Manajer lab dengan badan gempal dan rambut yang sudah mulai memutih itu tersenyum bijak.
“De-par-te-men khu-sus,” ejanya dengan pelan, tentu tujuannya agar aku merasa tak salah dengar.
Aku termenung mendengar kepastian ini.
Siapa pegawai di Omega Laboratorium ini yang belum mendengar informasi tentang departemen yang satu ini?
Informasi dalam taraf bisik-bisik sering terdengar di antara para pegawai. Hal ini disebabkan karena departemen tersebut sangat tertutup bahkan untuk pegawai yang bekerja di sini.
Ruangan untuk departemen tersebut juga terpisah dari bangunan utama ini. Dan yang paling khusus, hanya orang-orang tertentu saja yang bisa memasuki departemen itu.
“Anneth,” tegur manajer lab dengan lembut.
“E ... iya, Pak. Em ... apa saya saja yang dipindahkan ke sana?” tanyaku lebih lanjut.
“Oh, tidak. Ada Evan dari lab fisika dan beberapa nama lain, sebentar!” ucapnya, lalu mengambil sebuah kertas yang ada di tumpukan berkas paling atas dan membacakan beberapa nama lain itu.
Andai ... andai saja, akhir-akhir ini aku tidak memiliki penglihatan aneh, tentu saja saat ini aku akan merasa bahagia karena berhasil mencapai satu titik tertentu di karirku. Ya ... nama-nama yang baru disebutkan tadi adalah nama-nama pegawai berprestasi, berbakat dan terbaik dari masing-masing departemen.
“Em saya ...,” ucapku bingung.
“Bukannya ini kesempatan bagus, Neth,” sahut Pak Badzan dengan heran.
“Em ... tapi ...,” ulangku masih dengan bingung.
Sebenarnya bekerja di laboratorium ini adalah impian sejak masih sekolah, dan berakrab-akrab dengan benda-benda laboratorium itu membuat hati ini senang. Tetapi, kali ini setelah melihat keanehan pada manajer lab yang kusegani, benak ini sibuk mempertanyakan, apa benar masih akan lanjut bekerja di institusi bergaji tinggi ini?
Apa gak lebih baik membantu Aaron untuk membuka cabang bakery yang kumiliki?
“Anneth,” ucap Pak Badzan sekali lagi.
“I-iya, Pak,” sahutku sambil mengangkat kepala untuk menatapnya dan dalam hati berharap penampakan gandanya nggak terlihat.
“Jawabanmu ditunggu,” lanjutnya sambil tersenyum.
Aku menatapnya.
“Emh!”
Aku menggigit bibir dan merapatkan gigi agar satu teriakan tidak lolos dari mulut ini. Harapanku tak terjawab.
Bagaimana tidak, perubahan itu baru saja terjadi. Penampilan kedua dari Pak Badzan kembali terlihat.
Tangan ini mencengkeram menahan rasa seram yang otomatis muncul. Dalam jarak sedekat ini, menyaksikan wajah manajer lab yang semula baik-baik saja berubah menjadi wujud tak ramah mata.
Tulang pipinya kini menonjol dan matanya agak masuk ke dalam dengan hidung yang melebar. Belum lagi dua tanduk yang kini seperti antena pendek yang dipasang di atas kepala yang plonthos. Kulitnya kembali berubah merah dengan balur-balur hitam.
Mata makhluk itu ... iya ini bukan Pak Badzan yang kukenal, tetapi sesosok makhluk, matanya ... tampak putih dan bagian hitam hanya kecil dan hanya menyerupai titik itu bergerak-gerak seolah mencari sesuatu.
“Hoek!”
Aku mengeluarkan suara mual, lalu dengan cepat mengatupkan bibir dan menutup mata.
Sejenak terdengar bunyi aneh yang tak kukenali, lalu bunyi itu berubah menjadi suara Pak Badzan.
“Apa harus seperti itu sampai seperti untuk memikirkan jawaban?” ucap Pak Badzan dibarengi suara terkekeh.
Aku berusaha menenangkan diri dan kembali pada tekad untuk tenang dan bersiap menerima perubahan atau pemandangan aneh apa pun.
Pikiran ini teringat bahwa gejala-gejala akibat melihat pemandangan aneh akan reda ketika tubuh ini tenang.
Aku memejamkan mata.
“Anneth,” panggil Pak Badzan sekali lagi.
“S-s-saya akan mendapatkan jawaban yang tepat ketika terpejam, P-pak,” kilahku sembarangan.
Telinga ini kemudian menangkap suara tawa tak hanya dari arah depan, tetapi juga dari arah samping.
“Ingat, Neth! Dalam perjanjian Kamu harus mematuhi setiap penempatan dan tugas, Kamu sudah menandatangai itu,” tegurnya seolah mengerti pikiran ini mau belok ke mana.
“Ha?” seruku sambil otomatis membuka mata, bersyukur, wujud Pak Badzan sudah kembali seperti semula.
“I-iya juga ya, Pak,” sesalku dengan menahan rasa kesal, laki-laki itu kini mengangguk-angguk.
“Dan karena hari ini Kamu baru masuk, untuk tanda tangan dokumen kerahasiaan bisa dilakukan besok, karena sebentar lagi adalah jam pulangmu,” ucap Pak Badzan sambil tersenyum.
Aku menarik napas berulang kali untuk meredakan gejala-gejala yang terasa, lalu otak ini sibuk mengulang kata “dokumen kerahasiaan” dan juga pikiran ini jadi membayangkan apa yang ada di dalam departemen khusus itu.
Bersyukur sekali percakapan itu segera usai dan aku dipersilahkan keluar.
Kedua orang dalam ruangan itu mengucapkan salam berpisah, ketika aku beranjak dan keluar dari ruangan ini dengan kaki yang masih sedikit gemetar.
Satu pertanyaan terlintas, itu wujud kedua Pak Badzan apa benar-benar tidak melihatku?
Lift ini bergerak menuju lantai dasar dan otakku sibuk mengingat-ingat wujud-wujud ganda itu dengan reaksinya.
Apa benar wujud-wujud itu tidak mengetahui keberadaanku? Ah! Mungkin sekali, jika mereka mendeteksi keberadaanku tentu mereka sudah bertindak lebih jauh.
Apa benar kota Shrim yang damai ini sudah diinvasi makhluk dari planet lain? Tetapi, menurutku, hidup tidak se-film itu deh!
“Ayo!” Seru Allen yang ternyata sudah menunggu di depan lift.
“Jangan terlalu lama kita di lab ini, jangan melebihi jam kerja yang lima jam ini, nanti kita berdua bisa berubah menjadi mortar dan alue,” ucapnya sambil menggandeng tangan ini menuju loker.
Ah! Bagaimana mungkin kita berdua bisa berubah menjadi benda lab yang menyerupai lesung dan penumbuk itu?
Aku terkikik menanggapi kata-kata Allen dan sejenak melupakan apa yang berputar-putar dalam pikiran.
“Aku akan mengantarmu sampai ke bakery, em ... karena Kamu baru sembuh dari sakit,” ucapnya setelah keluar dari pengecekan halte.
Aku tertawa sambil naik ke bus yang baru saja datang.
“Teguh memperjuangkan modus itu keren,” ejekku yang disambut dengan bibir Allen yang dimonyongkan.
Beberapa menit kemudian bus sampai di halte yang tak jauh dari tempat tinggalku. Kami berdua masuk ke bakery yang ada di lantai dasar tempatku tinggal.
“Selamat datang Nona-nona,” sapa Aaron sambil membersihkan meja di barisan depan.
“Wah! Apa hari ini toko kita ramai?” seruku sambil memandang deretan rak yang sudah kosong.
Aaron mengangguk sambil tersenyum.
“Dan menu yang lain juga, sepertinya kita bisa menambah satu atau dua pegawai,” jelas Aaron dengan riang, aku membalas dengan mengacungkan jempol.
Aku menoleh ke arah Allen.
“Apa perlu kuceritakan bagaimana cara Kamu memandang auditor tampan itu, Len?” godaku iseng.
“Hei, itu beda. Aaron dan audior ganteng itu beda dan tolong jangan sebut dia di depan Aaron. Em ... tadi itu seperti ada yang menarik tanpa kita bisa melawan, begitu?” jelas Allen.
“Hah! Seperti itu?” seruku terperangah.