"Fai, hati-hati. Posko ini baru saja dibuka. Kita mungkin juga tidak bisa mendapatkan informasi lain di sini. Lebih baik kita pergi ke bandara untuk menunggu informasi di sana," saran dokter Aldi dengan lembut. Dia merasa tidak enak di dalam hatinya karena melihat Fai yang seperti orang kehilangan arah.
Semenjak Naima, anak perempuan kecilnya, sangat dekat dengan Fai, dokter Aldi mulai memperhatikan mahasiswa kedokteran yang sedang melakukan study koas di rumah sakit tempatnya bertugas. Terlebih saat melihat betapa lembut dan sabarnya Fai saat dia mencoba untuk membujuk Naima.
Sekarang, melihat Fai seperti ini, tanpa sadar juga menyakiti hati dokter Aldi sendiri. Lagi pula, dokter Aldi juga merasa bersalah. Bersama dengan dokter Yisma, mereka berdua yang membelikan tiket pesawat untuk Bu Khotimah. Namun, siapa yang akan menyangka bahwa akan ada tragedi kecelakaan seperti ini?
Semakin majunya jaman, semakin sedikit kecelakaan dalam angkutan umum. Ini adalah kecelakaan pesawat terbesar setelah lima tahun yang lalu. Dokter Aldi selalu berandai-andai, jika dia dan dokter Yisma tidak memutuskan sendiri seperti ini, apakah Fai tidak akan kehilangan?
"Apa yang dikatakan dokter Aldi benar. Saya tahu bahwa kamu sedang tidak baik-baik saja. Saya juga merasakan hal yang sama. Namun jika kamu sakit ataupun terluka karena memaksakan diri, yang akan mengalami masa sulit juga dirimu.
Pihak bandara juga mengatakan akan mencoba membantu biasa transportasi bagi keluarga yang tinggal jauh. Kemungkinan besar adik-adikmu akan datang ke sini. Saya tahu bahwa kamu kehilangan dan masih belum bisa menerima takdir. Hanya saja, kamu harus kuat. Bukan saya jahat, tapi masih ada adik-adikmu yang lain," ucap dokter Yisma dengan lembut.
Fai terdiam saat mendengar ucapan dari dokter Yisma. Dia seolah-olah tersadar setelah mendapatkan tamparan. Kehilangan ini bukan hanya tentang Fai yang kehilangan ibunya. Namun juga tentang adik-adiknya yang kehilangan tempat berlindung. Jika Fai juga terpuruk, lalu siapa yang akan meneruskan menjaga adik-adik?
"Aku tahu, dokter. Maaf karena aku bersikap tidak dewasa. Hanya saja, baru beberapa jam yang lalu Fai masih melihat Mamak. Sekarang, Fai bahkan tidak tahu Mamak ada di mana," ucap Fai dengan rasa sedih dan bersalah yang kuat di hatinya.
"Saya tahu. Saya juga pernah merasakan kehilangan seperti ini. Namun, kita yang masih berdiri di sini memiliki lebih banyak tanggung jawab. Nanti, selama adik-adikmu berada di sini, biarkan mereka berada di rumah kontrakan milik saya. Biar saya yang urus tentang makanan dan lainnya. Untuk selanjutnya, kamu bisa berdiskusi dengan adik-adikmu. Katakan pada saya apa yang kalian putuskan. Saya akan membantu yang terbaik untuk kalian," ucap dokter Yisma.
"Aku juga akan membantu. Orang tuaku juga mengenalmu, Fai," ucap Gina dengan cepat. Mama dan Papanya pasti mau membantu Fai jika itu hanya sekadar makan, minum, dan kebutuhan primer lain adik-adik Fai. Namun apapun itu, Gina yakin bahwa membantu Fai adalah hal yang harus dia lakukan.
"Para rekan kerja di rumah sakit juga akan membantu. Yang pasti kamu harus fokus pas koasmu dulu," tambah dokter Aldi.
Dokter Aldi tidak bisa mengatakan bahwa dirinya bisa membantu. Dia tidak bisa membantu dengan terang-terangan. Takutnya keluarga besar dari pihaknya akan memikir bahwa Fai adalah calon istrinya. Lalu, pihak keluarga besar mendiang istrinya mungkin akan membuat keributan.
Keributan ini tidak hanya terjadi satu satu dua kali. Akan sangat merepotkan bagi Fai jika dia masih harus berurusan dengan keluarga pihak istri dokter Aldi. Lagi pula, dokter Aldi belum ingin mencari pendamping lagi. Fokusnya adalah untuk memastikan Naima tumbuh dengan baik terlebih dahulu. Untuk yang lainnya, semuanya bisa menunggu.
"Fai tahu. Terima kasih sudah mendukung Fai sampai sekarang," ucap Fai dengan lembut. Dia merasa bersyukur karena bertemu dengan orang-orang ini. "Fai juga akan menjadi lebih kuat. Jika kita tidak bisa mendapatkan informasi di sini, kita bisa kembali ke bandara untuk menunggu. Di sini cukup panas," tambah Fai sambil tertawa. Meski tawanya belum selepas biasanya, ini melegakan tiga orang yang mendampinginya.
"Oh, itu ada tentara dan polisi. Kita bisa bertanya kepada mereka," tunjuk Gina.
Itu adalah tentara dan polisi yang sedang berbincang dengan seorang perempuan. Perempuan itu sepertinya adalah seorang reporter dari sebuah stasiun televisi. Gina berpikir bahwa mungkin reporter itu sedang bertanya. Jadi, mereka bisa ikut bertanya untuk hal-hal yang lebih jelas.
Fai juga memandang ke arah yang ditunjuk oleh Gina. Namun, dia berpikir yang lain, tidak seperti gina. Tentara dan polisi itu memiliki wajah yang sama. Sedangkan yang perempuan, sosok yang sedang berbicara dengan ke duanya, juga memiliki fiture yang sama. Fai bisa menebak bahwa mereka mungkin adalah saudara kembar dengan adik mereka. Melihat mereka sukses dan saling mendukung dalam hal pekerjaan, entah mengapa Fai merasa hangat.
"Andai aku dan adik-adikku bisa seperti mereka. Sukses di karir masing-masing dan masih saling mendukung seperti ini. Saat itu tiba, Ayah dan Mamak pasti akan tenang di sana," gumam Fai di dalam hati.
Meski belum ada kepastian apakah ada korban yang selamat, Fai sudah merasa bahwa kemungkinan itu nol. Lagi pula, bahkan bangkai pesawatnya belum di temukan setelah enam jam dikabarkan kemungkinan jatuh. Namun, Fai masih berdoa bahwa semua orang yang berada di dalam pesawat baik-baik saja.
"Ayo ke sana!"
Orang yang ditunjuk Gina kebetulan adalah Raka dan Saka yang menemui Runa setelah apel pembagian tugas. Para personel diberi waktu lima belas menit untuk bersiap. Raka dan Saka sudah siap dengan semua persiapan mereka. Hanya memiliki waktu lima menit untuk memastikan bahwa Runa memiliki waktu yang mudah dalam peliputannya.
"Aku sudah memeriksa kapal nelayan yang akan kalian gunakan, semuanya dalam kondisi yang bagus," ucap Raka dengan santai. Dia sambil memeriksa ponselnya untuk terus berkomunikasi dengan para anggota yang berada di bawah perintahnya.
"Tapi yang akan meliput dengan kapal nelayan bukan kami," balas Runa dengan santai.
Runa masih terus menulis di notebook dengan ukuran sedang yang berada di tangan kirinya. Menuliskan satu per satu pertanyaan yang akan dia tanyakan. Juga menuliskan beberapa nara sumber yang bisa dimintai keterangan nantinya. Sama sekali tidak terlalu memikirkan tentang siapa yang ikut meliput pencarian bangkai pesawat.
"Loh, tadi Pak Didik bilang—"
"Diubah. Ada yang meminta perubahan," potong Runa dengan santai. Saka dan Raka saling memandang satu sama lain. Dan tahu siapa yang meminta perubahan ini.
"Tahu begitu gak aku periksa," ucap Raka dengan kesal. Sedangkan Runa hanya tertawa dengan pelan.
Raka tidak berniat membantu stasiun televisi tempat Runa bekerja. Yang dia lakukan hanyalah memastikan bahwa Runa akan tetap aman meski meliput di area bahaya. Hal seperti ini sudah sering dilakukan oleh dua hero dari tiga hero yang dimiliki Runa. Entah itu Satrya, Saka, atau Raka, mereka tetap memperlakukan Runa sebagai princess terkecil. Meski sekarang ini sudah ada Sachita, tapi tindakan memanjakan mereka tidak berubah. Malah bertambah ketika Rayden sudah dewasa dan mengerti bagaimana harus melindungi saudara perempuannya.
"Baiklah. Tidak perlu marah. Ini salahku karena gak ngasih tahu kalian secepatnya. Dan enggak menyangka kalau Pak Didik masih akan memberitahu kalian seperti ini," ucap Runa dengan lembut. Dia menutup notebooknya lalu mengangkat pandangannya. Dia melihat ke arah Saka dan Raka dengan pandangan penuh permintaan maaf.
Jika sedang akur seperti ini, mereka bisa di bilang adalah saudara kembar paling sweet yang pernah ada. Raka dan Saka yang selalu melindungi Runa. Saka dan Raka yang saling melindungi meski dalam diam. Dan Runa yang selalu mengkhawatirkan Raka dan Saka ketika ke duanya bertugas. Namun jika mereka terlalu lama bersama, akan ada perang dunia yang ke sekian kalinya.
"Maaf mengganggu, ada yang harus—"
"Saka, Raka, lama tidak bertemu dengan kalian!"