Rasa Mabuk Itu Nyata

1050 Kata
Allen sibuk menatap pemilik penthouse dengan kagum, tak menghiraukan panggilanku. Mata ini masih membelalak menyaksikan kini pelan-pelan kaki-kaki Allen bergerak turun perlahan dan akhirnya kembali menjejak lantai. “Daffar, ayo kita segera pergi dari ruangan ini sebelum ketampananmu membuat anak-anak buahku berteriak-teriak,” saran Pak Badzan yang ternyata sudah berada di ambang pintu keluar. Laki-laki ini menatap seolah tidak ada kejadian yang mengkhawatirkan yang baru saja terjadi. “Oke, sepertinya kita akan sering berjumpa Anneth,” sahut laki-laki ganteng ini sambil mengerling dan berbalik untuk mengikuti langkah manajer lab. Kedua orang itu akhirnya keluar dari ruangan ini dan itu membuat Allen sekali lagi menjerit kagum dan terus memuji-muji pemilik penthouse itu. Lain halnya denganku, aku yang merasakan tubuh ini kembali gemetar dan merasa sedikit mual. Kepala yang terasa sedikit berdenyut juga melengkapi apa yang terasa ketika pintu ruangan ini tertutup. “Tom, tolong gantikan aku! Sepertinya aku harus ke toilet,” ucapku sambil berlari sebelum mendengar jawaban kesediaan dari Tommy. Secepat kilat, aku berusaha mencapai keberadaan kamar mandi untuk memuntahkan apa yang membuat perutku seperti diaduk-aduk. Kemudian, aku duduk menggelesot di lantai kamar mandi, setelah, seperti waktu itu, memuntahkan air dari perut. “Oh!” teriakku kesal. Mengapa hal aneh itu berlanjut hingga ke laboratorium ini? “Mata ini kenapa, sih?” teriakku geram. Aku mengembuskan napas untuk menggantikan pasokan oksigen dalam paru-paru dengan menarik napas panjang. Aku benar-benar tidak tahu dengan apa yang sedang terjadi, yang jelas, sepertinya, aku harus menguatkan mental untuk melihat hal-hal aneh yang bahkan menyalahi hukum alam. Ya, aku harus mulai melatih ketrampilan baru ini sebelum aku mengetahui apa yang terjadi. Bagaimana tidak? Manajer lab yang selama ini kukenal sebagai orang yang baik, orang yang selalu memperhatikan anak-anak buahnya juga memiliki penampilan ganda itu, seram lagi, em ... mirip gambaran setan Balthazor yang ada di film. Untung saja, kedua rekan kerjaku tidak mengalami perubahan, jika iya, bagaimana aku harus bekerja setiap hari? Gejala-gejala yang tadi sempat terasa, setelah sejenak menenangkan diri, sedikit demi sedikit hilang. “Kamu sakit lagi, Neth?” Sebuah suara membuatku terlonjak. Allen ikut berjongkok, lalu meletakkan punggung tangan di jidat ini. “Aku tadi gak apa-apa, tapi sekarang sakit terkejut karena Kamu datang tanpa suara,” sahutku sambil menepis tangan Allen lembut. “Hei, Kamu saja yang dari tadi bengong, tapi benar Kamu gak sakit?” ucap Allen dengan raut wajah khawatir. Aku menggeleng. Aku menatapnya dengan lekat, gadis yang ini kini ikut menggelot di lantai, untung saja bagian ini kering dan bersih. “Len, apa tadi Kamu gak merasakan sesuatu atau nampak sesuatu yang aneh, em apalah gitu, apa saja?” tanyaku menelisik. “Tadi? Em ... waktu auditor guanteng itu datang?" jawabnya balas nanya. Aku mengangguk. "Em ... apa ya? Yang aneh itu ... ah! Kegantengannya itu lo ... hahah ... perfect,” ucapnya sambil mengedipkan satu mata. “Itu saja? Gak yang apa gitu, kayak kaki terasa kesemutan atau melayang atau apa gitu?” kejarku dengan ekspresi wajah berharap sebuah jawaban misteri. “Em ... itu, iya sih, seperti fly gitu, mabuk, mabuk cinta ... hahah, mungkin ini yang disebut dengan efek overdosis kegantengan,” jelasnya dengan manggut-manggut, seolah benar begitu yang terjadi. “Jadi, gak jadi ya naksir dengan Aaron pengelola bakery-ku itu?” ucapku setelah menghela napas panjang mendengar harapan yang terhempas karena jawaban yang ia berikan. “Hei! Hei! Hei! Itu soal lain lagi, jangan dicampuradukkan dong,” protesnya sambil bersungut-sungut. Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Berarti apa yang dikatakan Sinna itu bukan isapan jempol, juga bukan hanya sekedar “merasa mabuk” atau “merasa melayang-layang”, kata-kata itu memiliki makna yang sesungguhnya. Kaki-kaki para wanita benar-benar mengambang jauh dari tanah ketika berada di depan pemilik penthouse itu dan mereka tidak mengetahui kebenaran itu. Ah! Bagaimana bisa? Otak ini terasa ada yang menggedor-gedor meminta penjelasan. “Tapi ... benar ya Kamu gak sakit?” ucapnya sambil kembali meletakkan telapak tangan di dahiku untuk mengecek suhu tubuh. “Apa aku harus sakit, ya?” sahutku dengan heran dan membiarkan telapak tangan itu berpindah ke leher. “Soalnya sepertinya Kamu tadi ada gejala sakit,” jelasnya sambil memindahkan telapak tangan ke sisi leher yang lain. “Itu tadi, sekarang sudah sembuh?” jawabku dengan tenang. “Huh ... padahal aku sudah berencana mengantarmu pulang,” sesalnya sambil menunduk. “Itu karena modus ingin bertemu Aaron ‘kan?” tebakku dengan cepat. “Iya,” jawabnya pendek sambil mengangguk-angguk. Aku tertawa terbahak-bahak dengan kejujurannya. “Sudah datang aja ke Chocolate Bakery, bilang saja sedang menungguku,” saranku yang dijawab dengan acungan jempol. “Kalau begitu, ayo sekarang kita ke kantin, ini saatnya makan siang,” seru Allen sambil menarik tangan ini dan berlari keluar dari kamar mandi ini. Setelah makan siang usai dan pencatatan apa yang dikerjakan hari ini selesai, kini tibalah saatnya untuk menghadap manajer lab yang ternyata ... oh! Aku memegang kepala dengan kedua tangan membayangkan apa yang mungkin akan kulihat di ruang kerjanya. Kaki ini hanya berhenti di depan pintu ruang kerja di lantai dua ini dan gelisah tak tahu apa yang harus dilakukan. Aku menghela napas panjang untuk meredakan perasaan cemas yang menyertai kegelisahan. Berulang kali proses respirasi oksigen kulakukan, tetapi keberanian untuk mengetuk pintu belum juga membulat. “Kenapa tidak langsung masuk, Anneth?” seru suara dari dalam ruangan yang membuatku terlonjak. Huh! Aku mengembuskan napas dan terpaksa mengetuk pintu lalu memutar handle-nya. Dalam ruangan yang tidak begitu besar ini, Pak Badzan duduk di kursinya dan laki-laki ganteng yang sering kudengar dipanggil dengan nama Daffar itu duduk di kursi yang ada di depan meja kerja manajer lab. Tidak ada pilihan lain selain duduk di sebelah laki-laki ganteng ini karena hanya ini kursi yang tersisa. “Suara tarikan napasmu di depan pintu itu seolah pintu tu iterbuat dari batu hingga Kamu harus mendorongnya dengan sekuat tenaga,” seloroh Pak Badzan sambil tersenyum. Aku tersenyum kaku sambil berusaha menenangkan degup jantung yang melonjak-lonjak. Laki-laki yang duduk di sebelahku terkekeh panjang mendengar gurauan Pak Badzan, mungkin ia benar-benar membayangkan aku melakukan apa yang diibaratkan manajer lab itu. Pak Badzan dengan wajah yang biasa kulihat tampak merapikan berkas, lalu ia meletakkan alat tulis di tempatnya. “Mungkin, Kamu sudah mendengar informasi dari teman-temanmu. Dan benar, Kamu akan dipindahkan ke departemen lain. Departemen khusus,” ucapnya sambil menatapku. “Departemen a-pa, Pak?” jawabku terkejut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN