"Mas,"
"Kenapa Sayang?"
Waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam, namun keduanya sama sekali tidak berniat untuk beranjak dari posisi mereka saat ini. Yang mana keduanya tampak mesra dan saling bersandar dengan kedua tangan Meisya yang memeluk pinggang suaminya dengan erat.
Entah hanya pemikirannya saja yang terlalu overthinking atau memang tengah malam itu sudah memasuki Waktu Indonesia Overthinking (WIO), membuat Meisya bahkan berpikir bahwa ia takut tidak akan bisa menikmati momen-momen kebersamaan seperti ini dengan pria di sampingnya ini. Ada rasa takut kalau-kalau masalah yang dia yakini tengah disembunyikan oleh suaminya suatu saat akan bisa membuat hubungan rumah tangganya retak. Sekalipun dia sama sekali tidak berharap hal itu akan menimpa hubungannya yang telah bertahan selama 6 tahun lebih.
"Ngelamunin apa?"
Meisya yang ditanya hanya semakin menenggelamkan kepalanya dalam d**a bidang Ando, memeluk pria itu lebih erat. Seakan berusaha untuk menepis perasaan tidak nyaman dan pikiran overthinking yang sulit untuk bisa dia tepis.
"Mas nggak ngantuk? Besok mau berangkat kerja jam berapa, jangan berangkat kepagian nanti kamu gak sarapan dulu."
"Iya, besok Mas berangkat kerja jam setengah 8 pagi biar kamu bisa bikinin Mas sarapan dulu."
"Tumben nggak kayak kemarin-kemarin berangkat jam 6 pagi, aku aja sampai heran kenapa Mas berangkat pagi-pagi sekali terus pulang larut malam. Itu namanya eksploitasi pekerja, kan normalnya orang kerja 8 jam per hari Mas."
Ando merasa gemas sekaligus bingung harus bagaimana menjawab pertanyaan Meisya yang sangat jarang bawel seperti ini. Alhasil dia hanya mencubit kedua pipi Meisya dengan gemas. "Kamu makin malam makin bawel ya, bukannya tidur malah mikir kemana-mana."
"Kan aku cuman nanya Mas."
"Pekerjaan Mas normal kok, cuman kasus yang sekarang lagi Mas ambil memang cukup rumit. Itu sebabnya Mas sendiri memutuskan untuk lembur beberapa hari terakhir ini untuk memenangkan kasus ini."
Meisya memperhatikan wajah Ando selama beberapa saat, merasa ragu dengan jawaban pria itu. Karena entah mengapa Meisya merasa bahwa pekerjaan yang dijelaskan oleh suaminya tadi tidak semudah di permukaan ketika dia menjelaskan dengan singkat. Pasti ada sesuatu hal yang lebih dan sayangnya Ando sama sekali tidak berniat untuk membagi masalahnya dengan Meisya.
"Kamu bisa cerita sama aku kalau ada masalah di pekerjaan Mas, meskipun aku mungkin nggak bisa bantu banyak nantinya. Tapi paling enggak aku bisa ngasih Mas dukungan semangat dan jadi pendengar yang baik buat sedikit meringankan beban pikiran Mas tanpa harus memendamnya sendirian."
Mendengarnya Ando merasa sangat bersyukur memiliki seorang istri seperti Meisya yang penuh perhatian padanya. Meski di sisi lain dia merasa khawatir dan tidak tahu harus bagaimana agar bisa secepatnya menyelesaikan masalahnya.
"Mas juga sebenarnya ingin bisa cerita bebas sama kamu, tapi sayangnya ada beberapa hal yang nggak bisa Mas bagikan ke kamu karena ini masalah kode etik pekerjaan. Sebelum masalah ini selesai, Mas nggak bisa cerita apa-apa dulu untuk saat ini. Mas harap kamu bisa mengerti posisiku saat ini, apapun yang terjadi jangan dengarkan perkataan orang lain. Mas nggak mau cerita bukannya karena nggak mau berbagi sama kamu, tapi karena ada beberapa hal yang Mas takutnya nanti justru malah akan menyeret kamu masuk dalam masalah ini."
Mendengarnya membuat Meisya semakin merasa penasaran masalah seperti apa yang tengah menimpa Ando hingga membuat pria itu tampaknya memiliki begitu banyak beban pikiran. Ia yakin masalah itu tidak semudah di permukaan, tapi karena Ando tidak ingin menjelaskannya maka Meisya hanya bisa mendukung pria itu dalam diam. Atau mungkin menunggu saat yang tepat untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
"Kamu nggak keberatan dengan kesibukan Mas saat ini kan Sya?"
Meisya tersenyum, "bohong kalau aku bilang nggak keberatan sama sekali lihat Mas tiap hari kayak nggak ada waktu buat keluarga. Bahkan di saat weekend juga masih harus ketemu klien, tapi ya mau gimana lagi."
Meisya memalingkan wajahnya ke arah lain, membuat Ando merasa sesak di dadanya. Dia juga tidak berdaya. Berurusan dengan seseorang yang memiliki power jauh di atas kita memang tidak semudah yang dibayangkannya. Kasus yang dia ambil di pengadilan dengan harapan bisa menaikkan jenjang karirnya lebih tinggi lagi justru malah menjadi jurang baginya.
Dia paham risiko menjadi seorang pengacara yang tidak begitu berpengaruh sepertinya sangat mudah bagi orang-orang yang ber-power untuk bisa memanipulasi keadaan dengan memutar balikkan fakta yang ada. Bahkan hal-hal ekstrim seperti surat ancaman, kiriman hal-hal aneh atau sesuatu yang berniat untuk membuatnya menyerah dalam berbagai macam kasus besar bukannya tidak pernah dia alami. Namun kali ini adalah yang terparah hingga membuatnya sampai dijebak dalam hubungan ambigu dengan istri orang. Padahal jelas tidak ada yang terjadi di antara mereka sama sekali.
"Jika suatu saat Mas disuruh memilih antara keluarga atau pekerjaan. Kira-kira Mas pilih yang mana?"
Ando terdiam selama beberapa saat, tidak langsung menjawab pertanyaan Meisya. "Tentu saja Mas tidak bisa memilih salah satu di antara keduanya Sayang. Kamu tahu kan, Mas di sini posisinya sebagai kepala keluarga. Kalau Mas memilih pekerjaan, maka risikonya Mas bisa saja kehilangan keluarga yang menjadi tempat sandaran untuk pulang dan motivasi untuk semangat berkerja demi kalian. Tapi kalau Mas memilih keluarga, maka Mas bisa saja kehilangan pekerjaan. Lalu bagaimana dengan kehidupan sehari-hari kita nantinya? Semuanya pasti butuh nafkah untuk kelangsungan hidup kita, sekolah anak-anak, makan, dan lain-lain. Jadi keduanya sangat terkait erat, jangan suruh Mas untuk memilih karena Mas bukan anak dari orang kaya raya yang memiliki kekayaan tujuh turunan tidak akan habis untuk dimakan. Kenapa kamu tiba-tiba nanya kayak gitu?"
"Nggak apa-apa Mas, cuman kadang pengen egois aja kalau inget kamu sering lembur kerja. Maaf ya Mas, kalau aku masih kekanakan dan belum bisa ngertiin kamu sepenuhnya."
"Nggak perlu minta maaf, kita sama-sama belajar. Mas juga paham masih ada banyak hal yang salah di diri Mas, bahkan Mas takut kalau suatu saat aku berbuat salah apakah kamu masih bisa memaafkan kesalahan Mas."
Meisya semakin mengeratkan pelukannya pada Ando, "kalau itu, tergantung bagaimana kesalahan Mas dulu. Terus bagaimana cara Mas memberi tahuku mengenai kesalahan apa yang udah Mas lakuin tanpa harus aku tahu dari orang lain."
Dalam diam Meisya berharap bahwa malam ini juga Ando akan berbicara terus terang dengannya. Setidaknya dengan begitu dia akan bisa lebih mudah untuk memaafkan pria itu jika mendengar pengakuan dari pria itu secara langsung seperti ini tanpa ada yang harus ditutup-tutupi.
Hening selama beberapa saat, lalu Ando tampak tertawa pelan. "Sudah sudah, jangan dibawa terlalu serius. Ayo kita balik ke kamar. Udah hampir jam 1 dini hari sekarang, nggak baik begadang terlalu malam."
Meisya hanya menurut meski ada sedikit rasa kekecewaan dalam dirinya. Namun terlebih dahulu dia sekali lagi berinisiatif untuk mencium pipi pria itu dengan lembut sebelum beranjak berdiri dari sofa untuk kembali ke kamar mereka berdua. Namun Ando rupanya cukup gesit dengan langsung menangkap pergelangan tangan Meisya hingga membuat wanita itu jatuh terhempas ke belakang dan kini duduk di pangkuan Ando.
Setelahnya Ando langsung membungkam bibir Meisya dengan bibirnya sendiri. Meresapi rasa manis dan hangat ketika bibir mereka saling bertumbukan. Menyesap dengan pelan dan Meisya juga telah melingkarkan tangannya pada leher Ando, larut dalam ciuman memabukkan sang Sugar Daddy.