan ke kamar Aluna. Sini saya yang gendong." Calandra memberikan Aluna pada Kenny, memegangi kaos pria itu sembari melangkah menuju kamar Aluna. Mau tidak mau, Kenny tertawa. Dia berhasil lagi membuat wanita itu ketakutan karena cerita konyolnya yang padahal lumayan tidak masuk akal. Beginikah saat wanita takut hantu?
Lucu sekali!
"Tidur sana."
"Nggak bisa tidur, kamu sih!"
"Ayo bikin kopi, kita ke ruang keluarga. Temani saya nonton film."
"Ada hantu kan di luar?"
"Di mana-mana pun ada hantu!"
Calandra mencubit pinggang Kenny. Dia masih memegangi kaosnya, berdecak sebal sekali. "Nyesal aku menginap di sini, kamu sengaja mengerjaiku!"
"Pulang sana, saya tagih uang dua juta tadi sebagai hutang."
"Kejamnya. Kamu tahu sendiri aku nggak punya banyak uang, kenapa malah memeras!"
"Saya mau keluar, kamu mau tetap di sini atau gimana?" Kenny melepaskan pegangan Calandra pada kaosnya. "Tidur gih."
"Kamu pikir aku bisa tidur setelah kamu menakutiku kayak tadi? Lagian kamu punya rumah besar banget, aku makin nggak keruan rasa. Kepikiran macam-macam."
Kenny menaikkan bahu. "Ikut atau enggak? Kamu berisik banget, nanti Aluna bangun."
"Ikutlah!" Calandra mencebikkan bibir. Tidak mungkin dia memilih sendirian di kamar Aluna. Sampai tengah malam nanti pun dijamin tidak bisa tenang.
"Bawa selimut Aluna, ambil dilemari. Cuaca lagi dingin, saya nggak mau bolak-balik antarin kamu ke sini."
"Jahat banget!" Tapi Calandra mengiyakan saja perintah Kenny, mengambil selimut Aluna yang berwarna ungu, memeluknya dengan bibir cemberut masam. "Udah. Aku jalan duluan, kamu di belakang jagain."
"Penakutnya!"
"Memang, dan kamu seneng banget bikin aku tambah parnoan!"
Kenny terkekeh. "Buah kopi gih, Cala. Saya tunggu di si---"
"Ogah, aku takut. Dapur kamu luas, bisa jadi hantunya ada di dalam lemari!"
"Bisa-bisanya kepikiran kayak gitu. Ya sudah, kamu tunggu di sini, saya ke dapur bikin kopi." Belum Kenny beranjak, Calandra menahannya. "Apalagi? Saya berasa punya anak dua, kamu lebih penakut daripada Aluna!"
"Ikut. Aku nggak bisa sendirian di sini, beneran takut, Ken. Aku sekali takut, bakal takut terus."
Kenny mendorong kening Calandra. "Nyesel saya nakutin kamu. Ngerepotin banget."
"Bodo amat! Ayo, ke dapur bersama."
"Nggak usah narik-narik kaos saya, nanti molor." Calandra tidak mendengarkan, malah membuang muka sembari melangkah menuju dapur. "Nyalakan lampu utamanya kalau kamu takut, biar terang."
Calandra mengangguk, segera menuju saklar lampu. Dalam sekejap cahaya menerangi setiap sudut dapur mewah milik Kenny. "Kamu goreng kentang sama nugget gih, buat ngemil. Saya punya film baru yang belum ditonton. Mungkin bakal begadang malam ini."
"Jangan ditinggal ya, Ken."
"Saya ada di sini, Cala. Lagian jarak ruang keluarga ke sini nggak sampe seratus meter. Gemas saya, pengen pukul kepala kamu!"
"Tega banget. Ini hasil ulah kamu, siapa suruh cerita yang aneh-aneh. Udah tau aku penakut minta ampun, malah menjadi-jadi kelakuan kamu. Aku nggak mau ya kejadian jatuh kemarin terulang, susah aku kerja kalau kakinya luka. Nggak bisa gerak dengan bebas."
"Sekarang udah sembuh kan?"
"Iya, udah."
Kenny berhasil menyeduh kopi, duduk di kursi bar sembari menunggu gorengan Calandra siap disajikan.
"Ken, mau ayam pok-poknya juga ya. Di rumah aku jarang banget makan begini, soalnya lumayan uangnya kalau buat beli sayuran."
"Masak aja sesuka kamu. Besok bawa pulang aja semuanya yang di dalam kulkas, nanti Mbok Neni bisa belanja lagi. Aluna udah bosen makan beginian, jadi lama stoknya baru habis. Paling kalau ada teman-teman Aluna main, baru digoreng. Itu juga jarang, makanya Aluna selalu main sama kamu."
"Wah, terima kasih. Cilla pasti suka banget. Nanti bisa buat tambahan lauk bekalnya beberapa hari ke depan."
Kenny mengangguk saja, memakan duluan kentang goreng yang udah siap di dalam piring, mencocol pada saos pedas.
Selesai dengan gorengannya, Kenny dan Calandra bersama-sama kembali ke ruang keluarga. Mereka duduk bersisian, menonton film action yang Kenny sukai.
"Kamu nggak main hp, Cala? Perasaan setiap kali kamu ke sini, jarang pegang hp."
Calandra menatap Kenny, menggeleng pelan. "Hp aku cuman satu, dipake berdua sama Cilla. Biasanya aku suruh Cilla yang pake buat ngerjain tugas atau kabar-kabaran sama temannya. Kadang gurunya juga membagikan tugas lewat grup kelas gitu."
"Beli lagi dong satu buat kamu pribadi."
"Sayang uangnya, Ken. Daripada buat beli hp, mending uangnya dipakai biaya sekolah Cilla. Bagi kami seberapa pun nominal uang berharga banget. Selagi semua kebutuhan Cilla tercukupi, aku nggak perlu apa-apa lagi."
Kenny hanya ber-oh-ria. Melihat kehidupan Calandra yang begitu sederhana dan apa adanya, membuat Kenny merasa tertampar. Dia sering menghamburkan uang, padahal di luar sana banyak yang kerja banting tulang untuk mencukupi kehidupan sehari-hari.
"Terkesan pelit banget ya aku? Padahal nggak gitu juga. Aku cuman mikir gimana memutar uang yang sedikit ini jadi tercukupi semua kebutuhan kami. Kalau aku nggak pinter-pinter gini, pasti serba kekurangan terus. Uang hasil aku kerja itu kubagi-bagi untuk beberapa bagian. Sekolah Cilla, belanja harian di rumah, dan ditabungan buat jaga-jaga kalau nanti ada keperluan mendesak."
"Pinter juga kamu mengelola keuangan ya, nggak cuman asik hura-hura."
"Aku bukan dari keluarga orang kaya, Ken. Apalagi orang tua udah nggak ada, cuman aku harapan satu-satunya Cilla. Kalau aku egois mau beli ini dan itu buat kesenangan sendiri, masa depan Cilla jadi taruhannya. Aku udah janji bakal menyokong kesuksesan adek aku, dia harus jadi orang sukses."
Kenny menatap Calandra, melihat banyak ketulusan dari binarnya. "Niat yang baik, Tuhan pasti kasih jalan yang terbaik juga."
"Amin. Aku berharap keadaan aku tetap sehat, biar bisa kerja terus. Cilla mau masuk kuliah, makin banyak lagi biayanya." Calandra tersenyum. Selalu bangga dengan dirinya yang kuat dan tidak mudah menyerah.
Tanpa sadar, malam ini keduanya melupakan ketidakcocokan di antara mereka. Tidak ada perdebatan lagi, malah berbagi cerita dengan nyaman seolah Kenny adalah pendengar yang baik untuk Calandra.
"Kalau banyak makan, aku jadi ngantuk, Ken. Kamu masih mau nonton ya?"
"Tidur aja. Nanti aku pindahin ke kamar Aluna."
"Takut, Ken."
"Kalau udah tidur, kamu nggak bakal sadar apa-apa lagi. Hantu pun malas nakutin kamu. Buang-buang waktu dan tenaga dia." Calandra cemberut, menaikkan selimut hingga leher, melipat kedua kaki ke atas sofa. "Tidur aja."
"Iya, aku udah ngantuk. Tadi di pabrik lumayan banyak kerjaan. Tapi syukurnya pulang lebih awal, jadi bisa main sama Aluna."
Kenny mengangguk. Masih fokus menonton sambil sesekali nyemil kentang goreng. Besok Kenny libur ke kantor juga, jadi dia memang berniat begadang.
Seketika senyap, hanya terdengar suara dari televisinya. Tiba-tiba kepala Calandra jatuh ke bahu Kenny, membuat pria itu sedikit kaget. Ingin menjauhkan lagi, tapi tidak tega.
"Saya nggak tahu kenapa Aluna jadi suka banget sama kamu. Mungkin karena kamu baik." Kenny menjeda ucapannya sebentar, lalu menatap pada Calandra beberapa saat. "Pembawaan diri kamu tenang dan emang bikin nyaman. Anak kecil biasanya lebih senang dengan banyak perhatian, kamu memberikannya secara penuh. Terima kasih udah bikin Aluna bahagia."
Menepuk-nepuk pelan tangan Calandra, memberikan rasa nyaman pada wanita itu untuk memasuki dunia mimpinya lebih jauh.
Sadar atau tidak, Kenny malam ini sangat merasa cocok dengan Calandra. Dia senang menjahili wanita ini, tanpa sadar merasa bahagia setiap kali melihat wajah cemberut Calandra.
Benar kata Aluna, Calandra tidak mempunyai orang tua. Dia menjadi wali Cilla. Bukankah wanita ini sangat hebat?
Normal kan jika Kenny merasa bangga dengan perjuangan Calandra juga?