Ando tampak bergerak gelisah dalam tidurnya. Bagaimanapun juga dia masih belum terbiasa tidur tanpa ada Meisya di sisinya. Meskipun sikapnya akhir-akhir ini agak dingin dan cenderung mengabaikan istri kecilnya, tetap saja Ando melakukan semua itu atas dasar rasa bersalah.
"Arghhh!" Pria itu mengacak-acak rambutnya hingga berantakan, sekarang waktu sudah menunjukkan pukul 1 dini hari. Tapi dia masih belum bisa tidur setelah merebahkan diri selama tiga jam lamanya.
Mau tak mau Ando akhirnya turun dari ranjang yang kusut karena dia berguling-guling dari waktu ke waktu sedari tadi sembari menunggu kantuk datang. Sekali lagi pria itu membuka balkon kamarnya. Mengeluarkan bungkus rokok dan menyulutnya dengan korek api. Ini adalah batang kelimanya hari ini. Padahal pria itu biasanya sangat jarang merokok, dia hanya akan merokok saat merasa stress dan banyak pikiran seperti saat ini.
Setelah menyalakan dua batang rokok, Ando akhirnya menyerah. Dia mematikan putung rokok di tangannya dan berjalan keluar kamar setelah menutup balkon. Tujuannya jelas, kamar Mika yang ada di lantai bawah.
Dia tidak peduli lagi, karena yang dibutuhkannya sekarang adalah sosok istri kecilnya. Ia sangat ingin tidur sambil memeluk tubuh mungil istrinya dalam dekapan hangat. Menyalurkan rasa frustasi dan menenangkan pikiran melalui sentuhan lembut istrinya yang biasanya selalu bisa membuat pikirannya tenang.
Ando berjalan pelan, membuka pintu kamar Mika dan melihat pemandangan yang menghangatkan hatinya.
"Sayang." Dengan pelan mengguncang tubuh Meisya yang tertidur pulas. Ada rasa tidak tega untuk membangunkannya, tapi dia ingin egois untuk saat ini.
"Hmm ...," Meisya menggeliat pelan, terusik oleh panggilan Ando yang sedikit mengguncang tubuhnya.
"Ngapain kamu di sini?" Meisya terburu-buru bangun dari tidurnya dan duduk di sisi ranjang tepat berhadapan dengan Ando.
"Aku nggak bisa tidur."
Meisya terdiam sejenak, lalu dia menoleh menatap pada dua anaknya yang tampak sudah tertidur pulas. "Terus mau kamu gimana?"
"Temenin tidur ya?"
Jika dulu sebelum sikap pria itu berubah menjadi acuh tak acuh mungkin Meisya akan merasa senang dan dibutuhkan, namun sekarang entahlah. Perasaannya terasa rumit, dia tidak langsung menjawab, tapi tampak ragu apakah harus pergi meninggalkan anak-anak demi menemani Ando atau tidak.
Namun belum sempat Meisya memutuskan, dia sudah dapat merasakan bahwa tubuhnya melayang. Rupanya Ando telah membopong tubuhnya untuk dia bawa ke kamar mereka, sama seperti apa yang pria itu lakukan kemarin malam saat pulang larut.
Meisya tidak menolak, tapi hanya terdiam. Samar-samar dapat dia rasakan aroma tembakau pada kaos putih yang dikenakan oleh Ando, membuat wanita itu langsung bisa menebak bahwa suaminya baru saja merokok.
"Kamu merokok?"
"Maaf."
Ando tahu bahwa Meisya kurang menyukainya saat merokok, apa lagi dia juga bukan perokok aktif dan sangat jarang merokok. Tapi akhir-akhir ini dia mulai sering merokok karena banyaknya pikiran yang memenuhinya.
"Kenapa kamu merokok?" Nada suara Meisya tampak tenang, namun jelas penuh selidik. Hanya saja Ando lebih memilih diam dan tidak menjawab karena takut akan menyebabkan masalah atau pertengkaran yang tidak perlu.
"Masalah pekerjaan, sedikit stress."
Lagi-lagi pekerjaan, Meisya hanya bisa menghembuskan napas panjang. Enggan untuk berkomentar dengan jawaban asal-asalan pria itu yang sama sekali tidak mau terbuka padanya.
"Lupakan, anggap aku gak nanya apa-apa. Lagian itu hidup kamu, hak kamu, bukan urusanku juga."
Meisya langsung mengambil sikap, memberontak dan meminta diturunkan sari gendongan pria itu. Ketika ia berhasil memijak lantai yang dingin, Meisya langsung masuk ke dalam kamar. Menarik selimut dan membungkus tubuhnya hingga sebatas leher, mengambil posisi paling pinggir tempat tidur dan memunggungi Ando yang menyusul di belakangnya.
"Maafkan aku Sya, aku janji akan menjalankan semuanya setelah aku menyelesaikan masalah ini. Apapun yang terjadi, aku harap kamu bisa percaya sama aku."
Setelahnya Ando juga naik ke tempat tidur, mengambil jarak terdekat dengan istrinya dan memeluk Meisya dari belakang. Sementara Meisya tidak menolak, tapi juga tidak menerima. Hanya diam saja dan bersikap seolah tidak peduli dengan sikap pria itu.
Mengapa pria bisa menjadi orang yang lebih rumit dari pada wanita? Apa salahnya berterus terang?
***
Sekitar jam 8 pagi Meisya terbangun, namun dia tidak mendapati Ando di sebelahnya. Meski sekarang hari minggu, Meisya tidak ingin banyak berpikir dan segera ke kamar mandi untuk membasuh muka sebelum turun untuk menyiapkan sarapan. Ia bangun kesiangan yang tidak seperti biasanya, apa lagi ponselnya yang sudah dia setting alarm tertinggal di kamar anak-anak semalam.
Saat turun Meisya langsung pergi ke kamar Mika dan di sana masih mendapati Mika dan Sakha yang tertidur pulas karena tidak harus pergi ke sekolah. Meisya membiarkannya dan segera pergi ke dapur, dia ingin membuat sarapan. Namun sepanjang ia turun dari kamar hingga saat ini masih tidak mendapati keberadaan Ando.
'Apa dia bekerja lagi saat weekend?'
Meisya tidak ingin berpikiran buruk, namun rasa penasaran membunuhnya. Membuat wanita itu pergi ke depan untuk memastikan apakah mobil suaminya masih ada di garasi atau tidak. Ternyata dugaannya benar, garasi kosong, hanya ada sepeda motor Scoopy yang biasanya dia gunakan untuk mengantar anak-anak ke sekolah karena lebih efisien dan terhindar dari macet di hari kerja.
Ada rasa kecewa dalam diri Meisya, namun dia menepisnya. Meski bayangan ketika Ando ketahuan sedang makan bersama dengan kliennya yang masih cantik kemarin masih membekas di ingatannya, membuat dadanya sesak tanpa bisa dia hindari. Ada juga rasa curiga yang selalu dia tepis. Tidak ingin berprasangka meski benih kecurigaan itu sudah mulai bercokol di hatinya yang terdalam.
Setelah selesai membuat sarapan dan membersihkan diri, juga mengerjakan pekerjaan rumah. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 10 pagi. Meisya akhirnya bisa duduk tenang di depan televisi dengan anak-anak, menyingkirkan pikiran tentang Ando dan fokus mengajari Sakha menulis dan berhitung.
Hingga suara deru mobil membuat Meisya mengalihkan pandangannya ke arah halaman depan secara refleks. Lalu melihat sosok Ando yang berjalan mendekati mereka bertiga dengan menenteng tas belanjaan yang entah berisi apa.
"Apa yang kamu bawa Mas?"
Ando tersenyum, lalu berjalan mendekat dan berjongkok di depan anak-anak. Ia mengeluarkan beberapa mainan kesukaan anak-anak, berupa boneka Pikachu untuk Meisya, juga action figure Transformers untuk Sakha.
"Ayah bawa hadiah spesial buat kalian berdua, Ayah harap kalian menyukainya." Senyum di bibir Ando masih tersungging dengan lebar, ia dapat melihat ekspresi senang di wajah anak-anaknya saat melihat hadiah mainan yang dibawanya saat ini.
"Wahhh, Transformers!" Sakha yang memang sangat menyukai robot Transformers berupa Bumblebee yang bisa dibongkar pasang dari robot menjadi mobil berwarna kuning itu tentu sangat senang dan seketika melupakan bagaimana dia masih marah pada Ando sebelumnya.
Sementara Mika saat ini masih tampak ragu, tapi jelas sekali di matanya dia juga sangat senang dengan hadiah boneka Pikachu yang sangat menggemaskan itu. Mika hanya memegangi boneka Pikachu tersebut selama beberapa saat, lalu menoleh ke arah mamanya, ayah, dan boneka di tangannya selama beberapa saat. Menimbang apakah dia akan dengan mudah dibujuk oleh ayahnya dengan sebuah boneka atau tidak.
"Ambil saja, Ayah kalian juga pasti ingin berbaikan dengan kalian." Meisya yang mengerti rasa bimbang Mika akhirnya membuyarkan pikiran gadis kecil itu dengan senyuman lembutnya. Membuat Mika pada akhirnya dengan ragu memeluk boneka Pikachu di tangannya dan tersenyum lebar.
"Terima kasih Ayah." Meski suaranya sangat kecil, namun Ando yang mendengarnya masih bisa tersenyum dan merasa lega pada akhirnya.
Tapi tidak hanya itu saja, setelahnya Ando juga mengeluarkan sebuah kotak dari dalam tas belanjaan tersebut. Ia lalu membukanya dan menunjukkan isi kotak perhiasan tersebut di depan Meisya. Isi kotak tersebut berupa gelang emas berwarna rose gold dengan rantai tipis dan ada bentuk hati yang tertembus anak panah di tengahnya sebagai motif batu permata berwarna putih yang tampak elegan dan cantik saat pria itu mengenakan gelangnya di pergelangan tangan Meisya.
Lalu Ando mengecup punggung tangan Meisya dengan kecupan hangat, membuat semburat warna merah muda muncul di kedua pipi Meisya akibat ulah Ando secra terang-terangan di depan anak-anak.
"Mas, ada anak-anak." Meisya memalingkan wajahnya, hendak menarik tangannya yang dipegang dan dicium oleh pria itu karena malu.
Namun bukannya melepaskan genggaman tangannya, Ando malah menarik Meisya masuk ke dalam pelukan hangatnya. Tak ia pedulikan meskipun ada anak-anak yang menyaksikan momen romantisnya dengan Meisya.
"Maafin aku ya, aku cuman bisa lakuin ini untuk sekarang. Semoga kamu menyukai hadiah kecil yang Mas kasih buat kamu ini."
Meisya yang sebelumnya masih penuh dengan rasa curiga dan canggung atas perang dingin antara dia dan Ando pada akhirnya merasa hangat dalam hatinya. Seolah beban pikiran dalam dirinya telah terangkat, ia berbalik memeluk Ando. Menyunggingkan senyum manis di bibirnya dengan tulus, berharap momen seperti ini tidak akan usai dengan cepat dan bisa bertahan lama.
Tak beberapa lama anak-anak juga ikut mendekat dan memeluk Ando dan Meisya. Mereka berempat saling berpelukan dengan bahagia. Hingga sebuah dering telepon dari ponsel Meisya membuyarkan momen haru dan bahagia keluarga kecil itu.
"Aku angkat telepon dulu ya Mas."
Ando hanya mengangguk, dia lalu duduk di depan televisi dan bermain dengan anak-anak. Memecahkan perselisihan antara mereka bertiga kemarin dan kembali bersenda gurau seolah tidak ada yang terjadi kemarin.
"Halo Assalamualaikum Meri, tumben kamu nelepon jam segini?"
'Walaikumsalam, kak sebelumnya maaf banget. Kakak jangan marah dulu ya.'
"Emangnya kenapa kakak harus marah sama kamu?"
'Emm itu, aku gak sengaja tadi waktu ke mall liat orang yang mirip sama suami Kak Meisya. Aku kirim fotonya ya, tapi Kakak janji jangan marah dulu.'
"Kakak janji gak bakal marah."
Meisya hanya mengerutkan keningnya heran, karena sangat jarang Meri yang notabennya merupakan istri dari Alvin sahabat Ando bersikap seperti ini. Karena Ando dan Alvin bersahabat dan sering bertemu untuk keluar bersama, hal itu juga membuat Meisya cukup akrab dan dekat dengan Meri.
Ting!
Dering notifikasi w******p miliknya berdenting, itu adalah foto yang dikirimkan oleh Meri padanya. Meisya lalu membuka foto tersebut dengan pelan. Butuh beberapa saat bagi Meisya untuk mencoba mencerna apa yang ada di layar ponselnya saat ini.
'Kak Meisya maaf, aku gak maksud apa-apa. Tapi aku cuman ngasih tau apa yang aku lihat aja, lebih baik Kakak omongin baik-baik sama suami Kak Meisya dulu, jangan langsung kebawa emosi ya kak.'
"Kamu tenang aja, makasih ya Meri. Kalau gitu aku matiin dulu teleponnya."
Setelah panggilan telepon terputus, Meisya masih memperhatikan foto tangkapan layar yang dikirimkan oleh Meri selama beberapa menit. Tanpa sadar kedua matanya terasa memanas, namun dengan cepat dia usap agar tidak ada yang menyadarinya.