BAB 3

888 Kata
BAB 3Kulihat Mas Daffa masuk ke kamar, kemudian mengambil handuk untuk mandi di kamar mandi belakang. Kamar kami di sini memang tidak memiliki kamar mandi di dalam. Berbeda dengan kamarnya Anhari. Aku segera berjalan ke kamar ketika Mas Daffa sudah pergi ke kamar mandi. Aku menunduk menyembunyikan tetesan bening yang mulai berjatuhan. Entah terbuat dari apa hati ini, mudah sekali menangis. Dasar aku, memang cengeng. Beruntung aku tadi menolak riasan wajah dari MUA, hanya mengenakan kebaya batik seragaman keluarga. Kalau tidak, mungkin wajahku sudah belepotan karena mascara dan eyeliner yang luntur. Aku duduk di depan meja rias, menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Semua kesedihan ini ingin segera kutumpahkan agar aku bisa keluar lagi dengan wajah ceria. Entah berapa lama air mata ini mengalir, terisak pelan karena takut terdengar ke luar kamar. Tanpa kusadari, Mas Daffa sudah berdiri di sampingku lagi. Tangan kokohnya menyentuh bahuku. Aku segera menghapus sisa airmata, terkejut dengan keberadaannya. “M---Mas, sudah mandinya?” tanyaku. Dia menatap tajam. “Kamu kenapa, Sayang? Aku ada salah sama kamu?” tanyanya lembut. Aku menggeleng. “Hanya terharu.” Aku berbohong padanya karena tidak tahu juga harus bercerita seperti apa. Orang yang kutangisi tak pernah merasa jika diperlakukan berbeda. “Sudah jangan nangis lagi ya,” ucapnya mengusap lembut pipiku. Mas Daffaku kemudian mengambil seragam batik keluarga dan segera dikenakannya. Setelah selesai, dia menghampiriku dan mengambil sisir yang tergeletak di meja rias. Wajahnya terlihat segar. Aku memandangnya. Dia terlihat begitu tampan menurutku---istrinya. Aku berdiri, lalu memeluknya dari belakang. Kubenamkan wajah ini pada punggung lebarnya. Kutahu dia tersenyum, tangannya menepuk-nepuk punggung tanganku yang melingkar di perutnya. Tinggiku yang tidak seberapa membuat tubuhku tertutup di balik punggungnya. “Mas, aku ambilin makanan baru ya, tadi 'kan belum selesai,” ucapku. Dia menggeleng. “Nanti saja, ayo kita temani ibu, sudah banyak tamu-tamu Anhari yang datang,” ucapnya sambil merapikan kerahnya. Dia menggamit jemariku dan mengajakku keluar. Kami bergabung bersama ibu mertua, ayah dan beberapa saudara yang memang bertugas menjamu tamu yang datang. Tiba-tiba Anhari melambaikan tangannya pada Mas Daffa dari pelaminan. Mas Daffa mengajakku menghampirinya. Zeva terlihat sangat anggun dengan gaun pengantin mahalnya. Bagitupun Anhari terlihat gagah dengan setelan tuxedonya. Bukan hendak membanding-bandingkan, namun pernikahan ini sangat jauh berbeda dengan pernikahan kami. Aku tak hendak mengungkitnya, tidak juga terluka karenanya. Akan tetapi sekali lagi memuji ketulusan hati lelaki yang sudah kupilih. Dia pun turut andil dalam terselenggaranya acara besar hari ini. “Selamat ya, Dek!” Mas Daffa memeluk erat Anhari. Lengan kokohnya menepuk-nepuk lembut bahu adiknya. “Makasih Mas,” ucap Anhari sambil membalas pelukan suamiku. Mereka terlihat begitu akrab. “Selamat ya, Har, Ze!” Aku menyalami keduanya. Anhari melambaikan tangan pada photografher, kami berfoto bersama. Aku melihat senyuman lebar Mas Daffa yang merengkuh bahu adiknya. Lelaki itu benar-benar ikut bahagia dan tidak menaruh dendam atas perbuatan mereka. Itulah Mas Daffa, lelaki langka yang masih tersisa pada abad ini. Kami hendak turun ketika Zeva memanggilku. “Mbak, temeni aku di sini, itu kursi pagar ayu masih kosong, temen aku tadi lagi touch up make up dulu.” Zeva memintaku duduk di tempat pagar ayu. Aku mengangguk mengiyakan. Akhirnya kulepaskan gamitan tangan Mas Daffa dan meminta ijinnya untuk duduk menemani Zeva. Lelakiku dengan cepat mengijinkannya. Aku duduk manis, sambil memperhatikan suamiku yang tengah dipanggil ibunya. Terlihat kemudian dia wara-wiri begitu sibuk, mengatur ini dan itu. Kadang dia ke depan, kadang ke belakang. Entahlah apa yang disuruh-suruhnya. Beruntung teman-temannya Zeva sudah selesai touch up make up. Aku meminta diri untuk meninggalkan pelaminan. “Mas!” Aku menepuk bahu suamiku yang baru saja duduk. Dia terlihat berkeringat. Kulap keningnya dengan tisu. “Ada apa sibuk banget keliatannya?” tanyaku. Dia tersenyum manis menatapku. “Itu tadi banyak masalah, tadi cateringan tahap keduanya terlambat, jadi aku bantuin dia nurunin makanan sekalian, hidangan di meja tamu sudah pada habis,” ucapnya. “Oh!” Aku hanya mengangguk. Kami berdua kemudian menikmati suasana pesta yang semakin meriah, alunan orchestra dan para penyumbang lagu sudah tampil satu per satu. Kini Anhari tampil ke panggung, dia memberikan sambutan. Perawakan tinggi tegapnya terlihat gagah dan berwibawa tetapi tidak melebihi Mas Daffaku. Anhari memperkenalkan keluarganya satu persatu. Termasuk suamiku. Acara berjalan hampir sempurna. Kini para tamu undangan telah bubar, hanya ada beberapa rekan dekatnya pengantin. Mas Daffa menghampiri adiknya yang sedang duduk bersama ibu, ayah, Zeva dan beberapa rekan kantornya yang belum pulang. “Eh ini kenalin abang gue, Mas Daffa, ini istrinya, Mbak Ziana.” Anhari memperkenalkan kami pada teman-temannya. Kami menyalaminya satu persatu kemudian mengambil kursi. Pada obrolan kali ini, kembali ibu mendominasi. Mengagung-agungkan Anhari dan Zeva. Memujinya habis-habisan. Sepertinya teman-teman Anhari sudah mulai tidak merasa nyaman juga dengan obrolan satu arah itu. Salah satu di antara mereka mengalihkan obrolan. “Har, lu ga pernah bilang punya abang juga, kerja dimana, Bang Daffa?” tanya salah satu orang kepada suamiku. “Di PT Tekhnikalindo Indonesia,” jawab Mas Daffa santai. “Wah, PT gede tuh Bang, bagian apa?” tanyanya, belum sempat Mas Daffa menjawab, ibu mertuaku yang menimpalinya. “Daffa sih bagian lapangannya Om. Dia kan cuma tamatan STM, jadi, ya apa ajalah kerjaannya, kalau Anhari sih kan sarjana. makanya itu, walaupun Anhari adiknya, kalau dari segi kemapanan, jauh beda lah, Om!” ucap Bu Liana seolah hanya Anhari saja anaknya. “Bu!” Terlihat Anhari menyenggol siku ibunya yang duduk di sebelahnya. Sementara Zeva masih sesekali mencuri pandang ke arah suamiku. Menyebalkan sekali adik iparku itu. Teman-teman Anhari pun terlihat tidak nyaman dengan perlakuan ibu mertuaku pada Mas Daffa. Namun wanita itu kembali mendominasi, dengan menceritakan prestasi-prestasi Anhari waktu di sekolah. Aku berpamitan, telingaku pun sudah berdenging sejak pagi mendengar pujian yang berlebihan. Terserah mereka mau menganggap aku apa, memangnya mereka saja yang berpendidikan. Aku berjanji pada diri sendiri, akan mendukung Mas Daffa untuk sukses mengejar semua mimpinya yang tertunda.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN