Si Tampan
Harjo dan Yani adalah salah satu petani yang memiliki ladang sayur sendiri. Keduanya memiliki sepetak ladang yang berada di pebatasan desa dengan hutan. Desa di mana keduanya tinggal adalah desa yang belum terlalu modern. Atau lebih tepatnya, warganya masih lebih senang hidup sederhana tanpa banyak barang-barang modern yang harus mereka beli atau pesan jauh dari kota. Karena warganya yang masih menjaga adat dan ketradisionalan, desa tersebut terasa masih asri.
Hingga sore seperti ini pun, udara di desa masih terasa segar, seperti udara dini hari di kota. Ketika Harjo masih menyelesaikan pekerjaannya di ladang, maka Yani beranjak untuk memasuki tepi hutan. Selain membantu Harjo mengurus ladang, kegiatan Yani yang lain tak lain adalah mengumpulkan ranting guna menjadi kayu bakar. Di rumah mereka, memasak memang masih menggunakan tungku kayu bakar, padahal Yani juga sudah memiliki kompor gas. Hal ini terjadi karena menurut Yani dan keluarganya, makanan yang dimasak menggunakan tungku memang terasa lebih nikmat daripada saat dimasak menggunakan tungku gas.
Yani dengan telaten memungut satu persatu kayu bakar dan mengumpulkannya menjadi sebuah ikatan yang cukup besar. Namun, di tengah kegiatannya itu, Yani melihat sesuatu yang aneh. Bulu kuduk Yani meremang sebelum dirinya menjerit dengan kerasnya, hingga jeritan itu terdengar oleh Harjo. Tentu saja Harjo segera melemparkan cangkulnya dan mengambil parang yang tajam. Harjo berlari bak orang kesetanan menuju sumber suara yang tak lain adalah istrinya. Begitu Harjo tiba di sana, Harjo tanpa sadar tertegun. Ia bahkan melepaskan genggamannya pada parang tajam yang sebelumnya akan ia gunakan sebagai senjata.
***
Membicarakan keindahan desa ini, memang tidak pernah ada habisnya. Sawah dan perkebunan sayur menghampar dengan hijaunya, memanjakan setiap netra yang memandang. Selain kebun sayur, ada pula kebun bunga. Namun kebun bunga petik tersebut tidak terlalu banyak di desa tersebut. Salah satu pemilik kebun bunga tersebut adalah putri dari pasangan Harjo dan Yani yang sebelumnya telah disebutkan. Maharani, nama dari putri mereka.
Marahani memang memiliki ketertarikan khusus pada keindahan yang tak lain adalah bunga. Karena itu, Maharani memiliki sebuah kebun bunga yang di dalamnya ada berbagai macam bunga yang indah. Selain menjadi hobi, mengurus kebun bunga menjadi usaha bagi Maharani. Setiap harinya, Maharani menerima pesanan bunga segar dari beberapa orang berada di desa. Maharani juga menjadi pemasok bunga bagi toko di kota, selama satu bulan sekali. Bisa dibilang, Maharani sudah memiliki konsumen yang cukup banyak.
Karena semua konsumen dan pelanggannya itu, Maharani setiap harinya akan sibuk mengurusi kebun bunganya. Menyadari jika hari sudah menjelang sore, Maharani bangkit dan meninggalkan pekerjaannya yang memang sudah selesai. Maharani melangkah memasuki rumah kayu sederhana namun nyaman milik keluarganya. Setelah mencuci tangan dengan bersih, Maharani mulai menyiapkan bahan dan alat untuk memasak makan malam.
Dengan lincah, satu persatu bahan Maharani mengolahnya dengan terampil. Maharani memang sudah terbiasa memasak untuk dirinya dan kedua orang tuanya. Masakan Maharani juga terasa nikmat. Bahkan setiap hari, Maharani yang mengambil alih tugas untuk makan siang dan makan malam. Untuk sarapan, biasanya Maharani dibantu oleh Yani. Tidak membutuhkan waktu lama, Maharani menyelesaikan acara memasaknya.
Menu untuk makan malam dan nasi hangat sudah tersedia, serta Maharani letakkan di atas meja makan kecil. Setelah meyakini jika semua tertata rapi, Maharani menutup menu makan malam menggunakan tudung saji. Maharani berbalik dan memilih untuk segera mandi. Tubuhnya sudah terasa lengket dan lelah. Harapan Maharani yang ingin mendapatkan kesegeran setelah mandi, ternyata terkabul. Maharani tersenyum dan mengeringkan rambut hitamnya yang panjang.
Maharani tidak memiliki penampilan yang terlalu cantik bak primadona di kota. Hanya saja, Maharani memiliki pesona anggun khas dari kembang desa. Sikap Maharani yang lemah lembut dan juga positif menjadi nilai plus lainnya dari sosok Maharani. Satu hal lain yang biasanya sering membuat orang terpesona adalah lesung pipit yang menghiasi salah satu pipi Maharani, ketika gadis itu tersenyum dengan manisnya.
Maharani menyampirkan handuk dan menatap langit yang mulai menggelap. Kini Maharani mulai merasa cemas. Tentu saja dirinya merasa cemas ketika kedua orang tuanya belum kembali dari ladang. Maharani memilih untuk melangkah menuju ke tengah rumah dan melihat jam dinding. Ternyata sudah jam delapan belas lebih. Sudah hampir maghrib. Namun kenapa Harjo dan Yani belum pulang? Apa mungkin ada yang terjadi, hingga menghambat kepulangan keduanya? Semakin lama, Maharani semakin cemas.
“Apa kususul saja Ibu dan Bapak, ya?” tanya Maharani pada dirinya sendiri. Maharani kembali menatap jam dinding. Nanti, setelah adzan maghrib jika keduanya masih belum pulang, Maharani akan menyusul mereka ke ladang.
Namun, saat adzan maghrib berkumandang dengan merdunya, Maharani mendengar pintu rumah yang diketuk. Maharani tentu saja segera berlari dan membuka pintu, karena Maharani bisa tahu jika itu adalah kedua orang tuanya. Betapa terkejutnya Maharani saat melihat bukan hanya dua orang tuanya yang berada di depan pintu rumah. Ada seorang pria—terlihat dari tubuhnya yang tinggi besar—yang tengah susah payah dipapah oleh Harjo dan Yani. Karena posisinya yang menunduk, Maharani sama sekali tidak bisa melihat wajahnya.
Melihat Maharani yang malah mematung, Yani berseru pelan, “Rani, awas!”
Maharani tersentak pelan dan menggeser tubuhnya guna mempersilakan kedua orang tuanya masuk dengan memapah sosok asing itu. Maharani mengikuti langkah keduanya yang ternyata menuju kamar tengah yang biasanya digunakan untuk tamu. Saat sosok tinggi besar itu dibaringkan, barulah Maharani melihat wajah sosok itu. tanpa bisa ditahan, Maharani berdecak kagum. “Tampannya!” seru Maharani.
Mendengar hal itu, Maharani mendapatkan cubitan gemas dari Yani. Tentu saja Maharani meringis dan mengerucutkan bibirnya. Namun dirinya tak memprotes lebih jauh dan memilih menatap wajah pria yang tengah berbaring di atas ranjang. Maharani kembali berdecak dalam hati. Pantas saja ayah dan ibunya tadi terlihat susah payah untuk membopong pria ini, tubuhnya saja hampir tidak muat di atas kasur. Tinggi badannya memang sangat menakjubkan. Maharani baru pertama kali melihat seseorang yang tingginya seperti ini. Mungkin, pria ini memiliki tinggi hampir 190 cm.
Maharani kemudian menatap wajah pria itu. Wajahnya sangat tampan dengan hidung bangir dan ciri khas orang timur yang kental. Maharani dan kedua orang tuanya memang bisa dengan menyimpulkan jika orang ini memiliki keturunan orang asing. Maharani lalu menoleh pada ibunya. “Bu, memangnya Ibu memungut orang ini dari mana? Lalu kenapa Ibu membawa orang ini ke sini?” tanya Maharani.
Sontak saja Yani mencubit kedua pipi Maharani dengan gemas. “Bagaimana bisa kamu mengatakan memungut pada seseorang? Itu tidak sopan, Rani.”
Maharani merengek. “Ah, iya Bu. Maaf!” Barulah Yani melepaskan cubitannya.
Yani lalu menatap pria itu dan berkata, “Ibu dan Bapak menemukannya di hutan yang berada di dekat ladang. Pemuda ini terluka. Karena itu, kami tidak mungkin membiarkannya saja di sana. Membawanya ke Puskesmas juga tidak mungkin. Petugas pasti sudah tidak berada di sana, jadi, Ibu memutuskan untuk membawanya pulang saja. Ibu dan kamu pasti bisa merawatnya.”
Maharani mengangguk perlahan. “Lalu, memangnya di mana dia terluka?” tanya Maharani.
“Dia terluka pada perut dan lengannya. Mungkin, karena memakai baju hitam, darah yang merembes jadi tidak terlihat. Sekarang, tolong siapkan mangkuk, air hangat, dan handuk, ya,” ucap Yani.
Maharani mengangguk dan segera beranjak untuk menyiapkan barang-barang yang disebutkan oleh Yani. Harjo yang sejak tadi memastikan jika kondisi pria itu tidak kritis, kini bangkit dan menghadap istrinya. “Sementara Ibu dan Rani mengobati luka-lukanya, Bapak akan ke Pak RT. Bapak harus melaporkan kejadian hari ini. Kemungkinan, nanti Pak RT akan memeriksa ke sini. Jadi, sebaiknya segera bersihkan dan ganti pakaian pria ini dengan pakaian Bapak yang sekiranya akan muat padanya.”
Yani mengangguk. “Bapak tidak perlu cemas. Ada Rani yang pasti akan membantu Ibu dengan baik. Sekarang, lebih baik Bapak pergi. Tidak baik mengganggu Pak RT jika sudah terlalu larut. Pak RT juga perlu istirahat.”
Harjo pun melangkah pergi. Ia tidak memiliki waktu untuk mandi lebih dulu. Jadi, ia harus segera menemui pak RT untuk melaporkan apa yang terjadi sore ini. Saat itulah, Maharani masuk ke dalam kamar dan meletakkan semua yang disebutkan oleh Yani tadi di atas lantai. Setelah itu, Yani berseru, “Baiklah, sekarang tugas kita merawatnya!”
“Jadi, kita harus membuka bajunya?” tanya Maharani sembari menatap tubuh kekar pria itu.
Menyadari apa yang dipikirkan oleh Maharani, Yani tidak bisa menahan diri untuk tersenyum. Putrinya ini sungguh sangat mudah dibaca. Yani memutar bola matanya dan berkata, “Tentu saja. Maka dari itu, tutup matamu.”
Mendengar hal itu, Maharani menoleh dan mengerucutkan bibirnya. “Yah, Ibu!”
***
Maharani dan kedua orang tuanya baru bisa makan malam, ketika jam sudah menunjukkan jam sepuluh malam. Hal ini terjadi karena semua masalah yang berkaitan dengan pria yang ditemukan oleh Yani dan Harjo baru saja selesai. Harjo memang sudah melaporkan penemuan pria itu pada pak RT, dan saat itu pula pak RT menuju ke rumah Harjo untuk memeriksa keadaannya. Yani dan Maharani juga sudah selesai merawat luka dari pria itu. Jadi, kini tinggal menunggu waktu hingga pria itu sadar dan bisa ditanyai mengenai identitas dan apa yang terjadi hingga dia bisa tergeletak tidak sadarkan diri di dalam hutan seperti itu.
Harjo minum sedikit sebelum menatap Maharani yang juga tengah makan dengan lahap. “Rani, nanti setelah makan, kamu tidur ya. Biar Bapak dan Ibu yang menjaga pemuda itu.”
Mendengar perkataan Harjo, Maharani pun mengangkat pandangannya dari piring dan menatap ayahnya. “Sebaiknya, Bapak dan Ibu yang istirahat. Nanti biar Rani yang menjaganya. Lagipula, Rani hanya perlu duduk dan menunggui dia hingga terbangun. Itu tidak berbahaya. Bapak dan Ibu kan sejak pulang dari ladang belum beristirahat, jadi, sekarang waktunya Bapak dan Ibu istirahat.”
“Tapi dia bisa saja bangun kapan pun, kita tidak tahu apa dia orang baik atau jahat, jadi, menurut Ibu bahaya jika kamu yang menungguinya,” sanggah Yani tidak setuju dengan apa yang dikatakan oleh putrinya.
Maharani minum dan menggeleng. Setelah meletakkan gelasnya, Maharani berkata, “Ibu, Rani pikir dia bukan orang jahat.”
“Kenapa bisa berpikir seperti itu?” tanya Yani dan Harjo bersamaan.
Maharani mengulum senyum. “Karena dia tampan, jadi, tidak mungkin dia orang jahat. Orang jahat biasanya tidak memiliki wajah tampan,” ucap Maharani dengan malu-malu.
Jika Yani memutar bola matanya mendengar apa yang dikatakan oleh Maharani, maka Harjo terbatuk menahan tawa. Maharani memang pemuja keindahan, dan wajah pria tadi memang sangat indah. Sudah dipastikan jika Maharani tidak akan mudah mengalihkan pandangan dan perhatiannya dari pria itu. Apalagi menurut Harjo, wajah pemuda tadi adalah wajah yang paling tampan dari pemuda-pemuda yang dikenal oleh Maharani. Harjo hanya berharap agar putrinya itu tidak jatuh hati pada pria yang belum dikenalnya itu.
Harjo menghela napas lalu berkata, “Kalau begitu, Rani yang akan menjaganya. Bapak akan mempercayakan tugas ini pada Rani, asal ingat satu hal, jika dia terbangun, Rani juga harus membangunkan Bapak dan Ibu.”
Maharani mengangguk. “Tentu saja. Ibu dan Bapak tidak perlu cemas. Nanti, kalau dia bangun, Rani akan membangunkan Bapak dan Ibu. Itu pun juga dia akan bangun.”
“Hus, jangan mengatakan hal sembarangan! Sekarang cepatlah selesaikan makanmu!” perintah Yani pada Maharani. Tentu saja Maharani tidak melawan dan makan dengan patuh.
Tidak perlu membutuhkan waktu yang terlalu lama, Maharani dan kedua orang tuanya pun selesai makan malam. Maharani mengambil alih tugas mencuci piring, sedangkan Yani membereskan menja makan dan sisa makanan. Harjo beranjak untuk memeriksa kondisi pemuda tampan, ternyata pemuda itu masih tidak sadarkan diri. Melihat dari kondisinya, Harjo bisa memperkirakan jika pemuda itu tidak akan bangun setidaknya hingga esok siang. Jadi, membuat Maharani menjaganya mungkin sama sekali tidak ada salahnya.
“Ingat, jangan macam-macam!”
Maharani mengerucutkan bibirnya saat mendapatkan peringatan dari ibunya. “Memangnya, Rani akan melakukan apa pada dia? Meskipun dia sangat tampan, Rani juga tidak mungkin menciumnya. Ya, walaupun Rani ingin.”
Kesal dengan apa yang dikatakan oleh Maharani, Yani sama sekali tidak bisa menahan diri untuk mencubit bibir putrinya dengan gemas. “Ini bibir kenapa selalu saja menimpali perkataan orang tua, sih?”
“Ah, Ibu sakit,” rengek Maharani manja.
Harjo menengahi. “Sudah, Ibu jangan seperti itu! Dan Rani, ingat apa pesan Bapak dan Ibu tadi!”
Maharani pun mengangguk. “Tenang saja, Rani tidak akan lupa. Sekarang, Bapak dan Ibu masuk ke kamar saja. Istirahat yang cukup.”
Yani mencium kening Maharani sebelum melangkah bersama suaminya memasuki kamar depan yang memang adalah kamar pribadi keduanya. Maharani sendiri masuk ke dalam kamar tamu, dan duduk di kursi yang berada dekat dengan tepi ranjang. Karena ranjang itu tinggi, Maharani bisa menyandarkan tangannya guna menyangga dagunya. Dengan saksama, Maharani mulai meneliti wajah pria yang ditolong oleh keluarganya ini.
“Wah, kamu benar-benar tampan,” puji Maharani tanpa malu-malu menyuarakan isi hatinya.
“Bagaimana bisa hidungmu semancung itu? Dan apa yang kau makan hingga tumbuh setinggi dan sebesar ini?” tanya Maharani sembari menatap tubuh pria itu yang memang tinggi besar.
Maharani terdiam dan menikmati pemandangan indah yang berada di hadapannya ini. Sungguh, pria ini memang pria yang paling tampan yang pernah Maharani lihat. “Ah, kamu benar-benar seleraku,” ucap Maharani tanpa ragu kembali mengungkapkan isi hatinya. Maharani berani mengatakan hal seperti itu karena sadar jika pria ini memang masih tidak sadarkan diri. Hal itu terlihat dari napasnya yang masih teratur seperti tadi.
“Kamu harus cepat bangun. Kita tentunya harus berkenalan, bukan? Ah, melihat dari rupamu yang serupawan ini, aku yakin kau adalah orang baik. Orang jahat tidak berhak memiliki wajah setampan ini. Apa mungkin kamu adalah orang asing? Lalu kenapa kau bisa terluka seperti tadi, dan tergeletak sendirian di sana? Jika Ibu dan Bapak tidak menemukanmu, bagaimana nasibmu, ya?” tanya Maharani beruntun. Maharani seakan-akan tidak peduli jika ada yang mendengarnya dan menganggapnya gila karena bicara secara satu arah.
“Jika Ibu dan Bapak tidak menemukanmu, kamu pasti akan meninggal karena kehabisan darah. Jika itu terjadi, itu sangat disayangkan. Populasi orang rupawan di dunia ini pasti akan berkurang. Untungnya, Tuhan masih memberikanmu keselamatan. Sepertinya, Ibub dan Bapak harus mendapatkan sebuah penghargaan. Karena Tuhan menyelematkanmu melalui tangan Ibu dan Bapak, orang tuaku itu sangat cocok diberikan sebuah penghargaan sebagai sosok penjaga populasi orang tampan.”
Maharani menyadari jika dirinya sudah terlalu banyak mengatakan omong kosong. Ia terkikik geli. “Ini aneh, biasanya aku tidak pernah berbicara sebanyak ini.”
Maharani menatap bulu mata lentik pria itu. Ia mendengus. “Menyebalkan. Aku iri pada semua yang kau miliki. Kulit putih, hidung bangir, wajah tampan, tubuh tinggi, hingga bulu mata lentik, bagaimana bisa seorang pria sepertimu memiliki semua itu. Sepertinya kamu serakah dan mengambil hak orang lain saat dirimu diciptakan.”
Maharani kembali menggigit bibirnya saat sadar jika dirinya sudah kembali mengatakan omong kosong. Mungkin karena lelah sudah berbicara tanpa ada yang menjadi lawan bicaranya, kini Maharani menguap lebar. Melihat jika sosok yang ia tunggui tidak akan terbangun, barulah Maharani melipat kedua tangannya dan menempelkan salah satu sisi pipinya di sana. Kini wajah Maharani menghadap wajah pria tampan itu. Maharani tersenyum dan berkata, “Selamat tidur, Tampan.”
Tak lama, Maharani yang memang sudah terlalu lelah dan mengantuk akhirnya jatuh tidur dengan pulasnya. Di tengah keheningan malam itu, sosok tinggi besar yang sebelumnya masih berbaring bak orang yang masih tak memiliki kesadaran, kini terlihat bergerak pelan. Bulu matanya yang lebat dan lentik bergetar, sebelum kelopak mata itu terbuka menunjukkan netra biru safir yang siap membius siapa pun yang melihatnya.
Sosok pemuda tampan itu mengubah posisinya dengan sangat perlahan agar tidak mengganggu gadis yang tengah tertidur di samping ranjang. Netra biru safirnya yang indah menyorot tajam pada wajah ayu khas gadis desa itu. Maharani yang sudah tenggelam begitu dalam tidurnya tentu saja tidak menyadari tatapan tajam itu. Maharani malah tersenyum senang dan bergumam saat pemilik netra biru safir itu mengulurkan tangannya dan mengusap pipi Maharani yang akan dihiasi lesung pipit ketika dirinya tersenyum.
“Kau sangat cerewet. Anehnya, itu sama sekali tidak membuatku terganggu,” bisik pemuda bernetra biru safir itu dengan suara rendah. Mungkin, hanya angin yang bisa mendengar bisikannya, dan angin sama sekali tidak berbaik hati menyampaikan apa yang pria itu katakan pada siapa pun. Angin memilih untuk menyimpannya dan membiarkan malam yang dingin serta hening itu berlalu seperti yang seharusnya.