8. Pesan Ancaman

1128 Kata
"Kamu kenapa Sayang?" "Ah enggak, gak apa-apa kok Mas." Meisya hanya tersenyum, seolah tidak terjadi apa-apa. Dia berjalan mendekat ke arah anak-anak dan juga Ando yang tengah bermain bersama dengan suka cita. Mencoba untuk bersikap biasa-biasa saja dan tidak terpengaruh oleh foto yang dikirimkan Meri baru saja. Meisya duduk di depan Ando yang tengah memangku Sakha. Keduanya tampak kembali rukun dan bermain layaknya anak dan ayah yang semestinya. Membuat Meisya merasakan bimbang melihat pemandangan di depannya. Ragu apakah harus bertanya mengenai foto tersebut secara langsung atau bersikap seolah-olah tidak pernah melihat atau tidak mengetahui apapun. "Oh iya Mas, tadi kamu keluar jam berapa? Aku bangun kok udah nggak ada?" Meisya yang merasa penasaran mencoba untuk bertanya seolah tidak ada yang terjadi. "Itu Mas pergi jam 7 pagi, Mas lihat kamu masih tidur pulas. Jadi gak tega mau bangunin kamu Sayang." "Kamu milih sendiri mainan anak-anak sama gelang ini Mas?" Meisya bertanya dengan antusias, menutupi rasa sesak dan berbagai pertanyaan yang ada di benaknya saat ini. "Iya, Mas yang milih sendiri. Gimana menurut kamu, suka nggak?" Meisya hanya tersenyum manis, meski jelas ada sesuatu yang coba dia tekan dan sembunyikan. "Suka kok, makasih ya Mas buat hadiahnya." "Iya sama-sama, Mas yang harusnya minta maaf sama kamu karena udah jarang banget nyenengin kamu. Padahal kamu udah capek seharian ngurusin anak-anak dan jarang bisa bantuin kamu di rumah." "Nggak apa-apa, udah biasa kok Mas." Meski Meisya tampak tersenyum, namun entah mengapa Ando merasa bahwa ada yang tidak beres dengan senyuman istrinya. Entah itu hanya perasaannya atau bukan, namun dia mencoba untuk menepis pemikirannya dan lebih fokus pada anak dan istrinya selagi dia memiliki waktu luang seperti saat ini guna menebus waktu yang terbuang selama ini antara dia dan anak-anak. "Sekali lagi Mas minta maaf kalau jarang perhatiin kamu, setelah semua masalah di kantor selesai Mas insyaallah bakal lebih banyak luangin waktu buat keluarga." Ando hanya bisa tersenyum menatap pada Meisya, meski dalam hatinya masih agak gelisah karena masalahnya tak kunjung selesai hingga detik ini. Tak terasa waktu sudah beranjak siang hari, baik Mika maupun Sakha saat ini sudah tertidur di kasur lantai depan televisi. Ando juga tidur di samping anak-anak, hanya menyisakan Meisya yang masih terjaga dan tampak sesekali melamun saat melihat ketiganya tidur bersama. "Apa yang sebenarnya kamu sembunyikan dari aku Mas?" Kedua mata Meisya kembali berkaca-kaca, rasa sesak dalam dadanya saat menyadari pasti ada sesuatu yang salah. Semua sikap pria itu selama beberapa hari terakhir ini sangat tidak biasa. Meskipun tidak setiap hari Ando bersikap romantis atau hangat padanya setelah usia pernikahan mereka yang telah beranjak 6 tahun lebih, tapi setidaknya pria itu tidak bertingkah seaneh ini. Berangkat pagi-pagi sekali dan pulang hampir tengah malam tiap harinya. Meski sesekali Ando juga pernah melakukannya, tapi itu hanya sesekali dan tidak seintens ini. Perubahan besar dalam hubungan rumah tangganya yang terjalin tidak sebentar ini tentu saja sangat mengusik keharmonisan rumah tangganya. Membuat Meisya mulai merasa curiga dan takut kalau-kalau ada hal-hal di luar sana yang menjadi alasan pria itu tidak betah berada di rumah. Atau ada sesuatu yang lebih menarik di mata Ando dari pada melihat anak dan istrinya di rumah, atau bisa saja memang sesuai dengan apa yang dikatakan pria itu bahwa ada masalah pekerjaan yang mengharuskannya selalu berangkat pagi pulang larut malam hampir tiap hari. "Kenapa kamu menangis?" Meisya sontak langsung tersentak kaget saat dia merasakan jemari hangat milik Ando yang tengah mengusap pipinya, atau lebih tepatnya mengusap air mata yang tanpa dia sadari jatuh menetes saat dia tengah melamun. Dengan buru-buru Meisya memalingkan wajahnya dan mengusap kedua matanya untuk memastikan tidak ada air mata yang menggenang di sana. "Aku nggak apa-apa Mas, cuman lagi kelilipan aja tadi." Meski jelas Meisya tahu bahwa alasannya terlalu dibuat-buat, tapi apa daya karena dia tidak ingin mengungkapkan perasaannya yang tengah berkecamuk. Dia lebih ingin menunggu sampai pria itu akan mengatakan semuanya dengan sendirinya tanpa harus dia todong untuk berkata jujur. Meisya lebih memilih untuk menunggu kesiapan pria itu menjelaskannya untuk menenangkan pikirannya. Meski dia tidak tahu sampai kapan hal itu akan terjadi, mengingat kepribadian Ando yang terkadang bahkan dia sendiri merasa sulit untuk bisa memahami isi pikirannya tidak peduli seberapa lama mereka telah bersama. "Aku tahu ada yang lagi kamu pikirin Sya, kamu bisa cerita sama Mas apa yang bikin kamu sampai nangis kayak gini?" "Nggak ada Mas, mungkin lagi sensitif aja karena mau datang bulan." Meisya mencoba tersenyum, meskipun jelas sangat dipaksakan. Ando lalu mengambil duduk di depan Meisya, memegang kedua pundaknya dan membuat Meisya menatap kedua matanya secara langsung. "Kalau ada sesuatu jangan cuman dipendem sendiri, sebagai suami kamu Mas juga punya tanggung jawab buat mastiin kamu bahagia. Nggak kayak gini tiba-tiba lihat kamu nangis, ada apa hm?" "Menurut Mas sebagai pasangan suami istri kita nggak seharusnya saling menyembunyikan suatu hal dan saling terbuka kan?" Ando terdiam sebentar saat mendengar pertanyaan Meisya, lalu dia mengangguk tak lama kemudian. Meski ada firasat buruk entah mengapa saat mendengar pertanyaan dari Meisya barusan. "Kalau gitu sekarang aku mau tanya balik ke kamu Mas, apa ada suatu hal yang ingin kamu jelaskan atau kamu omongin ke aku?" Ando tampak heran dengan pertanyaan Meisya kali ini, keningnya berkerut heran. Tampak tengah berpikir keras dan tidak tahu harus berkata apa saat melihat tatapan mata Meisya yang balik menatapnya dengan penuh perhatian dan harapan? "Gak ada yang mau Mas omongin ke kamu, kenapa kamu tiba-tiba nanya kayak gitu?" Meisya yang mendengarnya hanya tersenyum pelan, lalu beranjak berdiri dari tempatnya duduk. Ia akan pergi ke dapur untuk menghangatkan makan siang, mengabaikan keingintahuannya akan masalah apa yang tengah disembunyikan oleh Ando. Biarlah semua akan berjalan dengan apa adanya, dia akan merasa lelah jika hanya memikirkannya sendirian, sementara Ando sendiri sama sekali tidak ada itikad baik untuk menjelaskan apapun guna menenggaknya pikirannya yang kacau. Ando juga tidak tinggal diam, dia ikut menyusul Meisya ke dapur. Jujur saja ada perasaan was-was dan takut yang menyulut pikirannya saat ini, takut kalau-kalau Meisya mungkin sudah mengetahui masalahnya yang terkait dengan pekerjaannya. Takut kalau nanti wanita itu akan memandangnya berbeda, dan berbagai jenis ketakutan lainnya. Ting! Saat Ando telah berjarak selangkah lagi dari Meisya yang tengah memunggunginya, pria itu merasakan getaran dan bunyi notifikasi w******p miliknya dari saku celananya. Lalu dia mengambil ponsel tersebut dengan pelan, karena Ando juga masih bingung harus berkata apa pada Meisya. 'Jangan coba-coba menentangku, mundur dari persidangan atau rumah tanggamu akan terancam!' Tangan Ando tanpa sadar terkepal erat, dia paling benci saat diancam seperti ini. Pesan yang dia dapatkan dari nomor tak dikenal itu dapat dengan jelas bisa dia tebak dari siapa orangnya, alasan paling utama mengapa dia sering lembur dan jarang pulang ke rumah untuk mencari solusi masalah yang tengah menjeratnya. Namun dia tidak bisa berbuat apapun karena pria itu memiliki bukti-bukti yang bisa memberatkannya. Mungkin, juga bisa mengancam pekerjaannya di firma hukum jika dia bertindak nekat. 'Sialan!'
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN