“Hah!”
Aku ternganga ketika sumber suara itu mendekat.
Manajer laboratorium mendekat sambil tersenyum ramah. Tetapi bukan itu yang membuat aku terkejut.
Di belakang badan gempal manajer, menjulang sosok setinggi seratus delapan puluh sembilan koma sembilan sentimeter itu, pemilik penthouse.
Em ... apa hubungannya pemilik penthouse itu dengan laboratorium ini ini? Seketika, apa yang kulihat dan kualami di hari itu kembali terbayang.
“Anneth,” panggil Pak Badzan sekali lagi.
Kali ini dia sudah berdiri tepat di depan meja yang kugunakan untuk melakukan pekerjaan.
“Y-ya, Pak,” ujarku sambil mengangguk.
Tetapi, mata ini tetap sebentar-sebentar menatap sosok tinggi tegap yang ada di belakang manajer lab itu.
Laki-laki tampan itu sekarang sedang menatapku sambil tersenyum menyeringai, lalu ia menganggukkan kepala.
“Bagaimana kabarmu? Apa demammu benar-benar sudah sembuh?” ucap Pak Badzan dengan tersenyum.
Aku mengiyakan sambil mengangguk, lalu mengucapkan terima kasih untuk perhatian yang diberikan. Sedangkan, pemilik penthouse yang mengenakan stelan kemeja lengkap dengan dasi itu mendekat dan kini berada di samping Pak Badzan.
“Hah!” seruku tercekat.
Benang coklat yang pernah kulihat itu, kini mulai menyembul dan nampak di atas leher. Lalu, benang coklat tebal itu naik perlahan ke atas hingga sampai ke pipi.
Kemudian, benang itu melakukan hal yang sama seperti waktu itu, bergerak membentuk lekukan-lekukan bersudut dan kemudian menjadi sebuah wujud bintang yang sempurna.
Kedua sudut bintang itu, berada di bawah rahang, sedangkan, ketiga sudut yang lain berada di pipi bagian bawah.
Bintang itu juga bereaksi seperti kemarin, warnanya memudar, lalu bersinar. Sejenak ... hanya sejenak, kemudian wujud bintang itu terurai dan kembali berjalan ke turun ke bawah hingga gerakannya kini tertutup kemeja.
Oh!
Wujud bintang itu seolah hanya muncul karena ingin menyapaku.
Satu pertanyaan mendadak muncul dalam benak. Apa benang itu mengenali dan mengetahui keberadaanku?
“Jadi, namamu Anneth?” ucap laki-laki yang memiliki bintang aneh tersebut.
Kepala ini mengangguk cepat, meskipun mulut ini belum sempurna tertutup.
“Jadi, Kamu baru sembuh dari sakit?” lanjutnya sambil menatapku lekat.
“De-m-mam ... em hanya ...,” jawabku tergagap.
Tubuh ini merasakan ada getaran halus.
Kembali pertanyaan muncul. Apa benang yang bergerak itu memberikan efek getar pada tubuh ini?
“Bukan karena itu ‘kan?” ucapnya sambil memberikan isyarat dengan matanya.
Aku menangkap isyarat itu, pasti yang dimaksud adalah tamparan dari wanita berkulit pucat itu.
“Kecapekan ... mungkin, em ... ya mungkin,” jawabku setelah menggelengkan kepala.
Lalu, ia tersenyum dan sungguh ... senyum itu memang menarik sekali. Pantas saja apa yang diceritakan dari laki-laki ini begitu spektakuler.
“Daffar, Kamu mengenal Anneth?” celetuh Pak Badzan setelah beberapa saat hanya menjadi pendengar.
“Aku terkejut melihat dia berdiri dengan tabung-tabung reaksi di sini, kukira ia bagian event organizer yang kusewa,” jelasnya sambil tetap menatapku lekat.
“Event ...,” ucap Pak Badzan sambil mengalihkan pandangan ke arahku dengan tatapan bertanya.
“Bantu teman saja, Pak,” sahutku cepat sebelum manajer lab itu menyelesaikan pertanyaan.
Laki-laki itu mengangguk-angguk mendengar jawabanku.
Pak Badzan tersenyum, lalu mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan dan menatap pada kedua rekan kerjaku.
“Oke, teman-teman, selamat melanjutkan pekerjaan, kami akan melanjutkan mengaudit seluruh departemen yang ada di gedung ini. Dan ... Anneth, setelah Kamu selesaikan pencatatan hasil kerjamu hari ini, temui aku di ruangan kerja lantai dua, ya!” ucapnya sambil tersenyum, lalu berbalik untuk keluar dari ruangan ini.
“Hah!” seruku tercekat.
Mata ini terbelalak maksimal.
Mendadak tubuh manajer lab berubah lebih tinggi dan memiliki kulit merah bercampur hitam dengan otot-otot kekar yang nampak menonjol.
Mata ini bergerak dari punggung menuju kepalanya dan melihat kepala manajer lab tak berambut. Kepala plontos itu memiliki warna kulit persis seperti kulit tubuhnya yang merah dengan sapuan warna hitam. Kepala itu juga memiliki dua tanduk yang runcing dengan lubang telinga yang ada di dekat tanduk tersebut.
“Aaa!” seruku terlonjak.
Penampilan kedua itu kini menoleh ke arahku seakan menyadari ia sedang diperhatikan.
Tatapan mata putih dengan satu titik hitam kecil di tengah-tengahnya itu membuat rak tabung reaksi yang berisi beberapa tabung reaksi ini terlepas dari genggaman dan jatuh ke bawah.
“Aaa,” seruku dibarengi dengan suara dua jeritan dari rekan-rekan kerjaku.
Dada ini berdebar-debar dan detak jantungnya naik turun tak terkendali.
Aku justru membeku menyaksikan rak tabung reaksi yang terbuat dari kayu tersebut meluncur bebas ke lantai. Otak ini buntu tak dapat memikirkan apa yang bisa dilakukan.
Tiba-tiba sebuah anomali mewujud.
“Hah!” jeritku kencang, mata ini terbelalak maksimal.
Sedetik dari benda-benda lab yang akan porak poranda ketika menyentuh lantai, rak tabung reaksi itu berhenti dan melayang di udara.
Satu tabung reaksi yang sempat lolos dari tempatnya kembali ke tempatnya semula, bahkan percikan zat kimia yang hendak tumpah di lantai tertarik dan kembali menyatu dengan cairan kimia lain yang berada di dalam tabung berbahan kaca dengan dasar membulat itu. Lalu, rak kayu dengan dua belas bulatan itu bersama beberapa tabung reaksi yang berada di dalamnya melayang dan bergerak ke arahku. Kemudian, benda lab itu dengan mulus mendarat kembali ke atas meja.
“Hheh!”
Aku mengembuskan napas panjang, campuran perasaan lega, heran, bingung dan terkejut berkelindan dalam diri tanpa sedikit pun mampu diurai.
“Wah! Luar biasa, tak hanya ganteng otentik, tapi juga tangkas dan cekatan, Anda luar biasa,” seru Allen tiba-tiba.
Gadis ini kini sudah berdiri di sampingku dan menatap laki-laki yang berada di depanku dengan tatapan kagum dan memuja.
“Wow!” seru Tommy sambil bertepuk tangan dan berdiri di belakang Allen.
“Iya ‘kan, hebat! Untung saja, Tuan Ganteng ini bisa menangkap dengan cepat, kalau tidak, bisa bahaya masa depan tim kita,” ucap Allen tanpa menoleh ke arah Tommy.
Hah?!
Me-na-ng-kap?
Apa mereka tidak melihat bagaimana benda-benda yang tak sengaja kujatuhkan itu bergerak pelan menyalahi hukum alam?
Aku menatap dengan bingung pada dua rekan kerjaku yang masih takjub menatap laki-laki tampan yang belum beranjak dari tempatnya semula itu.
“Haduh! Bagaimana ini aku merasa mabuk dan melayang-layang melihat kegantengannya,” seru Allen centil.
Sikap Allen itu menurutku terlalu berlebihan. Suara centilnya membuat kepala ini menoleh ke arahnya.
“Hah!” jeritku kembali lolos dari mulut.
Ba-ba-bagaimana mungkin tinggi Allen mendadak lebih tinggi dariku?
Gadis itu seolah bertambah tinggi sekitar tiga puluh centimeter.
Seketika, aku menggerakkan kepala ini dari atas ke bawah.
“Hah?!” seruku tertahan.
Ini benar-benar tak masuk akal.
Kaki-kaki Allen tak menjejak tanah, sepatu yang ia pakai jadi mengambang sekitar tiga puluh senti di atas lantai.
“Al-Al-Allen,” ucapku tergagap, tetapi gadis itu tak bereaksi seolah ada tabir penghalang antara aku dan dia.
“Allen!” teriakku kencang.