Di bawah sinar lampu kamar yang agak temaram, Ahmar menatap pria tambun yang kini tergeletak tak berdaya di tengah ranjang. Pria itu masih menggunakan baju tidur dengan bagian baju yang tersibak dan menunjukkan perutnya yang tambun terlihat sebagian. Ahmar mendengkus dan melangkah meraih ponsel milik pria itu. Ahmar mengetatkan rahangnya ketika membaca satu persatu pesan yang berada dalam ponsel tersebut. Ia kemudian melirik pria itu kembali dengan netra biru safirnya yang terlihat begitu dingin. “Kau memang pantas mati,” cela Ahmar tanpa rasa bersalah. Ahmar kembali meletakkan di tempat semula sebelum melangkah menuju gorden tebal yang menutupi dinding kaca. Dengan satu gerakan, Ahmar pun menyibak gorden tersebut dan terpampanglah pemandangan kota yang tampak gemerlap dengan lamp