9. Rena dan Raka

1373 Kata
“Mas, kenapa kamu lakuin ini sama aku?” Rena terdiam selama beberapa saat ketika mendengar suara pecahan gelas akibat bantingan dari sosok pria yang sejauh ini masih berstatus sebagai suaminya. Dia tampak ketakutan, meski dia mencoba untuk menyembunyikan rasa takutnya dengan mencengkeram ujung gaun tidur yang dikenakannya erat-erat. “Kamu mau cerai kan?” Pria itu tampak mencengkeram dagu Rena dengan ibu jari dan juga telunjuknya dengan cukup kuat, tatapan matanya juga tampak tajam dan membuat wanita itu merasa ketakutan dengan emosi suaminya yang selalu saja sulit untuk bisa dia kontrol. “Kenapa kamu nggak mau lepasin aku Mas? Bukankah kamu sudah ada wanita lain di luar sana? Kenapa kamu justru malah mempersulitku untuk bisa lepas dari kamu, apa yang sebenarnya kamu mau Mas?” Kedua mata Rena sudah berkaca-kaca, sprei putih yang tengah dia duduki saat ini telah kusut karena dia cengkeram. Rasa sakit dan kebas pada rahangnya dapat dia rasakan, bahkan mungkin saja nanti akan meninggalkan bekas memerah setelahnya. Tapi Rena bagaimanapun tidak berani melawan suaminya yang jelas memiliki kekuatan jauh di atasnya yang hanya merupakan seorang ibu rumah tangga biasa. “Kamu tahu kan kalau sebentar lagi aku ada kenaikan pangkat, jadi kamu jangan mengacau dengan terus kekeh mengajukan gugatan cerai ke pengadilan. Atau kalau kamu masih saja kekeh dengan keputusan kamu, siap-siap saja orang yang kamu jadikan sebagai kuasa hukum akan ikut terlibat dan menjadi korban atas skandal kalian!” Mendengar hal itu, Rena tampak semakin ketakutan bukan main. Tentu saja dia paham apa yang dimaksud oleh sosok suaminya -Raka Mahendra-. Temperamen buruk suaminya semakin menjadi sejak dia memergoki pria itu tengah berselingkuh di luar sana. Bahkan pria itu tidak segan untuk balik menjebaknya hingga terlibat skandal yang menyeret orang lain dalam rumitnya hubungan rumah tangga mereka saat ini. “Kamu jangan berani-berani ...,” “Jadi kamu mau balik mengancamku, istriku?” Raka tersenyum, namun jelas itu adalah senyuman yang sangat tidak diharapkan oleh Rena. Karena tiap kali pria itu tersenyum, maka itu akan berakhir buruk untuknya dan Rena tidak ingin hal yang tidak dia inginkan akan terjadi. Rena beberapa kali menggelengkan kepalanya hendak menolak, namun semakin dia mencoba untuk menolak, maka semakin kuat pula cengkeraman yang dia rasakan pada rahangnya. Air mata wanita itu telah meluruh membasahi kedua pipinya, membuat make-up yang semula terpoles dengan cantik di wajahnya kini mulai luntur dan tidak lagi mempercantik wajahnya. Namun Rena sama sekali tidak peduli, dia hanya ingin segera lepas dari hubungan toxic antara dia dengan suaminya. Pernikahannya sudah tidak bisa lagi diselamatkan, jadi dia tidak akan pernah mau untuk mencabut gugatan cerai yang sudah dia ajukan di pengadilan negeri hanya karena ancaman dari Raka. Dia tidak ingin terus mengalami siksaan baik batin maupun fisik dari pria itu. Hubungannya benar-benar sudah di ujung tanduk, dan dia akan berjuang keras untuk keluar dari jurang neraka yang membelenggunya kini. “Akhhh!” Rena langsung memegangi pipinya yang terasa memanas dan perih usai pria itu menamparnya dengan cukup kencang, hingga membuat wanita itu jatuh tersungkur di atas kasur. “Ingat perkataanku!” Rena langsung memalingkan wajahnya begitu Raka melemparkan beberapa lembar foto berukuran 5×6 di depan wajahnya dengan cara yang paling tidak lembut sama sekali. Lalu wanita itu mengambil sebuah foto yang dilemparkan padanya dan kedua matanya langsung membelalak kaget. Karena selama ini suaminya tersebut hanya sekedar mengancam dengan kata-kata verbal ataupun melalui pesan. Baru kali ini pria itu benar-benar serius dengan langsung melemparkan foto skandal antara dia dengan Ando. Yang mana dia tahu benar bahwa foto tersebut merupakan hasil jebakan yang dilakukan oleh pria itu untuk menekannya. Raka hanya mendengus senang begitu melihat ekspresi terkejut dan ketakutan dari wajah Rena. Semuanya sama persis seperti apa yang telah dia perkirakan. Bagaimana dia bisa tenang dengan bukti foto-foto hal yang tampak ambigu tentang dirinya dengan pria lain tengah berserakan di depan matanya secara langsung seperti ini. Setelah Raka pergi dengan membanting pintu kamar hingga terdengar suara berdebum, Rena lalu beringsut turun dari kasur dan duduk bersimpuh di lantai samping tempat tidur. Air matanya telah meluruh dengan cukup deras hingga membasahi kedua pipinya. Kedua matanya juga tampak memerah hingga sembab. Ia terlihat meremas foto yang ada di tangannya sampai kusut. Pikirannya benar-benar kalut, bingung harus berbuat apa dengan semua hal yang menimpanya saat ini. Ada perpaduan antara rasa takut, gelisah, malu, dan segala macam emosi yang berkumpul di dalam dirinya. Membuat pikirannya sangat kacau. Bahkan setitik rasa putus asa sempat terbersit di dalam dirinya, membayangkan bagaimana jika sampai foto-foto ini tersebar luas. Dia tidak akan pernah bisa menanggung semua aib ini sekalipun itu semua terjadi karena adanya jebakan dari suaminya. Dengan tangan yang gemetaran, Rena perlahan mengambil ponselnya yang ada di atas nakas samping tempat tidur. Dia mencari satu nomor telepon yang terkait erat dalam foto itu, karena dia tidak akan bisa menyelesaikan semua ini sendirian. Apa lagi suaminya bukan orang yang mudah untuk dihadapi. Sementara di tempat lain, hari sudah beranjak malam. Ando tengah duduk bersama Meisya di ruang tamu, sementara anak-anak tengah bermain di depan ruang TV. Hubungan di antara mereka yang semula telah mencair sejak Ando memberikan hadiah berupa gelang pada Meisya, dalam sekejap kembali menjadi renggang usai Meisya menerima panggilan telepon. Ando sendiri juga masih belum tahu apa sebab Meisya bisa seperti ini, apakah dia telah membuat istrinya marah atau berbuat salah? Setelah menghela napas selama beberapa saat, Ando dengan nekat duduk semakin mendekat ke arah Meisya. Dia terus mendekatinya dan langsung memeluk Meisya dari samping. “Lepasin Mas.” “Nggak mau, Mas kan lagi kangen sama kamu.” Meisya hanya memalingkan wajahnya, jika di hari biasa dia akan merasa malu dan dengan mudah jatuh dalam rayuan suaminya. Namun saat ini perasaannya sedang tidak menentu, seolah ada sesuatu yang mengganjal di dalam hatinya hingga membuat Meisya tidak bisa tenang. “Kamu masih marah sama Mas?” Meisya hanya menggelengkan kepalanya, karena dia sendiri juga tidak tahu semacam perasaan apa yang tengah dia rasakan saat ini. Rasanya terlalu campur aduk sehingga dia bahkan tidak bisa mengerti, ingin mendapatkan jawaban pasti atas keraguannya dari Ando secara langsung juga pria itu tidak bisa dia harapkan. Haruskah ia mulai menyelidiki apa yang biasanya dilakukan suaminya di luar untuk menenangkan segala rasa penasaran dan keraguan dalam hatinya? “Kamu melamun lagi,” Ando berkata dengan pelan, kini kepala pria itu sudah dia tumpukan di atas bahu Meisya. Mempersempit jarak di antara mereka semakin dekat hingga napas pria itu terasa hangat berhembus di leher Meisya. Membuat Meisya merasa geli dan memalingkan wajahnya ke sisi lain yang justru malah semakin memberikan akses lebih bagi Ando untuk bisa menghirup aroma leher istrinya yang membuatnya merasa nyaman dan beraroma harum. “Mas geli, nanti anak-anak lihat.” “Anak-anak udah tidur.” Spontan Meisya langsung menolehkan kepalanya ke arah ruang TV, rupanya apa yang dikatakan oleh Ando benar adanya. Mereka sudah ketiduran, Meisya lalu melirik jam yang sudah menunjukkan pukul 9 malam. “Kalau gitu kamu bawa Mika kembali ke kamarnya dulu, biar aku yang bawa Sakha ke kamarnya juga.” “Biarin aja mereka tidur di sana sebentar, nanti baru Mas pindahin.” “Tapi, akhhh!” Meisya langsung memekik kaget saat tubuhnya terasa melayang di udara saat mendapati Ando saat ini malah tengah membopong tubuhnya seperti dia tengah membawa karung beras. “Mas, turunin aku. Kenapa malah gendong aku gini, harusnya Mas gendong anak-anak ke kamar mereka.” “Anak-anak bisa menunggu Sayang, Mas yang gak bisa nunggu lagi.” Tentu saja Meisya paham apa yang dimaksud oleh Ando, pria itu rupanya sedang menginginkannya. Karena mereka memang sudah lebih dari seminggu absen tidak melakukannya. Terutama karena Ando terlalu sibuk dengan pekerjaannya sehingga tidak ada waktu sama sekali. Meisya pada akhirnya tidak lagi menolak, dia pasrah saja saat tubuhnya dibawa ke lantai atas tempat kamar mereka berada. “Mas, ponselnya bunyi, kayaknya ada yang nelpon.” “Abaikan saja, mereka bisa menunggu.” Ando sama sekali tidak menghiraukan ponselnya yang tertinggal di atas meja ruang tamu terlepas dari apakah telepon tersebut sangat penting atau tidak, karena malam ini dia ingin menghabiskan waktunya dengan istri kecilnya. Dia sudah sangat merindukannya mengingat sudah lama tidak melakukan hubungan badan dengan istri cantiknya. Untuk sesaat dia ingin egois tidak memikirkan hal lain di luar sana, ia ingin benar-benar merasakan kembali perasaan intim bersama dengan istri tercinta meski barang sejenak.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN