bc

Terima Kasih Telah Setia

book_age16+
detail_authorizedDIIZINKAN
901
IKUTI
2.0K
BACA
love-triangle
arranged marriage
scandal
like
intro-logo
Uraian

“Terima kasih sudah menjadi istri cerdasku tanpa membuat suamimu terlihat bodoh. Kamu wanita kuat tanpa menjadikanku terlihat lemah, semoga cinta kita sampai jannah ya, Sayang.”

Merupakan sebuah keberuntungan bagi Daffa yang hanya lulusan sekolah menengah dan hanya seorang buruh kasar di pabrik, mendapatkan seorang istri yang pintar, cantik dan lulusan perguruan tinggi yaitu Ziana. Rasa sakit hati karena dikhianati kekasih hatinya yaitu Zeva yang rupanya bermain serong dengan adik tirinya sendiri---Anhari, lenyap sudah tak berbekas. Menyisakkan rasa syukur karena dengan perginya seorang pengkhianat seperti Zeva, akhirnya dia mendapatkan istri yang begitu manis, sabar dan cerdas seperti Ziana.

Tinggal seatap bersama dengan Ibu Mertua dan Ipar yang merupakan mantan kekasih dari sang suami, membuat Zeva merasa tak nyaman. Terlebih Liana---sang Ibu Mertua tampak lebih mengutamakan menantu dari anak kesayangannya yaitu Anhari. Kerap sekali Ziana diperlakukan seolah pembantu di rumah itu, begitupun Daffa yang sejak lajang hanya dimanfaatkan oleh Liana untuk menopang hidup mereka dan membiayai sekolah Anhari hingga anaknya itu lulus dan mendapatkan pekerjaan yang bagus. Namun tak ada sedikitpun apresiasi untuk Daffa yang sudah berkorban begitu banyak untuk mereka.

Sikap terlalu baik yang Daffa miliki, membuatnya terus menerus diperas bak sapi perah. Namun Daffa tetap menutup mata, karena bagaimanapun dia tak pernah mengenal sosok Ibu selain perempuan yang telah membesarkannya itu. Hingga akhirnya, sebuah siasat dilakukan oleh sang Ibu untuk memisahkannya dengan Ziana, pada saat itulah Daffa baru bertindak tegas dan membuat semua orang yang sudah merendahkannya pun menyesal. Namun ada kata pepatah, menyesal kemudian tiada guna. Apakah yang dilakukan Daffa? Bagaimana nasib rumah tangganya? Apakah dia tetap bisa memertahankan istri kesayangannya?

chap-preview
Pratinjau gratis
BAB – 1
BAB – 1 "Bagaimana saksi, sah?” Penghulu menoleh pada kedua saksi yang sejak tadi mengikuti acara sakral itu dengan seksama. “Saaah ....” Bukan hanya saksi yang menjawab. Namun koor dari para tamu undangan juga turut terdengar riuh, membuat hatiku terenyuh. Penghulu kemudian membacakan doa dengan tartil dan khidmat. Semua yang hadir mengaminkan serempak. Netraku mengembun menatap seseorang yang kukasihi kini telah resmi menjadi imamku. Daffa Al Rahmat, lelaki yang dipertemukan oleh takdir beberapa tahun lalu. Tingkah lakunya yang apa adanya dan gaya bahasa yang bersahaja, akhirnya telah membuatku menjatuhkan hati ini padanya. Pernikahan ini dilaksanakan begitu mendadak dan sederhana. Acaranya hanya dihadiri beberapa keluarga dekat. Kini aku, Ziana Putri sudah resmi menjadi istri dari seorang Daffa Al Rahmat. Aku menatap netra lembut lelaki yang kukasihi itu, kilat kasih terpancar, membuat hatiku merasa damai. Satu kecupan mendarat di keningku. Kuraih jemari kekar itu dan kucium punggung tangannya. Mulai hari ini, surgaku ada dalam ridhanya. Acara berlanjut dengan penandatanganan buku nikah, sungkeman dan serentetan acara lainnya. Setelah itu, para tamu yang datang dipersilakan untuk menikmati hidangan. “Ini Om, calon mantu ibu, Zeva Cecilia, cantik 'kan?” Terdengar ucapan Ibu Mertuaku tengah membanggakan Zeva---kekasih Anhari---adik sambung suamiku. Wanita itu memang selalu terlihat lebih sayang pada Anhari yang kini sudah wisuda S1. Beberapa bulan lalu, ia pun telah bekerja di salah satu perusahaan ternama. Ibu Mertuaku selalu menceritakan keberhasilannya tanpa menyebut sekalipun jasa Mas Daffa. Kalau bukan suamiku yang berjuang mati-matian untuk membiayai kuliah adik sambungnya, mungkin dia pun akan sama halnya dengan Mas Daffa yang hanya lulus sekolah menengah. “Zeva ini masih muda banget tapi berprestasi Om, selain sibuk kuliah, dia 'kan jadi cover majalah, model gitu lah, beruntung banget ibu punya calon mantu seperti dia.” Terdengar lagi suara cemprenganya yang memang berbicara dengan keras. Kedua orang tuaku melirik, mungkin mengkhawatirkan perasaanku. Belum sehari menjadi menantunya, tetapi yang diagung-agungkan malah gadis lain. Aku tersenyum pada ayah dan ibu. Bukan Ziana namanya kalau harus menangis hanya gara-gara dibanding-bandingkan. Aku sudah terbiasa ditempa berbagai aral rintangan. Mungkin ayah dan ibu lupa jika aku telah diajarkan untuk selalu legowo, bisa menerima kelebihan orang lain dan belajar menata hati untuk selalu merendah dan menghargai mereka yang ingin didengarkan. Namun, sebagai seorang perempuan pastinya memiliki sisi emosi dan sensitivitas terhadap suatu hal. Hatiku pun merasa teriris setiap kali menatap suamiku yang selalu di anak tirikan. Mas Daffa, dialah alasan yang membuatku sering menangisi setiap perlakuan ibu padanya, bahkan menjelang hari pernikahan. Namun, karena dasarnya laki-laki lebih memakai logika, Mas Daffa selalu saja membela ibu sambungnya itu. Dia akan bilang wajar kalau ibunya membanggakan Anhari yang lulusan sarjana daripada dia yang hanya tamatan SMA. Zeva adalah wanita pertama yang dicintai Mas Daffa. Aku tahu itu darinya. Namun kata Mas Daffa, ibunya lebih mendukung Zeva menjalin hubungan dengan Anhari. Bagi Mas Daffa ibu dan Anhari adalah lebih utama. Sebelum semua kerumitan itu terjadi, Mas Daffa pun melepaskan Zeva. Mas Daffa memilihku setelah patah hati berbulan-bulan. Dia jatuh dan terpuruk ketika pada akhirnya tahu jika Zeva dan Anhari sudah menjalin hubungan di belakangnya diam-diam. Waktu sudah malam, para tamu berangsur sepi, tubuh ini sudah terasa lelah. Aku berpamitan pada kedua orang tuaku untuk istirahat. Sementara itu, Mas Daffa berbaur dengan tamu lainnya di teras. Sepertinya ibu menghampiri mertuaku dan mengobrol dengannya. Entahlah, sesampainya di kamar aku sudah tidak mendengar apa-apa lagi. Langsung kuhempaskan tubuh ini di atas kasur. Aku memang hanya memakai gamis biasa saja, jadinya tidak kerepotan harus membuka riasan pengantin yang memberatkan. Suara adzan shubuh yang berkumandang membangunkanku. Ternyata aku tidur begitu lelap sampai tidak menyadari jika ada seseorang yang meringkuk di sisiku. Kulihat wajahnya masih terpejam damai. Bulu mata lurusnya terlihat masih saling terkatup. Wajah Mas Daffa tak terlalu tampan, tetapi enak dipandang. Wajah itu selalu teduh dan memancarkan senyuman. Selain senyumannya, alis tebal dan hidung mancung yang di milikinya membuatku betah memandangi berlama-lama. Seperti mimpi, pernikahan ini terjadi begitu cepat. Mungkin tetangga kanan kiri akan beranggapan ini pernikahan zaman sekarang. Dimana DP sudah ditanam baru dihalalkan. Namun, sebetulnya ini adalah desakan dari ibu mertuaku, karena dia tidak ingin ada kesan dia menomor duakan Mas Daffa. Dua bulan lagi, Anhari akan menikahi Zeva karena itulah ibu mertuaku mendesak Mas Daffa untuk segera menikah. Baginya, Anhari adalah segalanya. Aku menepuk-nepuk pipi lelaki yang kini tengah terlelap itu. Sepertinya dia tidur larut malam karena masih ada tamu-tamu yang hanya sekedar datang untuk bercengkrama. Suamiku hanya menggeliat, sepertinya dia benar-benar lelah. Akhirnya aku mengencangkan suaraku dan menggoyang-goyangkan bahunya. “Mas! Mas Daffa!” ucapku. Dia menggeliat sekali lagi. Namun hanya memutar tubuhnya. “Mas! Mas Daffa!” Aku berucap lebih keras, tetapi reaksi masih sama. Aku menghela nafas kasar. “Maaas!” Aku sedikit memekik didekat telinganya. Alhasil, Mas Daffa terperanjat dan langsung bangun dengan mata merah. "Astagfirulloh ada apa, Zi?” ucapnya dengan tatapan yang masih linglung. Aku terkekeh. “Ayo bangun Mas, salat Subuh,” ucapku dengan melembutkan suara sambil mengusap punggungnya. Dia mengerjapkan mata mengumpulkan kesadaran. “Emang tadi malem tidur jam berapa?” tanyaku. Dia mengucek matanya. “Jam tigaan Zi, banyak bapak-bapak yang ngajak ngopi,” ucapnya. “Mas Daffa ikut ngerokok, ya?” selidikku. Dia menoleh. “Kan ngajakinnya ngopi, kok nanyanya merokok?” Pertanyaan yang gak penting untuk dibahas sebetulnya. “Ya 'kan kalau ngopi sambil ngerokok,” ucapku. “Mana ada lah, aku kan gak suka menghisap rokok Zi, daripada merokok mending ngisep itu.” Kerlingan nakal melihat ke arah bibirku. Wajahku tiba-tiba merona. Aku memukul dadanya pelan sambil berbisik. “Yang ini tidak diperjual belikan,” ucapku menggodanya. Dia terkekeh sambil mengacak lembut pucuk kepalaku. Kemudian kedua tangannya memningkai pipiku, wajahnya semakin mendekat, tatapan matanya menembus kedua manik hitamku. Jantungku sudah berlomba lari, perasaan panas dingin menjalar. Namun, semua buyar oleh ketukan bertubi pada daun pintu. Adegan kami terganggu. Mas Daffa melepas tangannya. Aku segera menghampiri pintu dan membukanya. Ada Zeva di sana. “Ada apa , Ze?” “Mau pinjam handuk Mbak,” ucapnya sopan. Aku memintanya menunggu dan mengambilkan handuk dalam lemari. Handuk baruku yang belum pernah dipakai. Sekilas aku melihat wanita itu sedang menatap suamiku. Ada perasaan tidak suka, bagaimanapun wanita itu pernah menjadi bagian dari hati Mas Daffa di masa lalu. “Ini Ze handuknya!” Aku segera memberikannya agar gadis itu segera pergi dari kamarku.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
218.8K
bc

TAKDIR KEDUA

read
29.6K
bc

Takdirku Menjadi Lelaki Kaya

read
4.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
202.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
19.1K
bc

My Secret Little Wife

read
115.3K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook