Allen mengangguk-angguk.
“Itu bukan seperti yang kita inginkan, bagaimana ya jelasinnya?” ucapnya dengan ekspresi bingung.
“Itu bukan karena sekarang ada Aaron ‘kan?” godaku lagi.
Gadis itu kembali menggeleng dan mengacungkan dua jari tepat di depan mataku sebagai simbol swear.
“Tunggu! Memang Kamu gak merasa begitu?” ucapnya dengan ekspresi wajah terkejut, sepertinya kini ia yang terheran-heran.
“Apa harus?” jawabku dengan bingung.
“Wah! Wah! Beneran, coba ke klinik besok, sepertinya Kamu gak normal,” seru Allen, komentarnya mengingatkan aku pada kata-kata Sinna.
“Em apa yang membuatmu berpikir begitu?” tanyaku penuh selidik sambil mencondongkan badan ke arah Allen.
“Tommy yang laki-laki juga merasakan hal yang sama,” jelasnya sambil mengambil tisue dan mengelap bagian meja yang sudah bersih.
“Oh ya?” seruku sambil kembali ingat apa yang dikatakan Sinna dan reaksi salah satu anggota timnya yang mengiraku mengalami guncangan jiwa.
Apa yang sedang kurangkai di pikiran sekonyong-konyong buyar ketika Aaron datang.
“Mau mie seafood gak, kalian berdua?” tawarnya sambil membawa dua piring makanan yang baru saja ia tawarkan.
Kami berdua otomatis mengangguk dan menatap isi piring itu dengan selera.
“Em ... dia tahu kalau aku mengantarmu karena Kamu baru saja sembuh dari sakit ‘kan, Neth?” bisik Allen sambil melirik laki-laki yang sedang menyorongkan dua piring itu ke depan kami.
“Iya, aku tahu banget, kalau Kamu ke sini karena mengantar Anneth, bukan untuk menemuiku,” seru Aaron sambil duduk di depan kami.
“Oh! Syukurlah,” ucap Allen lega.
Aku langsung ngakak dan Aaron hanya bisa mengeleng-gelengkan kepala.
“He jengen cebe-cebe cerite,” ancam Allen sambil merapatkan gigi hingga ancaman itu terdengar aneh.
Aku hanya mengangguk-angguk dengan ekspresi geli.
Seorang pegawai yang tentu saja juga temanku datang sambil membawakan es jeruk.
Minuman ini datang tanpa dipesan lebih dahulu, bukan juga karena ini adalah welcome drink, tetapi hanya minuman pembuka yang biasanya kami pesan jika ke sini dan ini akan diikuti oleh pesanan yang lain, yang belum kami berdua pikirkan.
Aku tersenyum dan mengucapkan terima kasih setelah sejenak bercakap-cakap dengan pengantar minum ini. Sedangkan Allen, tanpa basa-basi langsung menyikat isi piring itu.
“Bakery yang punya menu mie seafood,” sindir Allen sebelum memenuhi mulutnya dengan mie enak itu.
Aku hanya menghela napas mendengar komentarnya karena bakery ada di atas dan lantai bawah menu menyediakan makanan lain, itu hanya buat showcase saja rak kuenya.
“Aaron, apa menurutmu ada yang agak aneh denganku,” ucapku setelah mi seafood segar itu tinggal separo.
“Aneh? Aneh seperti apa?” sahutnya sambil mengeryitkan dahi.
“Ya, apa sajalah. Yang tidak biasa terjadi padaku,” jelasku sambil menghentikan suapan.
“Em ... apa ya ... oh, demammu itu. Sejak mengenalmu di panti asuhan, belum pernah kulihat Kamu sakit parah. Paling sakit-sakit ringan, makanya hari itu kami panik,” terangnya dengan tatapan khawatir.
Ia mencondongkan badan mengamati wajahku, sepertinya ia juga mengecek kesehatanku melalui pengamatan sekilas.
“Oh, begitu. Tetapi ... ada yang terlihat aneh yang menonjol gak ketika Kamu melihatku, aku berubah jadi apa gitu?” tanyaku, mana tahu aku juga mengalami perubahan wujud itu.
Yang ditanya malah tertawa geli, dan menyangka aku membuat lelucon.
“Em ... apa Kamu melihat atau mendengar tentang berita aneh akhir-akhir ini? Tentang makhluk apa gitu?” tanyaku dengan mengganti cara bertanya.
Laki-laki yang telah puluhan tahun kukenal itu malah tambah terbahak-bahak, tawanya berhenti ketika diprotes Allen.
“Hei! Arron! Kalau tertawa ngajak-ngajak!” seru gadis itu tak terima.
Huh!
Aku menghela napas dan memilih melanjutkan eksekusi isi piring.
Kelihatannya yang mengalami hal aneh hanya aku saja.
Acara makan sebelum petang itu selesai beberapa saat kemudian setelah kami bertiga melanjutkan dengan obrolan panjang dan canda tawa.
Waktu berjalan dengan cepat.
Pagi ini setelah menandatangani dokumen kerahasiaan sebagai pegawai yang bekerja di bawah depatemen khusus, seorang asisten manajer membawaku masuk ke salah satu ruangan departemen tersebut.
Pegawai-pegawai yang kemarin disebutkan telah lebih dulu berada di sana.
Kegiatan awal masih berupa pengenalan tempat kerja dan informasi kerja yang biasa dilakukan di dalam departemen itu. Setelah itu pegawai yang baru masuk dibagi-bagi untuk bekerja di berbagai project.
“Kamu akan sering berada di sini, Anneth,” jelas asisten manajer laboratorium itu.
Aku mengangguk dan mengikuti wanita tinggi semampai itu dengan patuh.
Wanita itu kembali menjelaskan tentang apa saja yang ada di ruang itu.
Ini adalah laboratorium yang berisi sampel-sampel darah. Anehnya darah-darah ini tidak disimpan di dalam kantong plastik seperti biasanya. Sampel-sampel darah ini disimpan dalam botol-botol kaca kecil yang diberi label identitas.
“Pelajari semua dengan cepat!” perintah wanita dengan tinggi semampai itu sambil menyodorkan tumpukan berkas yang berisi informasi terkait apa-apa yang ada di dalam ruangan ini.
“Dan ada satu hal yang perlu diingat, semua yang telah dipersiapkan hanya boleh diletakkan di tempat itu,” lanjut asisten manajer lab ini sambil menujuk sebuah ruangan yang tak jauh dari tempatku berdiri.
“Dan pintu yang itu,” imbuhnya sambil menunjuk sebuah pintu lebar dengan tinggi hampir tiga meter yang ada di sebelah ruang persiapan.
“Hanya bisa dimasukin oleh orang-orang tertentu, dan itu artinya bukan kita, kecuali sudah mendapat izin atau ditugaskan di ruang itu, mengerti?” tegasnya dengan cepat.
Aku langsung menganguk-angguk mengiringi kecepatan kata-katanya.
“Ini projectmu,” ucap wanita ini sambil menyerahkan satu berkas yang dibendel dalam cover tebal.
Aku menerimanya dan langsung membuka bagian paling depan dan menemukan judul project yang ditulis dengan ukuran font besar “The Blood of Angel Project”.
“Ini darah manusia ‘kan?” tanyaku sembari mengedarkan pandangan pada seisi ruangan yang penuh dengan sampel darah.
Wanita yang mengenakan blazer itu yang duduk di kursi itu memutar kursinya dan menatapku dengan pandangan lelah.
“Menurutmu?” sahutnya tanpa ekspresi.
“Ini darah malaikat,” jawabku sambil menunjukkan judul pada berkas yang kupegang.
“Ssh.” Wanita itu mengeluarkan bunyi berdesis dari mulutnya.
“Itu hanya judul, Anneeeth!” jawabnya agak kesal.
“Hanya sebutan untuk project ini, mengerti?” lanjutnya dengan ekspresi tegas.
Aku mengangguk-angguk cepat.
“Wuh! Syukurlah ...,” ucapku lega.
Wanita tinggi semampai itu menyibakkan jas lab dan kembali memutar kursinya ke arahku.
“Apalagi sekarang? Syukur apa?” tanyanya penuh selidik.
“Jadi, saya tak perlu membayangkan repotnya bagaimana harus mengambil sampel darah pada malaikat-malaikat yang tidak nampak itu,” jelasku sambil tersenyum.
Asisten manajer lab itu kini tertawa dengan menutup mulutnya, menggeleng-gelengkan kepala kemudian kembali memutar kursi menghadap komputer dan sibuk berketak-ketik dengan keyboard.
Masih ada beberapa saat lagi untuk mempersiapkan sampel di ruangan yang tadi ditunjuk dan otak ini penasaran dengan kerahasiaan yang sepertinya memang dijaga di departemen khusus ini.
Tentu aku akan memulainya dengan mengecek data-data kenapa aku dan teman-teman yang lain bisa dipilih dari sekian banyak karyawan yang bekerja di laboratorium swasta ini.
“Saya ingin memperbaharui data pribadi, bisakah saya menggunakan ini?” izinku sambil menunjuk komputer yang baru saja hendak ditinggalkan oleh asisten manajer ini.
“Kenapa?” tanyanya terdengar menyelidik. Ekspresi wajahnya terlihat tak suka.