BAB 2
Sepeninggal Zeva, aku segera membereskan tempat tidurku. Mengabaikan rasa sedikit kesal karena sepagi ini telah mengganggu. Aku dan Mas Daffa melaksanakan sholat shubuh berjamaah.
Pagi ini aku membantu ibu beres-beres di dapur, sedangkan Zeva dan ibu mertuaku hanya asik mengobrol. Mereka akan segera kembali lebih awal, sedangkan aku dan Mas Daffa akan menyusul beberapa hari lagi.
Tiga hari itu tak lama. Mas Daffa yang hanya bekerja sebagai operator maintenance tak bisa mengambil cuti banyak, hanya cuti nikah selama tiga hari ini saja yang bisa diambilnya.
Mas Daffa nemboyongku kembali ke Kota Bekasi, kota industri yang sudah mempertemukan kami. Mas Daffa memintaku untuk tinggal saja di rumah dengan ibunya, namun aku menolak. Aku sudah terbiasa hidup mandiri, hidup sederhana di rumah kontrakan bagiku bukan masalah. Akan tetapi, lelaki itu berdalih, kami harus berhemat agar bisa segera membeli rumah, akhirnya aku setuju untuk tinggal sementara bersama ibunya. Tinggal di rumahnya.
Bu Liana bukanlah tipe mertua yang jahat seperti dalam sinteron-sinetron ftv. Aku cukup nyaman tinggal bersamanya. Setiap pagi aku dengan senang hati membantu semua pekerjaannya, membereskan rumah, mencuci pakaian, mencuci piring dan lain-lain. Ayah mertuaku Pak Hamdi, yang pensiunan PNS memiliki kegiatan sendiri yaitu beternak lele. Setiap pagi dia sudah pergi ke tambak yang berada tidak jauh dari rumah. Aku tak pernah terlewat untuk menyiapkan bekal untuknya.
Mas Daffa selalu memperhatikan kebutuhan keluarga. Tidak semua gajinya dia berikan padaku, sebagian untuk ibunya dan untuk biaya makan sehari-hari. Dia akan sangat terlihat bahagia hanya ketika ibunya menanyakan sudah makan atau belum. Sebuah perhatian kecil yang tidak didapatkannya dari seorang ibu. Mas Daffa diurus oleh ibu mertuaku sejak usianya 5 tahun, ketika itu ibunya Mas Daffa harus menyerah dengan penyakitnya.
Sejak aku tinggal disini, memang terlihat sekali perbedaan perlakuan dari ibu mertuaku pada kedua anaknya. Anhari yang memang hanya sesekali pulang, selalu diistimewakan. Anhari memang disediakan rumah dinas, dia memiliki keberuntungan yang bagus. Setelah lulus kuliah S1 nya dia mendapatkan pekerjaan sebagai junior manager. Namun dua kali dalam seminggu dia pasti pulang untuk menginap di rumah ini.
Dua bulan berlalu dengan cepat, kini tengah terjadi persiapan untuk acara pernikahan Anhari dan Zeva. Hampir setiap hari, Zeva datang ke rumah mengurusi semua kebutuhan untuk pernikahan. Mulai dari catering, WO, dekorasi, fitting gaun pengantin dan segala macam. Aku mulai merasa semakin terasing di sini. Bukan dia tidak lagi bersikap baik, tetapi ketika mereka datang maka keberadaanku dan Mas Daffa seolah transparan.
Waktu berlalu dengan cepat.
Acara pernikahan besar-besaran akhirnya tiba. Para tamu undangan sudah datang berlalu lalang. Sebuah dekorasi mewah dan acara premium digelar. Zeva yang merupakan model pemula mengundang semua temannya sehingga acara menjadi meriah karena beberapa bintang iklan itu sering muncul pada layar kaca.
Wajah ibu mertuaku terlihat puas dan antusias menerima semua pujian tetangga tentang keberhasilan Anhari. Terlebih mendapatkan menantu yang beberapa iklannya sudah tayang juga di televisi.
Aku dan Mas Daffa merasa semakin kerdil dan tak berharga. Sesekalipun tak pernah aku mendengar ibu membanggakan suamiku yang sudah membiayai kehidupan sehari-hari dengan peras keringat banting tulangnya.
Ya, dengan pekerjaan kasar yang memang hanya itu yang dia bisa, Mas Daffa lah selama ini yang menopang kehidupan mereka. Kini yang disebut dan dibanggakan hanyalah pemberian dari Anhari, kesuksesan Anhari, kecerdasan Anhari, Anhari anak berbakti.
Kok, sakit hatiku, ya? Atau memang aku yang terlalu perasa, entahlah. Kulihat suamiku baik-baik saja.
“Bu Mira, nanti kalau anaknya nikahan, undang mantu saya saja, biar acaranya keren, rame gitu, Zeva katanya sedang ditaksir juga oleh salah satu dapur rekaman!”
Terdengar mertuaku bercakap-cakap dengan salah satu tamu undangan. Aku hanya sesekali melihat ke arah pintu, berharap suamiku segera pulang. Tadi pagi Mas Daffa mendadak mendapat telepon dari atasannya, meskipun sedang cuti tapi tetap saja harus pergi karena ini emergency katanya.
Mas Daffa hanya seorang maintenance, dia level tekhnisi bagian paling bawah, karenanya mengambil ijin cuti selalu tidak mudah.
Ibu Mertuaku tengah mengobrol kembali dengan tamu undangan lainnya dan membangga-banggakan Anhari ketika kulihat orang yang kutunggu datang. Sebuah pujian berulang-ulang yang aku sendiri sudah hampir hapal apa yang akan dikatakannya membuatku merasa bosan.
“Iya bangga pastinya, punya anak pintar, berbakat dan bisa memperbaiki garis kehidupan keluarga. Anhari sekarang udah sarjana loh. Dia memang bisa diandelin, alhamdulillah, kerjanya saja alangsung jadi bos.”
Terdengar ucapannya sampai ke radius beberapa meter. Ibu mertuaku cukup memiliki power ketika sedang berbicara sehingga suaranya terdengar kemana-mana.
Mas Daffa yang kutunggu sejak tadi akhirnya datang. Pakaiannya terlihat kotor penuh dengan oli. Wajahnya berminyak juga dan ada beberapa bekas oli juga menempel pada dahi dan pipinya.
Pekerjaan lapangan memang tidak mudah. Dia harus mengerahkan kemampuannya untuk memecahkan setiap masalah. Kadang dia bercerita jika atasannya hanya bisa menyuruh ini dan itu. Mereka tidak pernah tahu dan terkadang tidak mau tahu kesulitan apa yang dialaminya di lapangan.
“Assalamu’alaikum!” ucapnya. Kulihat dia menemui ibunya dulu sebelum menemuiku, ya karena memang jarak ibu mertuaku lebih dekat dengan pintu kedatangan.
“Wa’alaikumsalam!” Wanita itu menjawab datar. Aku melihat raut mukanya merasa risih dan tidak nyaman, terlebih tidak jauh dari tempat duduknya meja yang memang diperuntukkan bagi besan.
“Daffa, cepetan kamu mandi, jangan malu-maluin adik kamu dong! Semua rekan kerjanya orang kantoran datang kesini, kamu malah kumel kayak gitu,” ucap Bu Liana.
Mas Daffa hanya tersenyum dan mengangguk kemudian mencium punggung tangan ibunya.
Suamiku baru pulang mencari nafkah, banting tulang untuk menghidupi keluarga, tetapi kok malah diomeli. Keluarga di sini bukan hanya aku, akan tetapi ibu dan ayahnya.
Tidak pernah sama sekali aku mendengar ibu mertuaku memujinya atau sekedar berterimakasih padanya. Malah terdengar lagi u*****n untuk Mas Daffa dihadapan teman-temannya.
“Maafin ya, kalau kakaknya Anhari itu ya memang seperti itu, kadang suka malu saya, dalam acara penting adiknya saja masih melulu ngurusi pekerjaan, ya memang sih dia cuma lulusan SMA, mungkin nanti susah ya cari kerja lagi kalau diberhentikan, jadi minta maklumin aja ya.” Entah mengapa ucapannya itu begitu melukai hatiku.
Aku berjalan menghampirinya dan meraih punggung tangan Mas Daffa lalu menciumnya dengan hormat. Dia imamku, meskipun beberapa orang memandang remeh padanya.
Aku benci. Aku tak rela imamku dipandang remeh. Aku menggandengnya masuk. Kuraih tangan kokohnya yang kotor dengan oli. Kuambil tisu basah untuk membersihkannya, tidak ada yang boleh memandangmu rendah. Tuhan saja tidak membeda-bedakan umatnya.
Aku mengajaknya duduk di meja. Mengambilkan beberapa kue, buah, dan hidangan. Dia terlihat lelah sekali, tetapi aura wajahnya memancarkan kebahagiaan. Bagaimanapun, dia dibesarkan bersama dengan Anhari, baginya anak lelaki itu sudah lebih dari sekedar saudara tiri.
Mas Daffa makan dengan lahap. Aku mengambil tisu kering kali ini untuk mengelap kilau yang membekas pada dahi dan pipinya.
Terlihat segerombolan tamu dengan batik elegan datang, sepertinya teman-teman kantornya Anhari datang. Ibu terlihat sibuk menyambut mereka. Setelah itu, dia menghampiri meja kami yang agak terpisah dengan lainnya.
“Daffa, kamu kenapa masih di sini, cepetan ganti baju, jangan mempermalukan adikmu, itu bos dan teman-teman kantornya datang, masa kamu masih pakai pakaian kotor seperti ini,” ucapnya seperti merasa terganggu. Kalau bukan ibu mertua, aku sudah akan pasti menentang ucapan dan memakinya.
Mas Daffa bekerja banting tulang untuk menghidupi siapa? Anhari bisa sampai lulus kuliah dan mendapatkan pekerjaan bagus karena siapa? Tidak adakah empati untuk suamiku?
Dia orang yang selalu tulus dan rela berkorban untuk keluarga. Jika dia egois, mungkin beberapa tahun dia bekerja lebih baik uangnya untuk membiaya dirinya sendiri, untuk kuliah, atau sekedar bersenang-senang. Tetapi Mas Daffa tidak melakukan itu semua. Dia selalu memikirkan keluarga, ayah, ibu dan adiknya.
Ketertarikannya pada tekhnikal tak membuatnya egois dan kemudian hanya memikirkan dirinya sendiri. Dia sempat bercerita jika ada kesempatan waktu dan uang dia pun ingin meneruskan studinya, secara Mas Daffa selalu menduduki peringkat lima besar di sekolah dulu. Namun, lagi-lagi dia terlalu menyayangi Anhari,adik lelaki yang tumbuh dan besar bersamanya.
Suamiku hanya mengangguk. Dia buru-buru menelan nasi yang sedang dikunyahnya, kemudian bergegas berdiri meninggalkan setengah porsi makanan dalam piringnya.
Tak terasa mataku mengembun, perasaan tak rela melihatnya diperlakukan demikian membuat tetesan bulir bening ini tak tertahan. Aku bergegas mengikutinya sebelum ibu mertuaku menyadari jika aku menangis.
"Aku berjanji, Mas! Kita akan bahagia suatu hari nanti dan tak lagi diperlakukan demikian! Kejam sekali mereka padamu!"