“Aduh sudah deh! Pokoknya gadis aneh sepertimu tidak akan paham. Ini hanya dialami aku dan sesamaku yang masih normal saja. N-O-R-M-A-L,” rajuknya geram sambil menunjukku.
Aku tertawa mendengar ilmu “pokoknya” itu dikeluarkan. Biasanya jika pembuka kalimat menggunakan kata itu, itu berarti berbantahan harus segera dihentikan.
Sinna kemudian bangkit dan menarik selimutku hingga menutupi leher.
“Istirahat yang cukup, semoga cepat sembuh dan bisa kerja lagi,” ucapnya terdengar hangat di hati.
Aku mengangguk perlahan dan tersenyum di dalam hati merasakan kehangatan seorang ibu dari sahabatku ini. Setelah itu aku memejamkan mata dan mendengar suara kegiatan yang dilakukan Sinna. Mungkin temanku itu sedang membersihkan tempat ini atau apa saja yang menurutnya bisa membantu mengurangi pekerjaan rumah.
Andai ... andai saja bisa menceritakan apa yang baru-baru ini kualami pada sahabat terdekat itu ..., tetapi jika diri ini nekad melakukannya, jangan-jangan sebelum detik berganti langsung dipaksa rujuk ke psikolog atau psikiater terdekat. Dan jika menolak, mungkin akan ditarik paksa ke tempat praktek para konsultan kejiwaan itu.
Setelah menyisihkan berbagai pertanyaan dari orang-orang yang baru saja kutanyakan pada Sinna dalam pikiran ini, beberapa saat kemudian, aku terlelap.
Mata ini terbuka ketika lampu-lampu di ruangan sudah menyala. Ternyata di luar sudah gelap.
Tak jauh dari tempat tidurku, tertulis perintah untuk menghabiskan apa yang sudah ada di meja. Tulisan itu digantungkan dengan mencolok pada sebuah dinding.
Uh! Pasti sibuk sekali Sinna harus wara-wiri mengurusku dan mengurus keluarganya.
Aku beranjak dan menuruti apa yang dititahkan tulisan itu, lalu mengirimkan foto mangkok dan piring yang telah kosong pada nomor kontak Sinna dengan disertai ucapan sayang dan terima kasih.
Pesan dibalas dengan video si kecil yang tengah berceloteh riang. Aku tersenyum mendapatkan hiburan ini. Badan ini kini terasa enteng dan tidak panas lagi, mungkin esok hari bisa kembali bekerja seperti biasa.
Malam berlalu dan pagi datang.
Sebuah laboratorium swasta berdiri megah di pinggir kota.
Setelah menempuh waktu tiga puluh lima menit dari tempat tinggalku, bangunan dengan tulisan Omega Lab itu menyambutku ketika kaki ini turun di bus.
Halte untuk laboratorium ini dirancang khusus dengan menyertakan protokol kesehatan yang ketat. Dan lagi, hanya karyawan dan orang-orang yang berkepentingan dengan laboratorium ini yang akan turun di halte khusus ini.
Ketika memasuki halte ini, semua orang harus masuk pada kotak dengan blower yang akan mengusir debu yang menempel di baju dan sepatu. Keluar dari kotak ini mengecekan suhu tubuh, pengecekan kepemilikan s*****a tajam mau pun s*****a api dan benda berbahaya lain dilakukan. Setelah itu baru bisa masuk ke lokasi laboratorium.
“Neth!”
Suara teriakan terdengar keras dari arah belakang, itu pasti suara Allen.
“Benar, kan? Sudah sembuh ya? Uh ... syukurlah!” serunya sambil menggandeng tangan ini.
Aku mengangguk, lalu kami bersama-sama masuk ke ruangan loker untuk berganti baju kerja.
“Kamu kenapa bisa demam seperti itu? Tumben banget,” ucapnya ketika kami sudah berada di depan loker, gadis ini berbicara sambil mengenakan baju yang mirip seragam bedah seperti yang sudah kupakai.
“Andai bisa tahu,” jawabku dengan nada datar.
“Coba setelah ini Kamu ke bagian klinik dulu deh! Mana tahu terkena virus atau apa gitu, kemarin hanya dirawat di rumah, kan?” ucapnya sambil menyelidiki perubahan yang mungkin muncul di wajahku.
“Kamu juga takut terkena radiasi demam seperti wanita yang merawatku itu?” sindirku tak acuh.
Gadis itu tertawa terbahak-bahak.
“Luar biasa, perawatmu itu. Hampir saja aku tak bisa menahan tawa ketika ia minta tolong untuk mengurus izinmu. Jadi, menurutnya, demammu itu setara dengan sinar X yang bisa memancarkan radiasi, haha ...,” seru Allen geli.
Beberapa orang yang baru masuk ke ruangan loker menyempatkan diri melongokkkan kepala ke arah kami untuk menuntaskan rasa ingin tahu.
Aku ikut tersenyum geli, apalagi teringat bagaimana cara Sinna mengucapkan kalimat itu.
“Terima kasih, ya. Gara-gara pemberitahuanmu, nyawaku yang tinggal lima puluh persen, bisa ditingkatkan,” ucapku sambil kembali teringat apa yang dikatakan Sinna.
Gadis itu tertawa ngakak dengan suara keras.
Allen menarikku duduk di sebuah bangku yang ada di sudut ruangan setelah puas tertawa.
“Sebelum masuk ke ruangan kita, ada informasi A1 yang sempat kudengar, sini kubisikin,” ucapnya sambil merapikan jas lab yang ia kenakan.
Aku langsung memcari posisi duduk yang nyaman dan menegakkan kuping demi mendengar status A1 pada informasi yang akan disampaikan itu.
“Ini tentangmu,” ucapnya mengawali kalimat.
“Heh! Aku?” sahutku heran.
Gadis itu mengangguk berulang-ulang untuk memastikan jawabannya.
“Menurut berita, Kamu akan dipindah ke departemen lain,” bisiknya lirih.
Aku sedikit terkejut.
“Kemana? Kenapa? Info dari siapa?” cerocosku penasaran.
Allen hanya mengedikkan bahu menjawab berondongan pertanyaanku.
“Kamu dengar dari siapa sih?” tanyaku menelisik.
“Embusan angin,” bisiknya, lalu tersenyum.
“Wah! Itu menjengkelkan sekali, bagai pepatah hendak melempar pisang pada monyet, tetapi tidak jadi,” sahutku kesal.
Allen tertawa terbahak-bahak.
“Pasti kecewa sekali ya tuh monyet,” sindirnya sambil beranjak dan menarik tanganku.
“Yang penting Kamu nanti tidak terkejut jika mendengar hal ini,” sahutnya datar.
Allen mengangkat kartu identitas dan menyentuhkan pada sensor kunci pintu, pintu otomatis terbuka setelah sensor tersebut mengeluarkan bunyi serupa bunyi tit yang dibarengi dengan lampu indikator yang menyala.
Pemandangan yang sudah lekat dengan pikiran langsung terpampang di depan mata begitu pintu itu bergeser ke kiri dan ke kanan.
Laboratorium ini memiliki banyak departemen dan ruang ini adalah salah satu dari ruangan yang biasa kami bertiga gunakan untuk melakukan pekerjaan kami.
“Hei, Neth, sepertinya sebentar lagi aku akan sering merindukanmu,” sapa Tommy dengan ekspresi wajah lucu.
Ternyata, pagi ini, ia lebih dulu berada di ruangan ini. Laki-laki dengan rambut cepak itu tersenyum menyeringai sambil merentangkan kedua tangan.
“Karena?” jawabku pendek.
“Informasinya kita akan segera berpisah,” ujarnya sambil melakukan gerakan menangis dengan mengepalkan kedua tangan dan menggerakkan di depan mata mirip gerakan yang sering dilakukan kucing.
“Bukannya itu informasi A1, kenapa semua sudah tahu?” sahutku terheran sambil menoleh pada Allen yang sedang berjalan menuju sebuah lemari kaca.
“Sekarang sudah jadi informasi A5,” sahut Tommy sambil nyengir.
“Itu informasi apa ukuran kertas?” balasku sambil memukul lengan Tommy pelan.
Laki-laki itu terkekeh pendek.
Ah ... aku tak perlu memikirkan yang belum terjadi, apalagi masih berstatus simpang siur. Pikiran ini lebih suka bersyukur karena kembali ke duniaku. Berakrab-akrab dengan tabung reaksi, gelas Erlenmeyer, Bunsen burner dan benda-benda laboratorium lain yang sekarang sedang kukeluarkan setelah melihat jadwal kerja yang baru saja k****a.
Kami bertiga tidak mempedulikan ketika suara mirip alarm yang berbunyi pendek terdengar. Alarm itu tanda seseorang memasuki pintu utama departemen ini.
Dengan fokus, mata ini harus segera mengamati perubahan reaksi dari zat-zat kimia yang berada dalam tabung kaca ini.
“Anneth!” Sebuah suara terdengar dan aku terperanjat ketika menoleh ke asal suara itu.